Menyantuni Anak Yatim
Islam agama rahmat bagi semesta alam. Nikmatnya menjadi muslim, satu dengan lain seperti satu tubuh. Jika salah satu tubuh sakit, yang lain ikut merasakan sakit. Nabi bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Islam mengajarkan solidaritas, tolong menolong, gotong royong, saling bantu dan menyantuni. Ini ajaran mulia Islam. Termasuk santunan anak yatim. Bahkan, dalam Islam, nilai ibadah sosial lebih tinggi dari ibadah personal. Shalat sendiri dan jamaah lebih afdhal mana? Puasa (ibadah personal) pahalanya terkatung di langit (belum diterima) sebelum orang yang puasa bayar zakat (ibadah sosial). Haji umrah yang mabrur disebutkan harus tidak boleh ada rofas, fusuq, jidal (tidak berkata kotor, tengkar, saling debat), itu artinya haji harus menghormati orang lain (ibadah sosial). Demikian juga kurban, dagingnya harus dibagikan (ibadah sosial).
Al-Qur’an dan Anak Yatim
Kata yatim atau anak yatim, disebut 23 kali dalam al-Quran. Kata Mufrad (9x), Mustanna “Yatimain” (1x), dan Jamak (13x). Meski dalam bentuk kata berbeda, namun maksudnya sama. Bahwa, anak yatim adalah anak yang ditinggal wafat ayahnya dan dia belum baligh. Ini menunjukkan besarnya perhatian Islam terhadap anak yatim.
Negara dan Anak Yatim
Menurut UUD 45, konstitusi negara, anak yatim menjadi tanggung jawab negara. Pasal 34, ayat 1: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Itu artinya, para pendiri negara kita, telah peduli dengan anak yatim dan fakir miskin.
Pendusta Agama
Makanya, orang yang abai anak yatim dan fakir miskin, dilabeli pendusta agama. Beragama tapi mendustakan agama (QS. Al-Ma’un). Siapa? Yang menghardik anak yatim, tidak peduli mereka, bahkan mencegah orang lain berdonasi kepada fakir miskin. Dari surat ini, bisa diketahui bahwa menyantuni anak yatim berarti sikap membenarkan agama. Sebaliknya, menolak santunan anak yatim berarti mendustakan agama.
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ
Asbabun nuzul surah ini, menurut Prof Quraisy Syihab (Tafsir al-Misbah), dulu ada orang Quraisy, hampir setiap minggu berkurban, menyembelih unta. Lalu, suatu hari, datang anak yatim meminta bagian. Orang itu menghardik, mengusir si anak yatim. Dari kisah ini, bisa kita pahami bahwa orang yang dermawan harus tetap peduli anak yatim. Percuma dermawan, tapi tidak pernah menyantuni anak yatim.
Hukum menyantuni anak yatim
Para ulama berpendapat, menyantuni anak yatim, hukumnya fardlu kifayah. Jika ada anak yatim terlantar, maka kerabat dekat yang harus peduli. Jika tidak ada atau tidak mau, maka tetangga atau masyarakat sekitar. Jika semua tidak mau, maka seluruh umat Islam, berdosa.
Kisah Siti Aisyah menyantuni wanita miskin dan anak
Siti Aisyah berkisah:
وعن عائشةَ رضي اللَّهُ عنها قَالَتْ: جَاءَتني مِسْكِينَةٌ تَحْمِل ابْنَتَيْن لَهَا، فَأَطعمتُهَا ثَلاثَ تَمْرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً، وَرَفَعَتْ إِلى فِيها تَمْرةً لتَأكُلهَا، فَاسْتَطعَمَتهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّت التَّمْرَةَ الَّتي كَانَتْ تُريدُ أَنْ تأْكُلهَا بيْنهُمَا، فأَعْجبني شَأْنها، فَذَكرْتُ الَّذي صنعَتْ لرسولِ اللَّه ﷺ فَقَالَ: إنَّ اللَّه قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الجنَّةَ، أَو أَعْتقَها بِهَا من النَّارِ رواه مسلم
Wanita miskin dengan 2 anak yatim mendatangi Siti Aisyah. Saat itu, beliau tidak punya apapun kecuali 3 butir kurma, lalu diberikan ke ibu miskin. Ibu itu memberikan 2 kurma untuk kedua anak yatim, lalu 1 kurma lagi dibelah menjadi 2 dan diberikan ke 2 anak yatim. Berkat ini (jatahnya diberikan si yatim), ibu itu dijamin masuk surga dan bebas dari api neraka. Lihat, betapa prihatin hidup Siti Aisyah. Hanya punya 3 kurma dan itupun diberikan kepada orang miskin yang meminta-minta.
Pahala Santunan Janda (Yatim) dan Miskin seperti Jihad, Shalat Malam, Puasa
Nabi bersabda:
ما رواه أبي هريرة رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم حين قال: “السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ القَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ” رواه البخاري ومسلم
Kenapa menyantuni janda dan anak yatim sebesar itu pahalanya? karena berat, tidak semua mampu dan mau. Ada pesan WA, isinya perang di Palestina, lalu dinarasikan: bagikan ini sama dengan jihad. Ini pesan tidak jelas. Yang jelas perang itu seperti santunan anak yatim. Siang puasa, malam tahajjud, itu berat, kecuali orang ahli tirakat. Bagi yang tidak mampu, tapi punya kelebihan rizeki, lebih afdhal, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, lebih nyata manfaatnya.
Santunan Yatim melunakkan hati dan mewujudkan segala hajat
Seorang datang kepada Nabi, mengeluhkan hatinya keras, Nabi bersabda:
وعن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم رجل يشكو قسوة قلبه فقال صلى الله عليه وسلم: “أتحب أن يلين قلبك وتدرك حاجتك؟ ارحم اليتيم وامسح رأسه وأطعمه من طعامك يلن قلبك وتدرك حاجتك”.
Hati yang keras (bebel, nakal, emosional, ruwet, sumpek, stress), coba santuni anak yatim. Demikian juga, yang ingin hajatnya terkabul. Saya punya kerabat, lama dia belum dikaruniai anak. Sudah mencoba segala usaha. Akhirnya, dia istiqamah donasi ke panti asuhan. Tak lama, dia hamil.
Ayah ibarat Dinding Rumah
Kita mengenal ibarat: Ayah tulang punggung keluarga, terutama di bidang ekonomi. Karenanya, ketika sang ayah meninggal diumpamakan seakan-akan rumah yang hampir roboh. Anak yatim disebut sebagai anak kehilangan sandaran kehidupannya
Misalnya, dalam surah al-Kahfi ayat 76, dikisahkan Nabi Khidir dan Nabi Musa tiba di sebuah desa yang penduduknya kikir. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa desa itu adalah Al-Ailah. Kedua nabi itu minta dijamu, mereka menolak. Lalu, Nabi Khidir melihat tembok rumah tua yang mau roboh. Nabi Khidir membangun tembok yang akan roboh. Nabi Musa heran, kenap repot membangun tembok sendiri, bukankah lebih baik minta upah ke warga, toh itu juga milik warga? Ternyata, tujuan Nabi Khidir untuk menjaga harta anak yatim yang terpendam di bawah tembok agar aman, tidak digarong penjahat dan masyarakat.
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Harta orang shaleh dijaga tujuh turunan
Kenapa harta anak yatim dijaga? Karena keberkahan leluhurnya orang shalih. Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhim menjelaskan, kedua anak yatim itu dijaga sebab kesalehan orang tuanya, tapi tidak disebutkan kesalehan kedua anak itu. Antara kedua anak yatim dan orang tua yang saleh itu ada selisih 7 generasi leluhur. Jadi yang dimaksud “orang tua saleh” pada ayat itu adalah kakek pada generasi urutan ketujuh dari anak yatim tersebut, bukan orang tua yang melahirkan keduanya.
Dalam hal ini Tajudin Naufal dalam Hadiqatul Auliya’-nya mengatakan, bila ketakwaan kakek yang ketujuh saja memberikan kemanfaatan bagi tujuh keturunan, lalu bagaimana pendapat kita dengan ketakwaan orang tua kandung? Tidak dapat disangkal, pohon yang baik pasti berbuah baik. Orang yang memakannya tidak akan berhenti dan tetap kekal kebaikannya dengan ijin Allah Ta’ala
Dalil Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 220
فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَٰنُكُمْ ۚ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ ٱلْمُفْسِدَ مِنَ ٱلْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Ayat ini mengandung perintah agar berbuat baik kepada anak yatim. Anak yatim disebut sebagai saudara umat Islam. Jika berperilaku buruk kepada anak yatim, Allah pasti akan mendatangkan kesulitan.
Imam Thabari dalam Tafsir at-Thabari, berpendapat bahwa Allah menurunkan ayat ini untuk menjawab pertanyaan orang yang hidup bersama anak yatim yang mencampur hartanya dengan harta yatim. Ayat ini menjelaskan, yang terpenting pemeliharaan yang baik terhadap anak yatim, tidak menyia-nyiakan hidupnya, tidak menelantarkannya, serta terjamin ketentraman dan kesejahteraannya.
Dalil Al-Quran, Surah An-NIsa ayat 2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوباً كَبِيراً
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”
Menurut Syekh Mutawalli Sya’rawi, beberapa ayat Al-Qur’an tidak menyinggung antara anak yatim yang miskin dan kaya, hal itu menunjukkan bahwa semua umat Islam memiliki kewajiban merawat anak yatim, miskin maupun kaya. Sebab, kebutuhan anak yatim tidak hanya soal ekonomi saja, namun juga dukungan spiritual, moral, pendidikan, dan sebagainya agar bisa menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal.
Dalil dari Hadis Nabi
Pertama, Dekat dengan Rasulullah SAW di Surga
Keutamaan orang menyantuni anak yatim adalah dekat dengan Rasulullah SAW di surga. Bahkan kedekatan itu seperti jarak antara jari telunjuk dan jari tengah. Nabi bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُما شَيْئًا
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim itu akan masuk surga seperti ini,”. Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggang keduanya. (HR. Bukhari).
Kedua, Mendapat Jaminan Masuk Surga
Mengajak makan bersama anak yatim, jaminannya surga. Seperti penjelasan dalam sebuah hadits seperti berikut:
مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang mengikutsertakan anak yatim di antara dua orang tua Muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.”
Ketiga, Terhindar dari Siksa di Hari Kiamat
Orang yang menyantuni dan menyayangi anak yatim, Allah SWT tidak akan menyiksanya di hari akhir kelak. Dalam hadist yang artinya:
“Demi Yang Mengutusku dengan haq, Allah tidak akan menyiksa pada hari kiamat nanti orang yang menyayangi anak yatim, lemah lembut pembicaraan dengannya, serta menyayangi keyatiman serta kelemahannya.” (HR Thabrani dari Abu Hurairah).
Keempat, Amal yang Tidak Terputus
Dalam ajaran Islam, terdapat tiga amal yang tidak terputus yang salah satunya orang yang menyantuni dan merawat anak yatim. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits seperti berikut:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika manusia mati atau terputus amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat serta anak saleh yang selalu mendoakannya,” (HR Muslim Abu Hurairah).
Mengusap Kepala Anak Yatim, Pahala Kebaikan
Dalilnya, hadits Nabi dari Musnad Ahmad, 7/36:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيمٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلَّا لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مَرَّتْ عَلَيْهَا يَدُهُ حَسَنَاتٌ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيمَةٍ أَوْ يَتِيمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَفَرَّقَ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Diriwayatkan dari Umamah, sungguh Nabi bersabda: Barangsiapa mengusap kepala yatim karena Allah, maka setiap rambut yang ia usap memperoleh satu kebaikan. Barangsiapa berbuat baik kepada yatim di sekitarnya, maka ia denganku ketika di surga seperti dua jari ini. Nabi menunjukkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengahnya.
Dalam kitab Tanbihul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiya wal Mursalin karya Abullaits Assamarqandi (w. 373 H), disebutkan pahala mengusap kepala yatim:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
Barang siapa berpuasa di hari Asyura (10) Muharram, Allah akan memberi 1.000 pahala malaikat. Siapa puasa hari Asyura, diberi pahala 10.000 haji, umrah dan syahid. Siapa mengusap kepala anak yatim dengan tangannya, Allah mengangkat derajatnya untuk setiap rambut yang diusapnya.
Kisah Anak Yatim Sukses
Pertama, Nabi Muhammad
Ayah nabi, sayyid Abdullah, wafat di usia 25 tahun dalam perjalanan dagang ke Syam, ketika Nabi masih dalam kandungan. Ibu Nabi, Siti Aminah, wafat di Abwa’ dalam perjalanan ke Madinah, saat Nabi berusia 6 tahun. Nabi yatim piatu, diasuh kakeknya Abdul Muthalib, lalu diasuh pamannya Abu Thalib. Sejak kecil, telah mandiri, angon kambing. Di usia 12 tahun, beliau diajak dagang ke Syam. Sampai sukses, diangkat menjadi rasul di usia 40 tahun.
Kedua, Imam Syafi’i
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin as-Syafi’. Nama populernya, As-Syafi’i mengambil nama kakek. Lahir di Gaza, Palestina 150 H (767 M). Sang ayah wafat ketika Syafi’i berusia 2 tahun. Ia terlahir bukan di lingkungan keluarga akademis, bahkan tinggal di kawasan miskin dan minim akses pendidikan, ibunya yang berperan penting, selalu mendorong anaknya belajar.
Titik balik perjalanan kisah hidup Imam Syafi’i sebagai anak yatim dimulai saat Ibunda mengajaknya pindah ke kampung halaman ayahnya di Mekkah. Himpitan ekonomi tidak membuat Syafi’i minder. Justru, ia bersemangat menuntut belajar dari satu guru ke guru lain, dari satu madrasah ke madrasah, dan majelis ke majelis. Beliau terus berproses hingga hafal isi Al-Quran di usia 9 tahun.
Ia juga belajar ilmu bahasa Arab hingga merantau ke perkampungan Suku Hudzail, suku yang terkenal paling fasih berahasa Arab. Bahasa adalah kunci untuk memahami Al Quran dan hadits secara kaffah. Imam Syafi’i belajar di sana 20 tahun. Selama itu, ia berhasil menguasai bahasa arab, syair, hingga sejarah bangsa Arab. Hingga pada akhirnya, menjadi mujtahid Mutlaq di bidang fiqih, yang kini hasil ijtihadnya kita ikuti dalam beribadah.
Ketiga, Qais Al-Qorni
Anak yatim asal Yaman, dari keluarga miskin. Suatu hari, ia izin kepada ibunya untuk bertemu Rasulullah. Ibunya mengizinkan asalkan langsung pulang karena kondisi ibu sedang tidak sehat. Sesampainya di Madinah, ia tidak bertemu Rasulullah karena beliau sedang memimpin perang. Karena mesti pulang, ia hanya menitipkan pesan kepada Aisyah. Lalu, ia menepati janjinya, langsung ke rumah untuk mengurus ibunya lagi.
Suatu hari, Ibu Uwais ingin naik haji. Ia memutar otak untuk berusaha menabung makanan yang bisa menjadi bekal untuk ibunya. Selain itu, ia latihan menggendong lembu setiap hari agar fisiknya kuat saat menjalani ibadah haji bersama ibunya nanti. Tibalah masa haji. Ia menggendong ibunya karena sang ibu lumpuh. Keteladannya memuliakan ibunya sampai ke telinga Rasulullah yang begitu takjub sampai menyebut Uwais Al Qarni sebagai sosok yang disebut-sebut oleh penduduk langit, bukan bumi.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabatnya agar meminta doa dan istigfar kepada Uwais Al Qarni ketika bertemu:
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan datang seorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh, kecuali bagian satu (di telapak tangan). Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Andai ia mau bersumpah pada Allah, maka akan dikabulkan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Keempat, Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibnu Bardizbah lahir Jumat, 13 Syawal 194 H dalam keadaan yatim. Sejak kecil, ia menjadi yatim terdengar dan mengalami kebutaan. Ibunya tak henti-hentinya mengalirkan dukungan tulus untuk anaknya agar sukses dan tidak kecil hati. Ibunya berazam kalau putranya dapat melihat, ia akan menyerahkannya pada seorang guru untuk dididik ilmu agama. Demi kesembuhan anaknya, ibu berdoa setiap waktu, sambil menangis. Sampai suatu malam, ia mimpi bertemu Nabi Ibrahim berkata: Allah mengembalikan penglihatan anaknya. Sontak, ia bangun. Atas izin Allah, Bukhari kecil dapat melihat lagi. Sebagai bentuk rasa syukur Ibunda, ia ajak anaknya keliling negeri-negeri Islam untuk belajar hadits. Imam Bukhari mengelana ke Mekkah, Madinah, Baghdad, Kufah, hingga ke Asia Barat.
Imam Bukhari memiliki kemampuan menghafal yang sangat baik. Ia dapat menghafal di luar kepala hanya dengan satu kali membaca. Hasilnya, ia menjadi maestro hadits saat di usia 18 tahun Ia hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki’ bin Jarrah bin Malik. Saking cepatnya, beliau hafal ribuan hadits yang diriwayatkan 80 perawi. Lalu, menshahihkan 7275 hadits, dan menuliskannya di kitab masyhurnya “Shahih Bukhari”.
Kelima, Imam Hanbali
Namanya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu `Abdullah al-Shaybani lahir di Baghdad, Irak, 20 Rabiul Awal tahun 164 H. Ia yatim sejak bayi karena ayahnya wafat. Ayahnya adalah pimpinan militer di Khurasan. Sejak kecil, Imam Hanbali familiar dengan hadits karena ibunya seorang pengajar Al Quran dan hadis di Persia. Kakeknya, Hanbal bin Hilal adalah gubernur Persia pada masa Dinasti Umayyah.
Ia berada di keluarga terpandang, tinggal di kota Baghdad, pusat kebudayaan dan pengetahuan. Tercukupinya akses membentuk kepribadian Hanbali yang teguh, tegas, dan cerdas. Meskipun dikelilingi fasilitas mumpuni, ia tidak menjadi pribadi egois. Di usia 19 tahun, ia merantau dari Baghdad ke kota Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Yaman, dan Syam untuk menggali ilmu agama. Ia berguru kepada Imam Syafi’i dan beliau memuji kecerdasan Hanbali di bidang Fiqih, Hadist, dan Zuhud. Keuletan serta keberanian membuat Imam Hanbali menjadi salah satu anak yatim pengubah dunia dengan ilmu hingga mampu mendirikan madzhab sendiri, Hanbali.