29 Mei 2011

Wanita dijajah Pria

 

Diciptakan alam pria dan wanita
dua makhluk dalam asuhan dewata
Ditakdirkan bahwa pria berkuasa
adapun wanita lemah lembut manja


Wanita dijajah pria sejak dulu
dijadikan perhiasan sangkar madu
namun ada kala pria tak berdaya
tekuk lutut di kerling wanita

Itulah lirik lagu berjudul “Sabda Alam”. Apa memang benar posisi wanita selalu dibawah pria? Jika iya, alangkah malangnya nasib seorang wanita. Melihat sejarah, memang tak bisa dipungkiri lagi, wanita sering didiskriminasikan dan dimarjinalkan. Bahasa sederhananya, wanita selalu menjadi korban.

Dalam perkawinan, wanita boleh dimadu entah dengan alasan nas agama, titah raja, keputusan adat, dan sebagainya. Sedangkan pria, sama sekali tidak rela bila diduakan. Padahal, perempuan manapun pasti sakit hatinya saat dimadu.

Dalam hal pekerjaan, wanita lebih banyak diposisikan sebagai "pembantu" kaum lelaki. Meski kini ada wanita yang berposisi sebagai juragan atau majikan, namun tetap saja posisinya itu masih juga kerap disetir oleh kaum lelaki.

Catatan tentang perbudakan wanita, prostitusi, pelecehan, penyiksaan, dan segala hal yang menyakitkan kaum wanita, telah begitu banyak ditulis dan didengar. Namun, tradisi dan sifat ego di dalam diri lelaki kerap menjadi faktor genetik untuk menjajah dan menguasai kaum wanita.

Sejak dalam kandungan, sebuah keluarga biasanya lebih menginginkan anak perempuan, terutama jika jabang bayi itu adalah anak pertama. Dan, bila kemudian anak yang lahir berjenis kelamin laki-laki, orang tuanya tampak begitu bahagia. Sebaliknya, bila anak pertamanya perempuan, maka di hatinya ada sedikit kekecewaan. Entah mengapa perasaan semacam itu selalu muncul? Padahal, inilah salah satu tanda dimulainya kriminasi terhadap perempuan.

Dalam khutbah terakhirnya, Rasulullah saw berpesan, "Ittaqullah fin nisa', Ittaqullah fin nisa', Ittaqullah fin nisa'". Artinya, bertaqwalah kalian kepada Allah di dalam diri perempuan. Perintah ini diulangi sebanyak 3 kali karena pentingnya posisi perempuan sekaligus menjadi bukti keprihatinan Nabi terhadap nasib kaum perempuan yang sering dikesampingkan. Karena itu, maka posisi dan kadar taqwa seorang pria diukur dengan sejauh mana perlakuannya terhadap wanita.

Seharusnya, sebagai mitra lelaki, kaum wanita bukan hanya diposisikan sebagai alat reproduksi belaka. Lebih dari itu, wanita dalam perannya sebagai ibu merupakan kekuatan utama untuk mencetak generasi berkualitas di masa mendatang. Dengan perasaannya yang lembut dan kasih sayangnya yang tanpa batas, wanita memiliki kekuatan besar yang tidak bisa ditandingi pria. Dukungan isteri kepada suami dengan terus memberi motivasi, lalu belaian ibu kepada putra-putrinya, merupakan power kebangkitan dan keberanian menatap masa depan. Di sinilah mengapa kadar taqwa itu diukur melalui diri seorang wanita.

Bila pernah mendengar sebuah statement, "Dibalik tokoh pria yang sukses selalu ada wanita (isteri) yang kokoh dan tak kenal berhenti mensupport belahan hatinya", maka pernyataan ini jelas bukan isapan jempol belaka. Sejarah telah membuktikannya!

Ketika kali pertama Nabi memperoleh wahyu, bertemu malaikat Jibril, beliau begitu gelisah dan gemetar. Dalam keadaan menggigil, kedinganan, Nabi menceritakan pengalamannya itu kepada Siti Khadijah, isterinya. Sambil menyelimuti sang suami tercinta, Siti Khadijah berkata, "Tak usah bersedih, apalagi takut. Sungguh, ini kehendak Tuhan. Dia telah memilihmu sebagai rasul-Nya dan aku orang pertama yang percaya terhadap semua yang Anda sampaikan".

Kata-kata itu begitu menentramkan hati Sang Nabi. Terasa lebih hangat daripada selimut yang membalut tubuhnya. Ada kekuatan yang berasal dari belahan hati dan jiwa. Kekuatan itu adalah kekuatan wanita yang mampu meneguhkan tekad dan pendirian pria.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar