20 Juli 2015

Yang Dibakar Masjid, Yang Disalahkan Kok Banser

 


Aneh bin ajaib! Masjid dibakar, tapi Banser disalahkan, gara-garanya, tiap natalan, Banser menjaga gereja sehingga dinilai lalai atau lupa menjaga dan mengamankan masjid saat Idul Fitri.

Analogi berpikir seperti ini, yah mungkin saja benar, tapi juga bisa saja lebay. La kok tiba-tiba Banser yang di-bully, apa tidak ada sasaran yang lain? Penilaian dengan kalimat provatif seperti itu, sengaja dibesar-besarkan untuk mengecilkan peran NU dan juga Banser yang selama ini selalu siap lahir-batin membela negara, sebab NKRI adalah harga mati!

Atau, memang sengaja, penilaian itu ingin membangunkan singa yang sedang diam! Singa yang diam, jangan kau kira tidur apalagi takut. Sebab, jika sudah bangun apalagi menerkam, ia tidak akan pernah berhenti hingga mengoyak mangsanya sampai berkeping-keping.

Ingat, selain menjaga ulama dan NU, Banser sebagai warga negara juga bertugas menjaga NKRI. Apalagi, NU telah menerima Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI adalah final. Oleh karenanya, apapun yang terjadi dan berusaha merusak tatanan berbangsa dan bernegara, serta menyebabkan disintegrasi, maka NU maupun Banser, pasti tidak akan tinggal diam.

Untuk kasus pembakaran masjid di Papua, masih banyak jalan dan cara yang bisa ditempuh. Tidak harus kekerasan dibalas kekerasan, kejahatan dibayar kejahatan, pembakaran ditukar pembakaran.
Sudah ada aparat berwenang yang menangani segala tindak kejahatan. Tugas tokoh agama dan masyarakat mendukung pemerintah dalam penyelesaian kasus ini hingga tuntas, dimana yang bersalah harus bertanggungjawab dalam kolidor hukum yang berlaku di Indonesia.

Dari sini, kita bisa belajar, bahwa radikalisme tidak boleh tumbuh subur di tanah air Indonesia. Entah itu radikalisme atasnama agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dls), atasnama sekte, suku, bahasa, adat-istiadat, parpol, dan bahkan radikalisme olahraga atau produk kaos oblong sekalipun. Radikalisme yang menghalalkan anarkisme dan pelanggaran terhadap hukum negara adalah 'musuh bersama' yang harus diberantas dari bumi nusantara.

Terlebih lagi, Indonesia adalah negara dengan umat yang beragam. Ada banyak umat yang beda agama. Bahkan, dalam satu agama saja, sudah beda madzhab, sekte, kepercayaan, dan seterusnya.

Oleh karena itu, sangat disayangkan bila ada pihak yang mengolok-olok Banser dan NU atas kasus pembakaran masjid. Jelas, itu salah alamat. Jangan lupa, di tahun 1965, nama Banser pernah mencuat karena bersama tentara bahu-membahu menumpas upaya pemberontakan dan makar terhadap negara. Saat ini, peran Banser jelas lebih luas, tidak hanya siap 'tempur', tapi yang lebih berat dari itu adalah mengawal NU dan NKRI menjaga perdamaian abadi demi wujudnya keadilan sosial bagi SELURUH rakyat Indonesia. Tanpa terkecuali!

"Balasan kejahatan adalah kejahatan yang sama. Namun, orang yang memberi maaf dan mengusahakan perdamaian, maka pahalanya dijamin oleh Allah. Sungguh, Allah tidak mencintai orang-orang yang dzalim" (QS. Asy-Syura: 40)

Biarkan aparat berwenang yang menangani kasus ini. Para ulama dan dai NU di Papua sedang membahas dan mencari solusi agar kasus seperti ini tidak terulang di masa depan. Mereka yang berdakwah di Papua adalah yang paling paham dengan kondisi sosio-kultural di pulau cenderawasih itu.

Tugas kita di luar Papua atau bahkan di media sosial, sebenarnya sangat ringan. Cukup tidak memprovokasi, itu sudah lebih baik. Bahkan, diam pun jauh lebih baik daripada memperkeruh suasana dan berkoar-koar jihad, apalagi memukul dan mengolok sesama muslim.

Satu lagi yang patut menjadi catatan tentang Banser. Mereka bukan polisi, bukan pula tentara. Mereka adalah santri pesantren yang memiliki loyalitas terhadap ideologi, negara, dan agama.

Semoga bumi nusantara di seluruh wilayah Indonesia, rakyatnya hidup rukun dan damai. Amin.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar