16 Juni 2009

Full Day School dan Kebebasan Anak

 


Istilah Full Day School (FDS) berarti siswa belajar di sekolah sehari penuh mulai pagi hingga sore hari. Program ini banyak ditemukan pada sekolah tingkat dasar SD/MI yang berstatus unggulan. Biasanya, sekolah tersebut tarifnya mahal dan FDS bagian dari program favorit yang "dijual" pihak sekolah.

FDS memang menjanjikan banyak hal, diantaranya: kesempatan belajar siswa lebih banyak, guru bebas menambah materi melebihi muatan kurikulum biasanya, orang tua siswa terutama yang bapak-ibunya yang sibuk berkarier di kantor dan baru bisa pulang menjelang maghrib mereka lebih tenang karena anaknya ada di sekolah sepanjang hari. Biasanya, di sekolah berlabel Islam, FDS dilengkapi paket mengaji al-Quran, kursus bahasa Arab/Inggris, dan sebagainya. 
Sesungguhnya, melihat tujuan dan hasil, FDS ini memang positif dan bermanfaat meningkatkan skill anak. Tapi masalahnya adalah kebebasan anak. Dunia anak tak bisa lepas dari permainan. Anak perlu bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya yang ada di kampung atau di lingkungan rumah. Anak juga perlu sering bertatap muka, berinteraksi dan bercanda tawa dengan kedua orang tua. Suasana siang hari di alam rumah adalah lingkungan yang dibutuhkan oleh anak untuk segera berinteraksi dan berasimilasi dengan para tetangga dan teman bermain yang dekat dengan tempat tinggalnya. Hal-hal tersebut merupakan kesempatan mahal yang harus dienyam anak sebelum masa itu berlalu.

Program Full Day School memang menyajikan berbagai pola permainan edukatif bagi anak. Akan tetapi, bagaimana pun juga jiwa anak masih terikat dengan aturan sekolah yang tidak oleh semua anak diterima dengan suka rela. Ketika anak baru bisa bertemu dengan orang tuanya menjelang malam hari, semuanya telah kelelahan. Ayah capek, ibu segera mengurus rumah tangga sehabis pulang kerja dan anak juga sangat letih usai sekolah seharian penuh. Belum lagi jika sekolah masih membebani anak dengan berbagai macam model pekerjaan rumah (PR). 
Sungguh patut dipertanyakan, sanggupkah anak-anak berjuang dan bertanggung jawab atas semua itu?! Pulang sekolah, sehabis mandi dan makan bersama orang tua, anak-anak langsung mengerjakan PR lagi. Segala otaknya diperas hingga kering hanya demi sekolah. Akibatnya, anak-anak ditumbuh besarkan dalam situasi yang sejak awal menjauhkan mereka dengan orang tua dan teman bermain di lingkungannya.

Dari hari ke hari, mereka hanya bertemu dengan orang-orang yang sama. Wali kelasnya, beberapa guru dan teman sekelas. Dari waktu ke waktu, kehidupan mereka telah terjadwal secara teratur bagaikan mesin. Hampir setiap hari, mereka harus tunduk pada aturan-aturan yang mengikat atas nama "pendidikan". Padahal, pendidikan bukan hanya di sekolah, tapi juga lingkungan, masyarakat dan utamanya adalah keluarga. Tak heran, jika hari libur tlah tiba, di mata anak-anak tampak rasa bahagia. Sorakan hore yang mereka suarakan ketika mendengar kata libur adalah sebuah pemberontakan jiwa pada sistem yang dibangun oleh orang-orang di sekitarnya yang telah mencuri kebebasannya. 
Dalam lubuk hati paling dalam, mereka bertanya: kapankah tiba saatnya Full Day of Freedom, bukan Full Day in School...?!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar