2 Juni 2011

Hanya menyebut Allah

 


Hampir tiap waktu, lafal Allah terdengar di telinga kita. Saat di masjid, kelas, kantor, rumah, kamar dan dimanapun. Hampir di tiap tempat tulisan Allah bisa kita baca, baik dalam huruf Arab atau Latin, di buku, kaligrafi dinding, stiker dan media lainnya.

Kini, sebagai muslim kita bebas menyebut asma-Nya dalam hati, dengan suara pelan atau lantang. Tak ada satu pun yang melarang kita. Nama yang begitu agung itu terasa ringan ditulis atau diucapkan. Padahal kebesaran asma itu seharusnya membuat orang yang melafalkan atau mendengarnya menjadi tunduk sikapnya, bergetar hatinya, lenyap keakuannya sehingga nama itu menjadi paling akbar melebihi segalanya hingga menjadikan alam sekitar terasa kecil dan hampa. Saat itulah, muncul kebersamaan dan penyerahan sepenuhnya kepada Sang Esa, Allah.
Orang-orang yang disebut mukmin, menurut Al-Quran, adalah apabila disebut asma Allah, wajilat qulubuhum, hatinya bergetar. Jika itu tanda seorang mukmin, maka hingga kini saya pribadi belum berani menyebut diri ini sebagai mukmin.
Tatkala Rasulullah sedang shalat tepat di depan Ka'bah, beberapa orang kafir Quraisy menghampirinya, lalu mereka berusaha mengganggu dan menyakiti Nabi. Ada yang sekedar menghina dan mengolok-olok. Ada pula yang menarik rambut beliau. Bahkan, ada yang nekad bertindak lebih keras dengan memukul bagian punggung hingga menendang tubuh Muhammad saw. Tapi, kebersamaan Nabi saat menghadap Allah di dalam shalat membuatnya tetap tegar dan kuat hingga tidak merasakan sakit apapun. Kebesaran dan keindahan Allah melupakan Nabi atas segala hal di sekitar dirinya.

Saat kezaliman dan anarkisme mereka kian menjadi-jadi, tiba-tiba dari kejauhan tampak pria berlari tergopoh-gopoh mendekat ke arah kerumunan orang yang sedang terbahak-bahak menyakiti Nabi. Dengan muka merah padam, pria itu berteriak lantang: "Apakah kalian akan membunuh seseorang hanya karena dia menyebut dan menyembah Allah...!" Kata terakhir yang diucapkan pria itu membuat mereka bengong, saling berpandangan, lalu pergi.
Tampaknya, ada rasa gentar di lubuk hati mereka yang paling dalam tatkala asma agung itu disebut. Pria yang berani menyuarakan asma Allah di tengah angkara murka itu adalah Abu Bakar, seseorang yang direkomendasikan Nabi bahwa imannya paling top dibanding iman seluruh penduduk bumi. Ketulusan, keikhlasan dan keberanian Abu Bakar telah membuat bobot dan efek lafal Allah begitu dasyat, menghentikan kemungkaran, menggetarkan jiwa dan mengubah sebuah keadaan.
Di lain waktu, tepat di bawah sebatang pohon yang rindang, tampak seorang lelaki sedang duduk bersandar. Dilihat dari matanya yang sayup, keringatnya yang menetes deras membasahi bajunya, jelas lelaki itu kelelahan. Belum lama dia beristirahat, tiba-tiba muncul seorang pria bertubuh kekar di depan lelaki itu. Dengan suara lantang, pria yang tangan kanannya memegang sebilah pedang itu berseru, "Hai, berdiri kamu!".
Dengan terpaksa, lelaki yang hendak beristirahat itu segera berdiri sejajar dan berhadapan. Anehnya, sekalipun terancam, tapi lelaki itu tampak santai. Tidak tampak rasa takut sedikitpun di raut wajah lelaki itu. Tiba-tiba, pria garang tersebut mengacungkan pedangnya dan mengarahkannya ke muka lelaki itu sambil ia berkata, "Jika keadaanmu telah terdesak seperti ini, siapa yang sanggup menolongmu?". Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab sebab dalam realita jawabannya tampak hanya milik si penanya. Tapi tanpa terduga, lelaki yang wajahnya tampak bersih itu memiliki jawaban lain. Itu pun hanya dengan satu kata yaitu "Allah".
Ketika asma Allah telah disebut secara spontan tapi penuh kesadaran dan penghayatan, tiba-tiba terjadi sebuah peristiwa yang luar biasa. Pria bertubuh kekar itu, pedangnya bergetar demikian juga kedua lututnya. Pria itu terasa shok dan tubuhnya terasa kecil setelah mendengar nama Allah disebut dengan mantap. Tak terasa, pedang yang digenggamnya itu jatuh dari tangannya. Kini, lelaki yang tadi jiwanya terancam itu secara berlahan tangannya meraih pedang yang jatuh di tanah.
Dan, keadaan berubah 180 derajat. Lelaki itu menggenggam pedang lalu mengarahkannya pada pria kekar di depannya yang kini telah ketakutan. Lelaki berpenampilan sederhana itu ganti bertanya, "Jika begini, siapa yang akan menolongmu?". Dengan muka memelas, pria itu duduk bersimpuh. Berlahan ia angkat kedua tangannya sambil berkata, "Tak ada satu pun yang bisa menolong, kecuali engkau, Muhammad memaafkan aku". Ternyata, lelaki itu adalah Muhammad.
Allah, saat disebut Nabi Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar adalah asma agung yang teramat mulia maknanya dan besar pengaruhnya dalam merubah keadaan. Allah yang telah disebut kedua orang itu sanggup membuat laut terbelah, gunung meledak, bumi terhampar, bintang bertaburan apalagi sekedar makhluk lemah semacam manusia.
Jika hanya menyebut nama Allah, segala hal dapat berubah positif, lalu kenapa ketika hendak bertindak dan beraktifitas kita, terutama aku, tidak selalu menyebut asma-Nya? Mengapa hati orang-orang kafir itu bisa bergetar saat Allah disebut, sementara kita yang muslim tidak merasakan getaran itu?!
Allaaaaaah, ampuni daku yang tak selalu menyebut asma-Mu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar