29 Januari 2018

Batal ke Yaman

 

Aku ingin menulis masa galau yang pernah aku rasakan setelah lulus dari jenjang sarjana. September 1999, aku lulus dengan predikat cumlaude, didaulat menjadi wisudawan terbaik di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab STAIN Malang (Kini, UIN Malang)
Betapa tidak bahagia, prestasi ini amat membanggakan orang tua dan keluarga besarku hingga kakekku, Haji Suyuti yang berwatak keras sempat meneteskan air mata saat mengetahui prestasiku itu. Maka, semuanya aku dedikasikan untuk orang-orang yang telah berjasa. Tanpa mereka, aku bukan apa-apa.
Setelah lulus dari bangku kuliah dan boyong dari pesantren, itulah masa-masa dimana aku justru galau. Yang terlintas dalam pikiranku di kala hening adalah sebuah pertanyaan: "Ainal Mafar?". Aku hendak pergi kemana? Mau apa?
Aku pun berdiskusi, minta tausiyah ke beberapa orang mulai dari guru, sahabat, hingga 'orang pintar'. Nasehat mereka bagai oase di gurun sahara, menyejukkan. Tapi, saat aku kembali dalam kesepian, perasaan galau itu terus menghantuiku.
Hingga kemudian, aku bertekad meneruskan studi ke luar negeri, memilih jalur informal. Tujuanku adalah Yaman. Kenapa? Informasi yang aku peroleh, di sana banyak ulama dan wali Allah. Tentu, akan banyak ilmu dan berkah yang bisa aku raih di negeri seribu wali itu.
Kakek nenekku seperti tidak setuju, meski mereka berkata terserah padaku. Sikap diam dan raut muka mereka yang semakin hari semakin tampak renta, sedikit banyak membuatku berpikir 'tidak tega' berpisah dengan keduanya yang sejak bayi aku diasuh dan berada dalam dekapan kasih sayang.
Hingga suatu pagi, seperti biasa, aku menjadi 'driver pribadi' kakekku yang setiap hari Ahad ngaji, ngalab berkah ke Romo Kiai Muhsin (Alm), Pengasuh Ponpes Al-Maqbul, Bululawang, Malang. Pengajian ala salaf itu dihadiri ratusan orang dari penjuru kota dan kabupaten Malang.
Kiai Muhsin adalah sosok alim berpenampilan sederhana tapi berilmu tinggi bahkan diyakini sebagai kekasih Allah. Tutur katanya lembut, tapi ces pleng, to the point, menusuk hati. Dan, hari itu, di tengah-tengah menjelaskan isi kitab, seakan-akan Romo Yai bertutur langsung, khusus untuk diriku, padahal posisiku mengaji tidak di dalam masjid, tapi di pelataran luar masjid dekat area parkir.
"Ora usah adoh-adoh lungo nang Yaman lek perkoro golek ilmu lan berkahe ilmu. Ing tanah jowo lan nusantoro iki, yo okeh ulama, kiai, waline Pengeran".
"Tidak usah jauh-jauh ke Yaman, jika hanya ingin mencari ilmu dan keberkahannya. Disini, di nusantara ini, banyak ulama, kiai dan para wali, kekasih Allah".
Sudah, itu saja wejangan Romo Yai. Singkat, padat, lalu beliau meneruskan penjelasan isi kitab fiqih. Jelas sekali, kalimat singkat ini ditujukan untuk diriku. Buktinya, tanpa terasa, air mataku meleleh di pipi. Aku pun terkejut, kenapa aku menangis? Segera kuusap air mataku itu agar tidak dilihat orang-orang di sekelilingku yang sebagian sudah mulai mengantuk.
Sepulang dari pengajian, aku mantap memutuskan untuk batal pergi Yaman. Bukan karena Indonesia lebih hebat dari Yaman, tapi ada banyak rahasia yang tidak bisa diungkap melalui huruf maupun kata.
Untuk semua kiai dan guruku, wa bil khusus, Romo Kiai Muhsin, Kakek, Nenek dan Abahku, Lahum al-Fatihah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar