4 Juni 2011

Bid'ah, Siapa Takut?

 


Kata "Bid'ah", seringkali menjadi kata untuk menvonis sebuah perbuatan atau kegiatan yang dinilai tidak ada dalam ajaran Islam. Karena Nabi tidak melakukan sesuatu, maka sesuatu itu jika dilakukan oleh umatnya, lalu buru-buru dicap "bid'ah", "menyimpang" atau "sesat".

Apakah memang semua hal yang tidak dilakukan Nabi dan tidak ada di zaman beliau disebut bid'ah? Bagi kelompok-kelompok yang suka menvonis bid'ah, jelas menjawab “iya” yang itu didasarkan hadis Nabi sendiri:

ألا وإياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة.

Artinya, "Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan membuat hal-hal baru (yang bertentangan dengan ajaran syara'), karena perkara paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan, setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid'ah. Sesungguhnya, semua bid'ah itu adalah sesat" (Sunan Ibnu Majah, 45).

Perlu diketahui, bahwa untuk memahami al-Qur'an dan hadis, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriyah sebuah teks. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Quran dan hadis. Misalnya, kondisi masyarakat ketika ayat itu diturunkan, termasuk juga meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni melalui analisis ilmu nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan sebagainya.

Dalam hadis di atas -yang sering dijadikan senjata bagi kelompok "bid'ah minded"-, Nabi Muhammad saw menggunakan kata "kullu" yang secara tekstual diartikan "seluruh" atau "semua". Sebenarnya, kata "kullu" ini, tidak selamanya berarti “keseluruhan” atau “semua”, namun adakalanya berarti "sebagian" seperti firman Allah:

وجعلنا من الماء كل شيء حي

Artinya, "Kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air"(QS. Al-Anbiya: 30).

Meski ayat di atas memakai kata "kullu", namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah firman Allah swt sendiri:

وخلق الجان من مارج من نار

Artinya "Allah telah menciptakan jin dari percikan api yang menyala" (QS. Ar-Rahman: 15). Jika jin diciptakan dari api, tidak dari air, itu berarti kalimat “semua tercipta dari air” sebenarnya mengandung pengertian “sebagian” tidak “semua”.

Selain ini, masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa kata "kullu" tidak harus diartikan "semua", tapi juga berarti "sebagian". Demikian pula dengan hadis Nabi yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud di atas. Hadis tentang bid'ah itu, meski memakai kata "kullu", bukan berarti seluruh bid'ah dilarang. Sebab, yang terlarang hanya sebagiannya saja.

Hal ini bisa dibuktikan dari perilaku para sahabat Nabi sendiri yang ternyata banyak melaksanakan perbuatan atau melaksanakan kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah saw masih hidup. Misalnya, usaha untuk membukukan al-Qur'an, menambah adzan jum'ah menjadi 2 kali, shalat tarawih berjamaah sebulan penuh, dan masih banyak lagi hasil ijtihad atau bid'ah (baca: kreasi) para sahabat yang ternyata juga tidak pernah ada di masa Rasulullah saw.

Nah, kalau "kullu" pada hadis di atas diartikan "keseluruhan" yang berarti "semua bid'ah dilarang", maka berarti para sahabat telah melakukan dosa kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Bahkan, di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Jadi, tidak mungkin kalau para sahabat Nabi Muhammad saw tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan hadis itu.

Ini merupakan bukti bahwa kata "kullu" yang ada pada hadis di atas, berarti "sebagian", bukan keseluruhan. Karena itu, tidak semua bid'ah dilarang. Yang dilarang hanya bid'ah yang secara nyata akan merusak ajaran Islam. Titik!!

Dengan demikian, sangat beralasan jika para ulama lalu membagi bid’ah menjadi 2 bagian besar. Salah satunya, Imam Syafi’i yang mengatakan, “Al-Muhdatsaat (sesuatu yang baru atau diada-adakan) itu ada 2 macam. Pertama, hal baru itu menyalahi al-Qur'an, sunnah Nabi saw, atsar atau ijma’ para sahabat. Ini disebut dengan “bid’ah dhalal (sesat). Kedua, hal baru itu termasuk kebajikan yang sedikitpun tidak menyalahi al-Qur'an, sunnah dan ijma’. Tipe kedua ini disebut “bid’ah ghairu madzmumah” atau bid’ah yang tidak tercela” (Fathul Bari, XVII/10).

Sengaja, Imam Syafi’i sengaja menyebut hal baru (muhdatsaat) yang baik dan yang buruk dengan tetap menyebut bid’ah; bid’ah dhalal dan bid’ah ghair adzmumah. Beliau ingin menyadarkan bahwa term atau istilah bid’ah itu tidak perlu ditakuti lagi. Bid’ah bukan sesuatu yang mengerikan. Bid’ah bukan sebuah aib, cela, atau hal yang selalu dikonotasikan negatif. Bahkan, dalam kamus-kamus modern, kata “bid’ah” yang berakar dari “ba-da-‘a” justru diartikan “kreativitas, inovasi, karya, dan hal-hal positif lainnya”.

Lebih lanjut, Syekh Nabil menegaskan bahwa bid’ah hasanah masuk ke dalam bingkai hadis Nabi Muhammad saw.

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده ولا ينقص من أجورهم شيء، ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها بعده ولا ينقص من أوزارهم شيئ

Artinya, “siapa pun yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka dia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan, barangsiapa merintis sunnah yang jelek (sunnah sayyiah), ia akan mendapat dosa dari perbuatannya itu dan dosa-dosa orang setelahnya yang meniru perbuatan itu tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka” (HR. Muslim).

Ringkasnya, bid’ah itu ada 2 macam. Pertama, bid’ah hasanah (bid’ah baik) atau disebut juga sunnah hasanah, yakni hal-hal baru yang tidak ada atau tidak dilakukan di zaman Nabi Muhammad saw namun tidak bertentangan dengan agama (al-Qur'an, Sunnah dan Ijma’ para sahabat). Kedua, bid’ah sayyiah atau sunnah sayyiah, yakni hal-hal baru yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bertolak belakangan dengan al-Qur'an, Sunnah maupun ijma’ para sahabat”.

Dalam konteks itu, saya terkagum-kagum dengan keberanian dan kecerdasan Sayyidina Umar bin Khattab ra, ketika keputusan beliau yang mengadakan shalat tarawih secara berjamaah, padahal di masa Nabi, shalat tarawih berjamaah tidak pernah ada. Dengan kalimat singkat, Umar menjawab: “نعمت البدعة هذه”, artinya, sebaik-baik bid’ah adalah ini.

Kata “bid’ah” dan “sunnah”, nasibnya memang beda-beda tipis. Bid’ah sering dikonotasikan jelek dan sesat, sedangkan Sunnah lebih dimanjakan atau dikonotasikan baik. Padahal, bid’ah hasanah sama saja dengan sunnah hasanah, demikian pula bid’ah sayyiah juga tidak ada bedanya dengan sunnah sayyiah. Asal tidak bertentangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah, maupun atsar atau ijma’ para sahabat, silahkan berkreasi dan berinovasi, namun dengan tetap berpegang pada statemen “al-muhafadzah ‘ala al-qadiim al-shalih, wal-akhdu bil-jadiid al-ashlah”. Bid'ah, Siapa Takut?

2 komentar:
Tulis komentar