Jika di dunia hukum, kini ramai dikenal istilah "Markus" atau "Makelar Kasus" karena ada oknum yang menyelewengkan wewenangnya dan bebas memperjual-belikan pasal tergantung negosiasi dan besaran uang suap yang diterima, ternyata sistem makelarisme juga ada di dunia pendidikan. Bukankah ini cukup mengagumkan? Mengingat lembaga pendidikan yang bertugas mencetak generasi bangsa yang berakhlak mulia dan berwawasan luas, justru dikotori oleh para makelar.
Kenapa bisnis ala makelar kok lebih digemari? Seakan-akan cara makelar dan percaloaan adalah jalan keluar terbaik di tengah kesulitan ekonomi. Yaah, jawabannya karena cara makelar memang mudah, murah, resikonya kecil, bisa lepas dan cuci tangan sewaktu-waktu, tapi hasilnya lumayan.
Akhir tahun 2009 lalu, para pengelola madrasah ibtidaiyah swasta sangat bergembira, terutama MI di daerah-daerah yang selama ini hidupnya kembang kempis. Pasalnya, bantuan pendidikan untuk pembangunan sarana fisik madrasah bisa cair 100 persen. Awalnya, dana bantuan yang dimimpikan itu, tertulis sebesar 90 juta. Wow, ini adalah angka yang fantastik bagi yayasan/lembaga swasta yang telah lama memimpikan dana sebesar itu, karena biasanya, lembaga pendidikan swasta masih tergantung donasi dari para pengelola, wali murid dan para simpatisan.
Namun, apa yang terjadi? Madrasah Ibtidaiyah swasta tetap saja menjadi sasaran empuk para mafia pendidikan. Atas alasan ini dan itu, bantuan yang masuk ke rekening sekolah, nyatanya tidak bersih 100 persen (90 juta). Ada dana yang disunat atas alasan klasik yang tidak dimengerti oleh para guru MI. Dana itupun dicairkan secara bertahap sehingga ditengarai uang itu masih nandon dulu di rekening lain agar berbunga-bunga.
Pihak yang berwenang mencairkan dana itu menjelaskan berbagai macam alasan tentang pemotongan dana bantuan sebesar 15 persen lebih. Ada yang katanya untuk pengawas, pembuat proposal, para desainer bangunan, pengambil kebijakan, dan lain sebagainya. Walhasil, dana yang masuk ke sekolah sekitar 75 jutaan. Raib 15 juta untuk para makelar dana bantuan. Angka 15 juta ini baru 1 madrasah, lalu berapa banyak jumlah MI penerima bantuan? Jika di satu kecamatan ada 10 MI, berarti ada 150 juta dana bantuan yang hilang entah kemana dan untuk apa. Lalu, berapa jumlah uang yang raib, jika satu kabupaten/kota? Padahal, praktek makelar semacam ini telah merata di mana-mana. Tanya! kenapa?
Pihak sekolah bukan berarti mereka dungu lalu menerima apa adanya. Awalnya, pihak pengelola MI mempertanyakan hal itu kepada pihak diknas/depag. Tapi dengan penjelasan yang justru gak jelas, akhirnya para kepala sekolah dan ketua yayasan tidak bisa berbuat apa-apa. Jika mereka protes, ada rasa khawatir madrasah mereka akan di-black list dan ke depan tidak akan diikut-sertakan dalam berbagai proyek bantuan. Jadi, bagaimana pun tangan di bawah selalu berada di bawah tekanan.
Sementara itu, MI sebagai penerima bantuan diharuskan melakukan renovasi fisik dengan mempercantik fisik kelas, kantor madrasah, dan sebagainya. Mereka pun juga diwajibkan memberikan laporan penggunaan dana bantuan secara rinci, lalu para pengawas pun berseliweran guna melihat benar-tidaknya ada renovasi yang dilakukan pihak madrasah. Padahal, di sisi lain, pihak MI juga tidak diberitahu rincian penggunaan dana 15 persen lebih yang telah ditilep oleh aparat berwenang.
Hal di atas hanya salah satu contoh makelar bantuan pendidikan (Mak Bandik). Selain dana itu, diyakini masih banyak dana lain yang dimakelari. Pokoknya, setiap ada dana bantuan untuk pihak yang membutuhkan, selalu disana ada makelar yang mengambil untung dan bebas menari di atas penderitaan para guru dan pengelola pendidikan.
Telah menjadi rahasia umum, bila proposal pengajuan cair, maka dana bantuan harus dipotong-potong untuk pajaklah, untuk para pembuat proposal, untuk pejabat pengambil kebijakan, untuk pengawas, dan untuk alasan lain-lain yang tidak jelas dan amat merugikan. Intinya, harus ada dana yang dijadikan "tumbal" bagi para makelar.
Dilihat dari sudut pandang manapun dan apapun alasannya, kebohongan dan praktek makelar yang mewabah di dunia pendidikan, benar-benar mencemari pendidikan itu sendiri yang sejatinya mengajarkan kejujuran, keterbukaan dan mengedepankan moral anak bangsa.
Oleh karena itu, dunia pendidikan harus benar-benar bersih dari para bandit berkedok praktisi pendidikan. Sekolah, kampus, kantor diknas dan depag harus disterilkan dari virus-virus makelar. Bila tidak, maka sampai kapanpun mental korupsi, kolusi dan cara makelar, tidak akan pernah hilang dari Indonesia. Sebab, lembaga pendidikan adalah awal pembentukan mental seseorang. Jika bangsa ini dibesarkan dari lingkungan berbasis makelar, jelas visi dan misi pendidikan Indonesia juga harus segera direvisi. Yakni, membentuk generasi calo bangsa dan insan-insan makelar yang berwawasan uang dan uang.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar