2 Juni 2011

Pilih Syukur atau Kufur?

 

Kemarin malam, tepat di bawah jembatan fly-over di Kotalama, Malang, saat saya sedang antri membeli nasi tahu telor, tiba-tiba ada seorang pemuda memesan es teh. Usianya masih sekitar 20 tahunan. Wajahnya terlihat kusut. Dari keringat bercampur debu yang diusapnya dengan kaos oblongnya, jelas pemuda itu sedang kelelahan. Maksud hati ingin berkenalan, tapi ternyata ia lebih dulu menyapaku sambil bertanya, "Maaf mas, apa jalan ijen masih jauh?".
Dari obrolan kami, ternyata pemuda itu berasal dari Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Bayangkan, desa itu berjarak 50 km dari kota Malang! Sejak pagi setelah subuh, pemuda yang masih jomblo itu telah keluar rumah untuk mencari nafkah. Saat ia menunjuk barang dagangannya yang sedang diparkir di depan warung, ketika itu saya sempat terkejut. Ternyata, pemuda itu menjual 4 buah daun pintu dari kayu yang diletakkan di atas gerobak dorong.
Sepanjang jalan ia menarik gerobaknya itu berharap ada pembeli yang berminat dengan karya seninya itu. Saya tidak tahu, dagangannya telah laku berapa buah dalam sehari-semalam. Yang jelas, ia hanya menjual hasil kerajinan tangan itu. Menurut penuturannya, ia mencari atau membeli kayu di hutan lalu dibentuk menjadi daun pintu beserta ayahnya di kampung. Lama saya amati gerobak itu hingga mata saya tertuju pada sehelai sarung yang diikatkan di bagian bawah daun-daun pintu yang dijual itu. Setelah kurang lebih 15 menit ngobrol, pemuda itu beranjak pergi sambil menarik gerobaknya yang cukup berat. Saya pun terus memandinginya hingga ia lenyap berbelok di perempatan jalan.
Subhanallah! Alhamdulillah! hanya 2 kalimat itu saya bisa saya ucapkan. Selama saya menyantap makan malam, pikiran saya tetap tertuju pada pemuda yang menurut saya sangat spesial. Ia telah mengajarkan kepada saya tentang makna syukur yang dalili-dalilnya telah saya hafal, tapi sulit diterapkan dalam kehidupan. Hingga menjelang tidur, saya menilai betapa rendah rasa syukur saya dibanding pemuda itu. Pikirkan, betapa ia rela mencari nafkah walaupun belum memiliki tanggungan istri dan anak. Rasa ego, malu bekerja, sifat manja, sikap ketergantungan pada orang lain, semua itu tidak ada dalam kamus pemuda itu. Seorang diri dia menyusuri jalanan menawarkan dagangan tanpa sikap pesimis dan putus asa. Panasnya terik matahari, kencangnya terpaan angin, derasnya debu jalanan, dinginnya suasana malam, semuanya dianggap sebagai teman dalam perjalanan menatap masa depan. Dia benar-benar pasrah dan tawakkal hanya kepada Allah, Sang Pembagi rizeki. Sekalipun jarak tempuhnya jauh dan berbagai kesulitan lain yang ditemui di jalanan, tapi pemuda itu tetap tidak melupakan Allah.
Pemuda itu mendirikan sholat, ibadah fardlu yang menurut hadis Nabi adalah ibadah pertama yang ditinggalkan umatnya di akhir zaman. Bayangan wajah ayah-ibunya di kampung terus membakar semangat pemuda itu untuk selalu tabah dan maju tanpa kenal lelah. Ia tidak akan pulang hingga dagangannya habis. Ia hanya akan kembali saat ia yakin bisa melihat orang tua yang renta tersenyum bahagia.
Hingga tulisan ini saya upload, bayangan wajah pemuda itu tetap ada di hati dan pikiran. Saya pun teringat dengan Nabi Muhammad saw, seorang nabi yang juga kekasih Allah dimana derajatnya telah dimuliakan dan jika pun bersalah, dosanya yang lampau dan yang akan datang telah dijamin akan diampuni Allah. Sekalipun begitu, Nabi tetap sholat hingga lutut dan kakinya bengkak. Sampai-sampai, Siti Aisyah heran dan bertanya, "Ya Rasul, bukankah dosa-dosa sampeyan telah dijamin untuk diampuni, tapi kenapa kalau sholat dan ibadah kok seberat seperti ini?". Nabi tersenyum dan menjawab, "Aku melakukan ini semua hanya agar aku disebut sebagai abdan syakura, hamba yang pandai bersyukur". Rupanya, ada satu hal yang ingin dicapai Nabi disela-sela amal ibadahnya yang penuh kesungguhan dan derajatnya yang telah terjamin di sisi Allah, yaitu syukur.
Mengingat pemuda desa tadi, lalu dibandingkan sikap kita terhadap semua nikmat dan anugerah Allah yang telah diberikan-Nya kepada kita, dapat dipastikan nilai syukur kita masih minim. Apalagi dikomparasikan dengan ijtihad Rasulullah dalam menggapai derajat syukur. Telah banyak Allah memberi kita berbagai fasilitas dan kemudahan. Mulai pekerjaan dengan gaji lebih dari cukup, makanan dan minuman serba nikmat, tempat tinggal nyaman, alat komunikasi canggih semacam ponsel, komputer, tv, kendaraan, dan banyak lagi. Namun, berapa banyak fasilitas itu yang benar-benar telah kita syukuri dan kita gunakan untuk ibadah. Malah yang lebih sering, nikmat itu kita pakai untuk maksiat kepada Allah.
Jadi, kini hanya ada 2 pilihan, syukur atau kufur.
1 Juli 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar