Takbir, secara etimologi, berasal dari bahasa Arab
"Kibr" yang artinya "Besar". Melalui proses morfologis,
kata itu berubah menjadi "Takbiir" artinya
"membesarkan". Proses perubahan ini membuatnya menjadi transitif;
dari "besar" ke "membesarkan". Meski berubah, tapi tetap
saja, kata dasarnya satu, yakni "kibr" yang juga sering diartikan
"besar, sombong, adigung".
Dari semua sifat-sifat Allah, hanya sifat "kibr"
(sombong) yang tidak boleh ditiru oleh makhluk, sebab kebesaran dan kesombongan -sebagaimana dalam hadis- hanya baju milik Allah semata. Bahkan, Nabi mengancam,
"Tidak akan masuk surga seseorang yang di hatinya ada kesombongan meski
sebesar biji atom".
Sementara itu, sifat-sifat Allah yang lain seperti rahim
(kasih sayang), halim (santun), badi' (inovatif), salam (damai), dan banyak
lagi, semua itu boleh dan bahkan diperintah oleh Nabi agar ditiru oleh umatnya.
"Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah", pesan Nabi. Makanya, iblis diusir
dari surga karena ia memakai baju sombong (kibr).
Jadi sesungguhnya, ketika kita bertakbir, hakikatnya kita hanya
mengakui Allah saja Yang Maha Besar. Bersamaan dengan takbir itu, maka semestinya
kita juga mengakui dan menyadari kekerdilan, kekecilan, kelemahan, kebodohan diri
kita sendiri, bukan yang orang lain. Jika kita bertakbir untuk membesarkan Ke-Maha
Besar-an Allah, akan tetapi di saat itu juga kita memandang kecil dan remeh orang lain, itu
artinya telah terselip setitik "kibr" di dalam diri kita.
Jika kita memahami hakikat takbir dengan sebenar-benarnya, maka tidak akan mudah
berteriak takbir yang disertai cacian dan makian kepada orang atau kelompok
lain. Sebab, takbir semacam ini tergolong takbir-tahqir. Maksudnya, mengira
mengagungkan Allah tapi sebenarnya melecehkan Allah. Mengaku bahwa
"kibr" cuma milik Allah, tapi tanpa terasa juga memakainya untuk
merendahkan makhluk Allah bernama manusia yang sejatinya amat dimuliakan
oleh-Nya.
Jika kita belajar dari shalat yang diawali takbir dan di
setiap gerakan juga diawali takbir, itu maksudnya kita wajib konsisten hanya
mengagungkan Allah dalam kondisi apapun, baik saat berdiri, rukuk atau dalam
posisi sujud yang secara fisik jelas menunjukkan kehinaan kita sebagai makhluk hingga posisi kepala harus
sejajar dengan tanah, tempat kita dicipta dan ke sana pula kita kembali.
Dan, yang terpenting lagi, takbir dalam shalat diakhiri
dengan salam untuk menebar kedamaian. Maka, jika kamu bertakbir tapi kemudian
berakhir dengan permusuhan, itu artinya, takbirmu bukan seperti takbir yang
selama ini aku pahami. Entahlah.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Tulis komentar