Penganut Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) lebih singkat dan akrab disebut "Sunni". Pada hakikatnya, Ahlus Sunnah Wal Jamaah bukanlah paham baru yang muncul sebagai reaksi terhadap paham-paham Islam sebelumnya. Namun, Aswaja sendiri telah ada sejak era Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Tiga prinsip utama Aswaja, yakni: tawwassuth (bersikap tengah), tawaazun (seimbang) i'tidal (tegak lurus), merupakan prinsip sikap tengah dan seimbang dalam menyikapi berbagai masalah. Kaum sunni tidak ke-kanan-kananan dan tidak juga ke-kiri-kirian. Kaum sunni tidak berwatak fundamentalis dengan menampilkan Islam garang, namun juga tidak liberal yang membuka kran kebebasan sebebas-bebasnya. Kaum Sunni bukanlah "Islam Keterlaluan" dan juga bukan "Islam Kebablasan".
Dalam masalah aqidah, kaum Sunni berusaha berada di tengah, menyeimbangkan, tapi tetap bersikap lurus, tegak dan kokoh memegang prinsip. Demikian juga dalam memposisikan agama dalam negara maupun mendakwahkan Islam berwawasan kultural, kaum Sunni dengan cantik dan ramah berhasil mengejawantahkan ajaran Islam dan nilai-nilai keagamaan secara apik.
Misalnya saja, tentang masalah sifat dan dzat Allah swt. Kaum Sunni berada di antara penganut paham Mujassim dan kaum Mu'aththilah. Kaum Mujassim berkeyakinan bahwa Allah memiliki fisik yang sama dengan makhluk. Dia memiliki tangan, mata, telinga dan juga kaki. Sementara kaum Mu'aththilah malah menafikan sifat-sifat Allah dan berkeyakinan bahwa dzat dan sifat tidak ada pada Allah.
Misalnya lagi tentang perbuatan manusia terkait takdir Allah. Kaum Sunni berada di antara Qadariyah dan Jabariyah. Kelompok Qodariah berpendapat bahwa manusia memiliki kuasa penuh terhadap dirinya. Manusia bebas menentukan segala-galanya, karena itu usaha atau ikhtiyar adalah harga mati dan tidak perlu memandang takdir Allah. Pendapat ini bertolak belakang dengan kaum Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya dan tidak punya kuasa sedikitpun karena segala sesuatu telah ditentukan Allah swt. Manusia bagaikan kapas yang tak berdaya, ikut pergi kemanapun angin berhembus.
Dampak dari pendapat Qodariyah adalah munculnya sikap sombong dan bahkan bisa menghilangkan keimanan terhadap qada'-qadar atau ketetapan Allah swt. Manusia ala Qadariyah akan bertindak "semau gue" dan lebih mengandalkan akal pikiran serta tindakannya sendiri. Sedangkan dampak dari pendapat Jabariyah dapat membuat orang bersikap pesimis terhadap segala hal. Sebab, ia menggantungkan segalanya kepada takdir yang itu akan membuatnya tidak bergairah dalam berusaha, beriktiyar dan melakukan inovasi-inovasi baru.
Bagaimana dengan Kaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah atau umat Islam mayoritas yang keyakinannya benar, tidak keliru, tidak sesat dan tidak pula menyesatkan?
Sekali lagi, kaum sunni dalam hal ini berposisi di tengah. Bukan berarti plin-plan atau tidak berpendirian. Justru inilah sikap yang benar dan kokoh. Kaum sunni sama sekali tidak menafikan ikhtiyar dan juga takdir Allah. Ikhtiyah atau usaha, dalam pandangan sunni, adalah wajib dilakukan manusia sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa hingga merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri". Meski demikian, dalam pandangan Aswaja, seorang mukmin wajib meyakini bahwa segala sesuatu itu bisa ada dan berjalan dengan kehendak dan takdir Allah, termasuk juga ikhtiyar manusia.
Dengan kalimat sederhana, manusia hanya wajib berusaha atau berikhtiyar semaksimal mungkin lalu ia bertawakkal kepada Allah. Sedangkan perkara hasil tidaknya ikhtiyar itu adalah urusan Allah Yang Maha Berkehendak. Dialah Tuhan Yang Maha Melihat dan Mendengar. Dialah Sang Maha Kuasa atas segala-galanya. Dia Tahu apa terbaik bagi hamba-Nya yang terus berusaha sambil bertawakkal kepada-Nya. Inilah pandangan sunni yang dimaksud dengan prinsip keseimbangan.
Misalnya lagi, tentang janji (al-wa'd) dan ancaman (al-wa'iid) Allah. Kaum Sunni berada di antara kelompok Murji'ah dan Khowarij. Kelompok Murji'ah berpandangan bahwa semua hukuman atas perbuatan manusia di dunia harus diserahkan Allah. Manusia, negara, suku atau instansi apapun tidak berhak menghakimi dan menvonis kelakuan manusia. Semua tidak boleh bertindak secara hukum untuk menghukumi manusia. Inilah pandangan kaum Murji'ah yang boleh jadi kelompok atau paham-paham baru saat ini ada yang berpandangan sama dengan mereka.
Lain Murji'ah, lain lagi dengan Khowarij. Kelompok ini berpandangan bahwa hukum satu-satunya di dunia adalah hukum Allah. Hanya berdasarkan Al-Quran saja, kita manusia harus menegakkan hukum. Karenanya, hukuman yang harus ditimpakan kepada seseorang yang melanggar aturan al-Quran (syariat) harus juga dihukum secara syariat. Tidak ada hukum lain. Tidak ada undang-undang atau aturan lain yang patut ditegakkan kecuali al-Quran. Titik!!
Betapa berbahayanya pandangan kaum khawarij melalui slogan "La hukma illa Allah", mereka menafikan semua aturan manusia. Undang-undang negara, hukum adat-istiadat, aturan masyarakat dan konsensus manusia, semua diabaikan. Bukankah ini yang mengakibatkan perilaku fundamentalis dan makar terhadap otoritas negara sebagai penyelenggara kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan ini, jika diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, jelas tidak ramah lingkungan. Sebab, di sekitar kita, banyak aturan, nilai, undang-undang, AD/ART dan sebagainya yang notabene-nya produk manusia, semua itu juga memuat nilai dan norma positif.
Pandangan yang menafikan hukum adat, hukum negara dan hanya melihat al-Quran semata, jelas akan mudah disetir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang dengan mudah mengobarkan sifat-sifat militansi untuk melawan negara dan semua kelompok yang diklaimnya kafir atasnama penegakan syariat dan hukum Islam. Sengaja mereka membenturkannya dengan menaburkan benih-benih penyulut seiring lemahnya penegakan hukum negara, ketidak adilan yang merata, wajah demokratisasi, kesenjangan ekonomi, dan sebagainya.
Kaum sunni memandang bahwa penegakan hukum-hukum Allah terkait dengan ibadah baik mahdhah maupun ghair mahdhah memang harus. Namun demikian, kaum sunni juga tidak lalu mempertentangkan hukum-hukum yang disepakati manusia seperti adat-istiadat, tradisi setempat, dan undang-undang negara dengan hukum Islam. Selain al-Quran, masih ada as-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Juga ada kaidah-kaidah fiqh semisal: kaidah "al-'Adah Muhakkamah", bahwa adat dan kebiasaan juga bisa menjadi dasar hukum. Oleh karenanya, kaum Sunni mampu menampilkan Islam secara kaffah yang universal, membumi dan mudah diterima oleh siapapun dan kapanpun. Inilah prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan inilah prinsip umat Islam, umat Nabi Muhammad saw.
Islam sebagai way of life dan ajaran yang universal, nilai-nilainya tidak harus dipertentangkan dan didogmakan menjadi aturan-aturan saklek dalam pratana sosial. Justru, nilai-nilai Islam itu harus dibumikan, diinternalisasikan dalam gerak langkah manusia tanpa harus dipaksa untuk dilembagakan, diresmikan atau dilegalkan segala. Negara dan budaya setempat dipandang sebagai wahana untuk menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam keseharian. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, kesetia-kawanan, sopan santun, dan sebagainya merupakan hal-hal prinsipil yang perlu ditampilkan seorang muslim.
Ini artinya, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka undang-undang negara dan aturan masyarakat itu juga harus ditegakkan. Nilai-nilai positif yang ada dalam hukum dan aturan hasil konsensus manusia itu, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama, perlu didukung dan dibela. Dengan demikian, stabilitas dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat menjadi cita-cita bersama yang harus diperjuangkan senada dan seirama.
Ketiga prinsip Aswaja (tawassuth, tawaazun, i'tidaal) bisa dilihat dalam masalah keyakinan (teologi), perbuatan lahiriyah (fiqh) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati (tasawwuf).
Dalam praktik keseharian, ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah di bidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam Asyari dan Imam Maturidzi. Dalam masalah perbuatan badaniyah termanifesatikan dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syaf'i dan Madzhab Hanbali. Dalam tasawwuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali (al-Idza'ah al-Muhimmah, h. 47).
Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh para ulama salafunas shalih, sebagai panutan dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Dan, mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi umatnya berdasarkan hadis Nabi, "Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku khulafa al-rasyiduun yang mendapat petunjuk" (Musnad Ahmad bin Hambal, 16519).
Tidak ada komentar:
Tulis komentar