Suatu hari, Nabi Musa as. ingin menguji seorang muridnya. Seperti halnya ujian spiritual tempo dulu, sang guru mengajak muridnya untuk ikut serta dalam sebuah ekspedisi rohani atau perjalanan spiritual yang dalam tradisi para wali Jawa adalah ujineng lelakune urip.
Kali ini, Nabi Musa as mengajak muridnya berjalan-jalan di sebuah kawasan pegunungan. Keduanya terus melangkah tiada henti. Nabi Musa yang dikenal berbadan kekar, jelas memiliki stamina tinggi. Berbeda dengan sang murid yang mulai tampak kelelahan. Namun, demi ketaatan terhadap guru, murid itu terus menahan diri untuk tidak berkeluh kesah.
Kaki boleh kuat, tapi tidak dengan perut. Rasa keroncongan mulai melilit. Keadaan ini makin membuat kondisi tubuh si murid makin lemas dan letih. Akhirnya, Nabi Musa pun menghentikan perjalanan. Saat istirahat, Nabi Musa mengeluarkan 3 buah roti. "Ini satu roti untukmu. Satu untuk saya dan satu lagi biarkan di sini". Segera si murid meraih roti yang menjadi jatahnya. "Tunggu di sini sebentar. Saya mau buang air kecil dulu", pesan Nabi Musa. "Baik, guru", kata muridnya.
Melihat sang guru menuruni tebing di bibir pantai karena hendak mencari lokasi buang air kecil, hati si murid mulai lega. Pasalnya, ketika Nabi Musa mulai lenyap dari pandangannya, si murid itu langsung melahap roti miliknya. Merasa belum kenyang, akhirnya sebuah roti ia makan lagi dan kini tersisa satu roti yang itu jatah Nabi Musa.
Setelah melahap kedua roti, si murid pun pura-pura pergi juga untuk mencari tempat buang air kecil di lokasi lain yang tentu berbeda dengan Nabi Musa. Setelah selesai, sepasang guru dan murid itu pun kembali ke tempat pembagian roti tadi. Saat tiba di lokasi, Nabi Musa terkejut menyaksikan roti yang diletakkannya di atas batu hanya tersisa satu.
"Bukankah kamu saya suruh menjaga roti-roti kita? Mengapa hanya tinggal satu buah roti?", tanya Nabi Musa. Si murid menjawab, "Setelah tadi saya melahap roti yang telah menjadi jatah saya, saya pun pergi untuk buang air kecil. Saya tidak tahu, mengapa roti itu lalu tersisa satu". Mendengar alasan muridnya, Nabi Musa memaklumi sambil berkata, "Baiklah jika kamu tidak tahu. Satu roti ini saya makan dulu dan biarlah roti satunya menghilang. Mungkin ada orang yang sedang kelaparan dan memerlukan roti itu".
Akhirnya, kedua orang itu pun melanjutkan perjalanan yang kali ini akan melintasi danau. "Bersiap-siaplah! Pegang tangan saya. Kita berdua akan berjalan di atas air". Sambil ragu-ragu, kedua tangan murid itu memegang erat tangan gurunya. Ajaib!! Nabi Musa dan muridnya mampu berjalan di atas air danau tanpa menaiki apapun. Inilah mukjizat!
"Setelah kamu menyaksikan kehebatan mukjizat tadi, sekarang saya mau bertanya lagi, apakah kamu tahu siapakah gerangan yang mengambil dan memakan satu roti kita tadi", tanya Nabi Musa. Si murid hanya menjawab, "Wallahu a'lam. Saya benar-benar tidak tahu".
"Kalau begitu, mari kita teruskan perjalanan!!", ajak Nabi Musa. Saat keduanya melepas lelah di sebuah hamparan padang pasir, tenggorokan mereka mulai kering. Rasa haus tak bisa tertahankan, sementara di sekitar tempat itu tidak tampak mata air. Apalagi, bekal air minum yang mereka bawa juga sudah habis. Akhirnya, Nabi Musa berinisiatif memukulkan tongkatnya di sebuah batu.
Fan fajarat!! Tiba-tiba, di balik sela-sela batu besar itu, air tawar yang jernih mengalir deras. Alangkah gembira mereka melihat peristiwa menakjubkan ini. Tanpa basa-basi, mereka langsung meminum air itu sepuas-puasnya. Setelah rasa haus menghilang, kembali Nabi Musa bertanya kepada muridnya, "Ngomong-ngomong, apakah kamu tahu siapa yang memakan satu roti kita?", tanya Musa. "Wah, saya juga penasaran, Guru. Saya ingin tahu orang yang mengambil roti itu", jawab si murid tanpa rasa bersalah.
Setelah mendengar jawaban itu, Nabi Musa kembali memukulkan tongkatnya ke 3 buah batu berukuran sedang. Praak!!! Tiba-tiba, ketiga buah batu itu berubah menjadi emas. Betapa girang hati si murid melihat emas yang berkilauan di depan mata. "Ah, ini rupanya tujuan guru mengajakku jalan-jalan untuk menunjukkan mukjizatnya sekaligus memberiku kekayaan", pikir si murid.
Nabi Musa berkata, "Ketiga emas ini, sekarang saya bagi seperti saya membagi roti kita tadi. Sebongkah emas ini untuk saya, satu lagi untukmu, dan biarkan yang satu itu tetap di tempatnya". Si murid bertanya, "Untuk siapa emas yang terakhir itu?". Musa menjawab, "Emas ketiga itu akan saya berikan kepada orang yang telah memakan roti kita tadi".
Mendengar perkataan gurunya, tanpa sadar, si murid itu berkata, "Maaf, Guru. Berarti, emas itu untuk saya sebab sayalah orang yang melahap roti tadi". "Ha...ha..., kini saya tahu orang yang menghabiskan roti saya", kata Nabi Musa. Muka murid itu memerah karena menahan malu atas ketidak jujurannya selama dalam perjalanan spiritual.
Dari kisah di atas, dapat diambil banyak hikmah. Salah satunya, ternyata melatih jujur itu tidak mudah. Nabi Musa hanya ingin tahu apakah muridnya adalah orang yang jujur dan mampu memegang amanah. Sekali lagi, berlaku jujur, apalagi mengakui kesalahan secara terus terang, sangat sulit diterapkan.
Hikmah kedua, ternyata aneka peristiwa luar biasa yang itu merupakan mukjizat, tidak serta merta bisa digunakan sebagai media untuk merubah hati manusia. Meski, kejadian luar biasa semisal mampu berjalan di atas air, memancarkan mata air dari batu dan sebuah tongkat bisa merubah batu menjadi emas, namun peristiwa luar biasa dan jauh di atas nalar manusia ini, tetap tidak mampu membersihkan kotoran dalam hati.
Hikmah yang ketiga, ternyata kelemahan manusia adalah harta kekayaan. Saat si murid ditunjukkan berbagai mukjizat, ia masih tetap kuat menutup mulutnya. Namun, saat ia digoda dengaan emas, tanpa sadar sekalipun, hati, pikiran hingga mulutnya pun tunduk terhadap godaan harta.
Inilah sebuah perjalanan spiritual dari seorang guru untuk menguji kejujuran, ketahanan, ketabahan dan kesabaran muridnya. Sebuah metode PKL (Praktek Kerja Lapangan) yang benar-benar penuh hikmah. Seakan tanpa teori, Nabi Musa ingin mengajarkan kejujuran yang itu adalah nilai hidup paling mulia bagi manusia dan sifat utama bagi rasul yang akan ia wariskan kepada muridnya. Sayang, sang murid gagal dalam ujian spiritual dalam lelakoning urip.
Bagaimana dengan Anda, adakah hikmah lain yang bisa dipetik dari kisah di atas?
Tidak ada komentar:
Tulis komentar