24 November 2017

BU ANI

 


Bu Ani adalah guru pertamaku di SDN Kotalama Malang. Nama lengkapnya aku tidak ingat, tapi keteduhan wajahnya masih terlihat hingga saat ini. Apakah sekarang beliau masih hidup atau sudah pergi ke haribaan Allah, aku tidak tahu. Namun, nama dan jasanya masih tetap abadi bagi setiap muridnya.
Tahun 1982, aku duduk di bangku kelas 1 SD. Bu Ani adalah wali kelas satu dan dua. Jadi, selama 2 tahun beliau mendampingi dan mendidikku. Tidak ada guru lain di kelasku, kecuali Bu Ani. Jumlah guru sangat terbatas. Waktu belajar di sekolah untuk kelas 1 dan 2, juga tidak lama. Masuk jam 7 pagi, pulang jam 9. Singkat padat, tapi waktu sekolah ini amat dirindukan siswa. Begitu berkesan dan menyenangkan. Kami senang saat berangkat ke sekolah dan ketika pulang kami merindukan hari esok.

Memang, kurikulum SD saat itu tidak se-modern era milenial ini. Materi pelajaran yang disajikan juga amat sangat sederhana dan gampang untuk ukuran siswa jaman now. Di jaman tv hitam-putih dulu, pelajaran sekolah masih sedikit, sifatnya tradisional sekali. Tidak ada media elektronik, tidak kenal pendekatan komunikatif, kooperatif, interaktif, dan sebagainya.
Yang ada adalah pendidikan tradisional yang mana guru menjadi pusat ilmu. Karena itu, posisi guru teramat sangat penting. Guru tidak hanya harus mumpuni ilmunya, tapi emosinya. Guru harus penyabar, penyayang, perhatian, dan memahami siswanya sebagaimana memahami anaknya sendiri. Itulah sosok yang aku ingat dari Bu Ani.
Dulu, pelajaran pertamaku adalah membaca. Yakni, Buku bahasa Indonesia untuk siswa SD yang begitu populer. Dari hari ke hari, kami "hanya" diajari membaca, atau lebih tepatnya, menirukan bacaan guru.
"Ini Budi. Ini Ibu Budi. Ini Bapak Budi. Ini Kakak Budi. Ini Adik Budi".
Pelajaran ini diulang-ulang, dari menirukan kalimat, kata, hingga dieja huruf perhuruf. Alhasil, metode belajar untuk level pemula di jaman old, sangat monoton. Oleh karena pelajaran membaca teks terus diulang-ulang, pada akhirnya, siswa pun hafal. Mereka hafal, tapi tetap saja kesulitan membaca. Penyebabnya karena proses pembelajaran hanya bersifat pasif, tidak menuntut kreatifitas siswa.
Meskipun begitu realitanya, tapi guru dan siswa sama-sama senang. Pada masa itu, yang penting anak mau sekolah, titik. Mengingat, tidak sedikit anak yang mau sekolah dan harus dipaksa orang tuanya. Itulah kondisi pendidikan di era 80an, era dimana arus informasi masih dibrendel, komunikasi sangat terbatas, dan kurikulum pendidikan tidak cepat berkembang.
Apapun kondisinya jaman itu, tapi guruku, Bu Ani, telah mencetak siswa-siswi yang melek ilmu pengetahuan dan berani mengarungi kehidupan dengan kemandirian. Lama sekali aku tidak tahu kabarnya. Maafkan muridmu ini, Guruku. Jika benar, saat ini dirimu tidak ada lagi di dunia ini, percayalah bahwa kau akan selalu ada bersama setiap nafas dan langkah murid-muridmu.
Untuk Bu Ani, al Fatihah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar