Di antara negara-negara lain di ASEAN, anggaran pendidikan Indonesia masuk kategori rendah, terutama bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai 200 juta lebih. Tapi, apa memang itu kendalanya? Sebab, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa anggaran pendidikan setiap tahunnya tidak pernah habis, tapi selalu tersisa mencapai ratusan miliar rupiah. Kalau memang problemnya adalah kecilnya anggaran, maka logikanya, semua dana pendidikan yang tersedia dapat terserap!
Anggaran dana pendidikan yang cukup, jelas penting. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah perbaikan sistem pendidikan nasional. Artinya, anggaran setinggi apapun tidak menjamin akan memperbaiki sistem pendidikan, bila para pengelolanya masih tetap bermental korup, kolusi, berwawasan proyek dan kurang memiliki kemampuan manajerial.
Jika demikian adanya, maka bisa jadi, ke depan sekolah-sekolah akan berubah menjadi pasar, tempat untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dengan kata lain, letak permasalahannya bukan pada tinggi-rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan, tapi sejauh mana dana yang ada itu dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk pelaksanaan pendidikan.
Peningkatan anggaran pendidikan, bila tidak diimbangi dengan perbaikan dan kenaikan anggaran di bidang lain, seperti: anggaran sarana-prasarana, transportasi, fasilitas kesehatan dan sebagainya, maka kenaikan itu tidak secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan. Sebaliknya, malah hanya membuka peluang korupsi yang besar pada pejabat di daerah. Sebab, dana yang tersedia begitu besar tapi bingung penggunaannya.
Para pengelola pendidikan, termasuk kepala sekolah dan guru, harus memiliki perencanaan yang matang. Sekolah harus punya renstra yang jelas. Ada cita-cita untuk maju dan semua terencana dengan baik serta dilaksanakan secara bertahap. Tanpa perencanaan, kenaikan anggaran pendidikan bisa memperparah mental korupsi para aparat pendidikan.
Perencanaan yang bersifat sentralistik patut digugat dan dibasmi. Tiap sekolah dan perguruan tinggi harus mandiri serta mempunyai rencana pembelanjaan yang tepat dan sesuai kebutuhan. Hal ini penting agar pencairan anggaran bisa terserap sesuai kebutuhan dan bermanfaat langsung bagi sekolah dan masyarakat. Pembelanjaan yang hanya didesain "dari atas" lalu lembaga pendidikan digelontori berbagai media/sarana pengajaran yang belum mereka butuhkan, justru sering membuat anggaran itu mubazir. Misalnya, ada sekolah mendapat bantuan LCD Proyektor, padahal sekolah itu tidak punya komputer/laptop atau bahkan berada di daerah yang belum teraliri listrik, maka LCD itu hanya jadi barang antik. Dan, inilah contoh perencanaan dan pencairan anggaran yang tanpa melibatkan pihak sekolah yang bersangkutan sehingga kebijakan yang ditempuh tidak berpijak pada need assessment.
Dana pendidikan yang dikeluarkan negara harus benar-benar dinikmati manfaatnya oleh peserta didik dan pengelola pendidikan yang ada di sekolah/PT. Segala kebutuhan yang menyangkut perbaikan mutu pendidikan dan pelayanan harus bisa tercover dari dana tersebut. Jangan sampai aliran dana itu meluber dan mengalir di luar ranah pendidikan. Atau, jangan ada pengurangan (baca: korupsi) di tengah aliran dana, karena terkadang sekolah hanya menerima bantuan yang jumlah minim gara-gara dipotong atas alasan distribusi dan upah jasa bagi para pengambil kebijakan.
Terakhir, yang perlu digarisbawahi adalah bilamana dunia pendidikan yang hakikat wahana untuk menanamkan nilai moral telah dikotori oleh kepentingan bisnis sesaat dan dijalankan oleh orang-orang bermental korup, maka pertahanan terakhir bangsa ini benar-benar kebobolan. Bank, kantor pajak dan perusahaan, tampak wajar bila di sana ada menjadi sarang koruptor, sebab sejak awal memang profit oriented. Tapi, bila virus korupsi telah menginfeksi pendidikan, itu artinya, bangsa kita benar-benar berada pada titik nadir sebuah kebobrokan moral yang akut.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar