25 Februari 2011

Pendidikan Pragmatis

 

"Ah, ngak usah sekolah tinggi-tinggi, paling-paling jadi pengangguran". "Ngapain pilih jurusan ilmu murni seperti sastra, ilmu tafsir, hadis, matematika atau yang lain? Ngak jelas mau jadi apa?".

Selain komentar miring seperti di atas, masih banyak lagi pikiran yang kian menunjukkan bahwa kebutuhan bersekolah atau kuliah hanya untuk keperluan kerja. Sekolah sama dengan ijazah, ijazah adalah peluang untuk kerja, dan kerja adalah pintu untuk meraup uang dan kebahagiaan.

Sejak menempuh studi, terutama di perguruan tinggi, orang tua bahkan telah mengajarkan pentingnya peluang kerja melalui bangku sekolah. Mereka berprasangka rugi apabila anak-anaknya sekolah atau kuliah lalu berakhir menjadi pengangguran. Kesuksesan sekolah atau kuliah hanya dibatasi pada karier anaknya apabila kelak setelah lulus dapat diterima sebagai pegawai pemerintahan atau karyawan di sebuah perusahaan.

Ajaran ini telah merasuk tajam ke dalam lubuk jiwa sehingga langsung maupun tidak langsung, pandangan terhadap proses pendidikan menjadi materialistis dan serba hedonis. Bila hanya pekerjaan yang dibutuhkan dari bangku kuliah, itu artinya pola pendidikan yang ada akan terjebak pada kebutuhan pragmatis. Dengan kata lain, pandangan ini sangat bersifat sempit. Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses perubahan jati diri peserta didik dari kekanak-kanakan menuju kedewasaan, dari kebodohan menjadi kecerdasan, dari sempitnya wawasan menjadi luasnya pengetahuan, dan seterusnya.

Ada banyak bekal yang diperoleh dari proses belajar-mengajar, termasuk keteladanan, kearifan, kemandirian, kebenaran, dan kekuatan hidup yang nilai cukup mahal. Maka, apabila tujuan bersekolah atau kuliah hanya untuk pencapaian kerja dan pemerolehan ijazah atau sertifikat belaka, itu artinya sama dengan mempersempit cara pandang generasi mendatang.

Padahal, dunia kerja saat ini -terutama pada tingkat swasta- sudah tidak lagi terjebak pada legalitas ijazah atau sertifikat. Meski, lembar ijazah atau sertifikat ini merupakan representasi hasil evaluasi terhadap skill pemiliknya. Namun, dunia kerja tetap saja memandang skill, keterampilan, kemampuan, visi dan misi personal. Artinya, hanya orang yang berkualitas saja yang akan mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan dan dialah yang selalu akan menjadi pilihan.

Oleh karena, jika menuntut ilmu di bangku sekolah atau kuliah hanya berorientasi pada pemerolehan ijazah atau sertifikat belaka, maka usaha ini pada saatnya nanti akan tergerus oleh masa. Saat tuntutan meningkat dan skill seseorang tidak turut mengikutinya, orang itu akan ditinggalkan zamannya. Sebaliknya, ketika dunia kerja atau instansi hanya mengukur skill seseorang dari ijazah atau sertifikat, boleh jadi instansi itu kelak akan gigit jari karena ia telah mengabaikan banyak orang yang sebenarnya berpotensi luar biasa. Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar