Masih tentang Allah, mengenalkan asma-Nya yang agung kepada anak, memang gampang-gampang susah. Gampangnya, jika hanya mendekte atau mentalqinkan nama Allah, saya yakin anak-anak mudah menirukannya. Bahkan, mereka gembira menyebutnya bila diiringi irama lagu, syair, shalawat dan sebagainya. Susahnya adalah apabila anak-anak mulai kritis dan bertanya lebih jauh tentang dzat, sifat, asma' dan af'al Allah. Disini perlu bahasa komunikasi yang efektif dan kondusif sesuai nalar berpikir anak.
Tentang pengenalan asma Allah, saya sendiri tidak tahu, kapan pastinya kedua anak saya itu mengenal nama Allah itu? Saya juga tidak tahu, apakah memang sayalah orang yang pertama kali mengenalkan Allah kepada anak saya? Ataukah mungkin orang lain, misalnya, ibunya, guru ngajinya, temannya, atau siapa? Yang jelas, kedua anak saya yang mungil ini sudah mampu melafalkan asma Allah dengan cukup fasih.
Hal yang sama juga terjadi pada diri saya sendiri. Jika saya kembali mencoba untuk mengingat-ingat memori masa kanak-kanak dahulu, saya pun sama sekali susah mengingat tentang siapa orang pertama yang menyebutkan asma Allah di telinga saya? Dan, siapa pula orang yang getol memperkenalkan saya dengan Allah?
Bila saya bertanya kepada abah saya: benarkah beliau yang dulu pernah mengumandangkan kalimat adzan dan iqamah di kedua telinga saya setelah saya baru dilahirkan? Abah saya mengaku "Iya". Jadi, dari aspek historis ini, saya pun berkesimpulan bahwa abahlah yang kali pertama memperdengarkan asma Allah ke dalam jiwa dan raga saya. Jasa dan jerih payah abah saya itu, sepanjang masa akan saya ingat, saya kenang, dan saya apresiasi tinggi dengan terus mendoakannya dan juga semua keluarga saya yang telah berjasa mengenalkan Allah. Dengan harapan, saya dan mereka semua ditetapkan untuk kenal, dekat, dan makrifat kepada Allah. Ditetapkan untuk selalu mengimani-Nya sebagai Tuhan dengan perasaan ridha dan penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, Dzat Yang Maha Kuasa.
Dari hasil analisis strukturalis-genetik, awalnya saya berkesimpulan, orang tualah orang pertama yang mengenalkan saya dengan Allah. Apalagi, bila diperkuat hadis Nabi, "Kullu mawluudin yuladu 'alal fitroh, fa abaawahu yuhawwidaanihi aw yunashshironihi aw yumajjisaanihi". Artinya, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Orang tualah yang (terkadang) membuatnya menjadi yahudi, nasrani atau majusi".
Dari hadis ini, kesimpulan saya kian kuat. Akan tetapi, setelah dewasa, sayapun berpikir ulang, apakah memang benar, orang tua yang mengenalkan tentang Allah? Padahal, ada banyak orang di sekitar kita pada saat kanak-kanak dulu yang saya yakin mereka juga turut berperan mengenalkan saya kepada Allah. Ada guru ngaji, kakek-nenek, saudara, teman bermain, tetangga, dan banyak lagi. Bahkan, para muadzin yang mengumandangkan adzan, para qari' yang membacakan al-Quran, para imam shalat rawatib, para khatib, dan banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan, tapi mereka turut berjasa dalam proses perkenalan ini.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila Ali bin Abu Thalib ra. berkata: "Aroftu murabbi fa 'aroftu Rabbi", aku kenal guruku sehingga aku kenal Tuhanku". Kalimat 'murabbi' disini adalah sebuah ekspresi tentang begitu banyaknya orang yang berperan dalam makrifatullah ini. Atau, ada juga yang menafsirkan bahwa 'murabbi' di situ tiada lain adalah Rasulullah saw sebagai manusia pertama yang mengenalkan Allah di zaman jahiliyah dulu.
Begitu banyaknya orang yang berpengaruh dalam proses makrifat ini, jika diteliti lebih dalam dan dikaji lebih serius, hasilnya kita sulit memastikan tentang orang pertama yang paling berjasa dalam hal ini. Apalagi, jika 'perkenalan' ini tidak sebatas pengenalan asma Allah, tapi juga ayat-ayat-Nya, sifat-Nya, ciptaan-Nya dan sebagainya, maka semakin sulit dipastikan siapakah gerangan sang perantara makrifat itu?
Nah, tatkala pertanyaan saya ini kian membesar, maka kesimpulan awal tadi lalu berubah hanya sekedar sebagai tesis belaka. Atau, bisa jadi levelnya telah turun menjadi hipotesis. Perlukah antitesis? Atau, perlukah riset lanjutan agar terbukti? Jawabnya, jelas perlu, bahkan harus.
Ketika saya terus merenung hingga pikiran saya telah sampai ke ambang batas, nalar dan logika saya mencapai puncak hingga saya tak mampu lagi berpikir, maka ketika itulah, saya telah tiba pada sebuah penyadaran dan penyerahan yang sepenuhnya. Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa yang mengenalkan saya dengan Allah adalah Allah sendiri. Dialah yang mengenalkan diri-Nya melalui ayat, ciptaan, rasul, orang tua, teman, bahkan diri saya sendiri.
Sekali lagi yang perlu dicatat, saya mengenal Allah karena Allah yang memperkenalkan saya dengan-Nya. Jadi, tidak berlebihan, bila statemen Abu Bakar ra. sangat berbeda dengan pendapat Ali bin Abu Thalib ra. di atas. Ash-Shiddiq berkata, "Aroftu Rabbi fa 'aroftu Rabbi". Bahkan, Rasulullah saw sendiri menegaskan, "Addabani Rabbi fa ahsana ta'dibi", artinya Allah yang mendidikku dan Dia pula yang memperbagus pendidikanku".
Kesimpulannya, Allah sendiri yang telah mengenalkan asma-Nya dan kedudukan-Nya sebagai Tuhan semesta alam melalui berbagai tanda atau ayat, baik ayat kauniyah maupun ayat qur'aniyah. Setiap makhluk pun juga telah diberi-Nya kesempatan untuk bisa mengenal-Nya. Maka, mensyukuri perkenalan ini wajib hukumnya bagi siapa saja yang ingin lebih mendekat dengan-Nya.
Terakhir, kelak saya akan mengatakan kepada anak-anak saya, "Nak, itulah Allah. Dia itu ada. Dia sendiri yang mengenalkan Diri-Nya kepadamu. Berterima kasihlah kepada-Nya dengan mempercayai dan menyembah-Nya. Serahkan dirimu hanya kepada-Nya. Jangan yang lain". Titik!
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar