![]() |
Menara Kota Tua (Medina) Soessa, Tunisia |
Tidak seperti di
Indonesia. Tahun baru Islam di Tunisia, tepatnya di pinggiran kota Soessa,
Tunisia, tampak sepi. Beda dengan di kampung tempat saya menetap di Malang.
Perayaan menyambut tahun baru hijriyah selalu disambut meriah dengan berbagai
acara yang dikemas oleh kaum muslimin seiring dengan mulianya bulan Muharram
sebagai salah satu dari 4 bulan haram (mulia).
Sedemikian spesialnya
bulan muharram yang menjadi tanda awal masuknya tahun baru Islam yang dahulu
digagas oleh S. Umar bin Khattab agar dimulai sejak hijrahnya Nabi Muhammad saw
dari Mekah ke Madinah, sehingga hadirnya bulan Muharram itu diyakini perlu
disyukuri, dirayakan dan didakwahkan sebagai besar Islam. Bahkan, bagi orang
Jawa, bulan Muharram atau Syuro ini dinilai sakral, suci dan diyakini sebagai
waktu yang tepat untuk mengasah aspek spiritual.
Karena itu, tidak heran,
jika perayaan tahun baru Islam di Indonesia yang kaya budaya dan adat-istiadat
selalu disambut dengan berbagai macam acara yang kental dengan aspek ritual dan
dikemas secara tradisional. Tidak hanya itu, bulan muharram bagi muslim di
nusantara, juga diyakini menjadi awal baru dan semangat baru untuk menyambut
hari dan tahun esok yang lebih baik dengan perasaan optimis. Sikap optimis ini,
salah satunya, didasari oleh faktor sejarah para nabi dan rasul Allah yang
dianugerahi kemenangan dan kemuliaan berlipat ganda tepat di bulan Muharram,
terutama tanggal 10 yang dinamakan hari Asyura’ (sepuluh).
Lalu, bagaimana di
Tunisia? Negara kecil di Afrika Utara ini, memang tergolong negara maju ketiga
di benua hitam. Warga Tunisia yang dulu pernah dijajah Prancis menyebabkan pola
hidup mereka bergaya Eropa. Tunisia yang penduduknya tidak sampai 20 juta jiwa,
mayoritas beragama Islam, 99 persen! Dari sisi fiqih, mereka mengikuti fiqih
Maliki dan berakidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Demikian ilustrasi
singkat tentang agama yang dipeluk warga Tunisia. Namun, dalam hal peringatan
hari besar Islam sekelas Tahun Baru Hijriyah atau Bulan Muharram, saya melihat
di kota Soessa ini, tidak nampak adanya geliat dari warganya untuk menyambut
tahun baru Islam semeriah yang ada di Indonesia. Saya juga tidak membaca adanya
spanduk atau umbul-umbul yang menyeru “Selamat Tahun Baru 1437 H.” atau “Kullu
‘aam wa antum bi khair” sebagaimana yang sering saya temukan di Indonesia atau
di media sosial milik muslim Indonesia.
Di Tunisia, siang maupun
malam menjelang tahun baru hijriyah, berlangsung sama dengan hari-hari
sebelumnya. Yang saya tahu, sekolah atau kampus diliburkan sehari demi
menghormati hadirnya tahun baru Islam. Itu saja. Entah di tempat atau di
pelosok lain di daratan Tunisia, apakah mereka menggelar peringatan tahun baru
Islam atau tidak? Wallahu A’lam. Yang jelas, saya tidak menemukan peringatan
itu. Bahkan, di televisi Tunisia, juga tidak saya saksikan adanya ucapan
selamat tahun baru hijriyah.
Ketika berpapasan dengan
orang Tunisia dan saya mengucapkan “Kullu ‘aam wa antum bi khair” atau
“Marhaban Ya Muharram”, mereka hanya diam, bahkan ada yang tidak mengerti hari
apa sih yang sedang diperingati atau diucapkan selamat ini? Saya tidak
bermaksud membandingkan tingkat kepedulian dan perhormatan antara muslim di Indonesia
dan di Tunisia terhadap Tahun Baru Islam. Sebab, kenyataannya, di Indonesia
sendiri, juga banyak dan bahkan lebih banyak yang tidak mengerti atau tidak
tahu menahu tentang tahun baru hijriyah atau muharram.
Yang ingin saya tulis di
sini, pertama, tradisi dan adat istiadat setempat, ternyata berpengaruh
besar terhadap sikap keberagamaan seseorang. Muslim di Jawa dengan berbagai
keyakinan dan tradisinya, mereka sangat kuat dan kental dalam menghormati bulan
Syuro. Demikian pula di Madura, Sunda, atau suku lain di nusantara. Sementara
itu, Tunisia yang lama dijajah Prancis, sekali lagi, gaya hidup mereka adalah
Eropa. Sangat boleh jadi, style ini turut berpengaruh terhadap kebiasaan
menghormati hari-hari besar Islam.
Yang kedua, Islam dan
Arab memang tidak sama. Dalam tulisan ini, saya tidak ingin berdebat tentang
pro-kontra wacana Islam Nusantara, apalagi dibelokkan dengan isu “Anti Arab”,
Tidak! Bagaimanapun juga, Arab dan Islam ada keterkaitan. Islam berkontribusi
terhadap budaya Arab, dan juga sebaliknya, tradisi Arab juga mewarnai Islam.
Hanya saja, Islam itu universal. Tidak hanya milik Arab. Islam yang luas itu
silahkan diwarnai oleh budaya dan tradisi manapun, termasuk oleh tradisi muslim
nusantara yang konsisten melestarikan adat-istiadat, termasuk tradisi menyambut
bulan Muharram.
Yang ketiga, ternyata,
kepedulian terhadap tahun baru Islam, tidak berbanding lurus dengan tingkat
intelektualitas seorang muslim. Warga Tunisia, mayoritas berpendidikan tinggi,
namun dalam hal ini, bisa dikatakan masih kalah dengan muslim awam di
Indonesia. Di pelosok nusantara, muslim yang tidak berpendidikan tinggi justru
memiliki kepedulian tinggi terhadap tahun baru Islam. Maka, tidak berlebihan
bila S. Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Aku lebih kagum terhadap keyakinan
orang-orang bodoh (i’tiqad al-Juhhal)”. Wallahu A’lam
Subhanallah ustadz.... terharu... hehehe
BalasHapusi love islam di indonesia... walaupun disini saya juga merasa sama saja, karena disini juga orang-orang cenderung lebih merayakan tahun baru masehi di bandingkan dengan tahun baru hijriyah...
namun berbeda sekali dengan di kampung halaman saya, di desa masyarakat masih menghargai tradisi islam, walaupun hanya kenduren... masyarakat sangat antusias untuk merayakan tahun baru islam...
Terharu ya....hehee
HapusTrims, salam utk teman2
😢😢😢😢😢
BalasHapus😢😢😢😢😢
BalasHapusMenarik sekali Pak. Saya malah belum ke Sousse tapi insya Allah dalam waktu dekat. Live is travelling. Slam blogger pak. :)
BalasHapusTrims Mas Jauhari Umar. Salam PPI TUNISIA.
HapusMeskipun Tunissia mayoritas penduduknya beragama muslim tapi negara tersebut sekuler. gaya hidup mereka lebih condong kpd budaya Eropa. jadi wajar saja klo pas Hari-hari besar Islam mereka biasa2 saja. memang benar2 sekuler.
BalasHapusralat. beragama islam maksudnya.hehe
BalasHapusralat. beragama islam maksudnya.hehe
BalasHapus