20 Januari 2018

Di Titik Nol

 

Temanku tampak lemas. Tidak bergairah seperti biasanya. Padahal, dia baru diwisuda. Punya titel sarjana. Tentu ia dan orang tuanya bangga. Tapi kenapa wajahnya muram seakan tidak ada lagi gairah untuk hidup.
"Ayo, ngudut dulu. Nikmati kepulan demi kepulan asap rokok yang kau hisap itu. Rasakan dalam-dalam sensasi kebebasannya", ajakku.
Setelah satu dua batang rokok ia habiskan, baru dia bercerita tentang masalahnya.
"Aku seakan-akan sudah meraih segalanya, tapi nyatanya, aku bukanlah siapa-siapa. Kuliah, sudah. Sarjana, sudah. Tapi, kini aku harus kemana dan berbuat apa? Aku malu dengan diriku, orang tuaku dan orang-orang di sekitarku yang selama ini berharap lebih dari diriku".
Matanya mulai berkaca-kaca. Tatapannya kosong. Ia bersandar di kursi sofa seakan dirinya menyerah kalah, entah oleh siapa dan karena apa. Lalu, dia kembali berkata:
"Cita-cita yang semasa kecil aku mimpikan, rasanya sulit aku wujudkan. Hidup ini hampa. Gelarku hanya sebatas kertas ijazah, tapi sejatinya, aku ini nol besar. Aku takut melangkah, apalagi memulai hal baru, menekuni pekerjaan baru yang jelas asing bagiku karena bukan duniaku".
"Aku seperti tersesat di hutan belantara, tanpa arah dan tujuan. Canda tawaku hanya kenangan di masa lalu, saat aku belum mengenal sulitnya hidup ini. Tiap malam, aku terus berdoa dan memohon kepada Tuhan agar aku diberi-Nya jalan keluar dari masalah yang aku tidak tahu apa sebenarnya masalahku ini".
"Intinya, kamu takut melangkah dan kini diam meratapi masa lalumu, sambil berhitung capaian yang telah kamu raih. Lalu, kamu berharap hasil dari jerih payahmu itu. Begitu ya?", tanyaku, mencoba memperjelas masalahnya.
"Nah, kurang lebih begitu. Tapi aku tidak takut. Aku hanya khawatir dan bingung hendak lari kemana", sangkalnya.
"Jika kamu tidak takut, kenapa kamu berhenti dan diam? Apakah kamu menyesali apa yang sudah kamu lewati selama ini?", tanyaku, lagi.
Dia terdiam. Rupanya, dia sedang berusaha mengingat setiap peristiwa yang ia lalui selama ini. Lama sekali ia membisu hingga kepalanya tertunduk, lalu tanpa terasa, air mata mulai berlinang membasahi pipinya.
Dia yang selama ini riang gembira, tampak garang dan dewasa, hari ini, aku melihatnya seperti orang kalah dan menyerah dengan dirinya sendiri.
"Saudaraku. Ketahuilah, kamu belum kalah. Kamu telah berani melewati tahapan demi tahapan untuk meraih cita-cita tinggi yang telah kamu putuskan sendiri. Semakin tinggi angan-anganmu, semakin jauh pula tahapan yang mestinya kamu lalui, setapak demi setapak. Tidak bisa instant dan bim salabim abra kadabrah".
"Saudaraku. Kini kamu sedang berada di titik nol yang kamu anggap sudah bertengger di puncak. Padahal, kamu masih berdiri di satu anak tangga, jika diukur dari cita-cita yang ingin kau raih di ujung sana".
"Setiap sesuatu yang telah mencapai puncak, pada akhirnya akan kembali lagi, tidak mungkin melebihi batas. Begitulah perjalanan hidup ini. Saat ini, kamu sedang diingatkan oleh Tuhan untuk kembali melihat capaianmu dan angan-anganmu. Bukan berarti kamu kosong tak berarti, tapi kamu sedang berada pada situasi dan kesempatan untuk mengevaluasi diri, mengenal dirimu sendiri. Inilah kesempatan paling mahal harganya".
"Perasaan dan masalah yang kamu hadapi saat ini adalah cara Tuhan agar kamu kembali menyebut asma-Nya, supaya kamu tersadar bahwa capaianmu selama ini adalah karena kehendak dan bimbingan-Nya, bukan atas jerih payahmu semata".
"Tuhan ingin menegurmu, bahwa begitulah capaianmu jika kau mengira itu hasil keringatmu. Teruslah mendekat, mengingat, dan gandeng bersama-Nya. Jangan diam dan berhenti, sahabatku. Jika kamu merasa kalah, justru kamu akan semakin menjauh".
"Menjauh?", katanya, lirih.
"Ya, kamu akan semakin menjauh dari Tuhanmu dan bahkan dari dirimu sendiri. Kamu akan melihat segalanya gelap gulita, padahal banyak cahaya berkilauan di sekitarmu yang siap mengantarmu kemana pun kamu mau".
Dia mulai menegakkan punggungnya. Lalu berkata:
"Terima kasih, teman. Kau telah menyadarkan aku untuk melihat sebatang rokok bukan hanya dari sisi negatifnya. Tapi, kau mengingatkan aku bahwa rokok yang kuhisap ini telah menemaniku saat aku sepi dan sendiri".
Teruslah melangkah, sahabatku. Jangan berhenti.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar