Lagi, penyelesaian kasus hukum di Indonesia tampak kehilangan hati
nurani. Setelah sebelumnya banyak diberitakan ada pencuri sandal jepit,
buah pisang, ayam, buah kelapa, di penjara tanpa ampun. Kini, muncul
lagi kasus pencurian serupa.
Seperti diberitakan media
massa, Bu Rasminah, seorang pembantu rumah tangga, dituduh mencuri 6
buah piring milik majikannya. Nenek tua itu harus menjalani hukuman
penjara selama 140 hari atau 4 bulan. Hebohnya lagi, kasus ini pernah
diputuskan bebas oleh Pengadilan Tinggi. Namun, karena kasasi jaksa
diterima oleh Mahkamah Agung, akhirnya nenek malang itu tetap diputuskan
bersalah.
Sebenarnya, mencuri benda sekecil, seremeh dan
semurah apapun, tetap salah. Pencurian atau mengambil hak milik orang
lain dalam pandangan hukum negara maupun hukum agama adalah terlarang,
haram. Pelakunya bisa dikenai hukum pidana. Bahkan, dalam agama Islam,
harus dipotong tangan.
Meski demikian kerasnya ketetapan
hukum, namun pengambilan keputusan juga harus didasarkan pada hati
nurani. Artinya, mata hati dan nalar berpikir dalam membuat keputusan
harus berwawasan luas. Para penegak hukum juga perlu melihat konteks
atau situasi dan kondisi untuk mengetahui akar permasalahan mengapa
pencurian itu sampai terjadi.
Sebuah keputusan yang
didasari kebencian, apalagi kebencian itu bisa dibeli dan disuap, maka
yang lahir adalah ketidakadilan yang pada akhirnya juga akan mencederai
hati nurani manusia. Maka wajar, bila masyarakat tersentak, emosinya
tergugah, tatkala melihat ketidakadilan dan ketidakwajaran.
Khalifah
Umar bin Khattab, dalam sejarah Islam, pernah tidak menerapkan hukum
potong tangan kepada seorang pencuri. Alasannya, selain belum cukup
nisab, juga karena pencurian itu dilakukan pada musim paceklik. Ketika
ekonomi rakyat terjepit dan pemerintah setempat tidak mampu
mensejahterakan rakyatnya, maka wajar bila kemudian ada kasus pencurian
demi sesuap makan atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Keputusan
Umar tersebut bukan berarti bertentangan dengan syariat agama yang
jelas-jelas dalam al-Quran mengharus potong tangan. Keputusan itu
diambil atas dasar pertimbangan hati nurani setelah melihat realitas dan
konteks terjadinya sebuah pelanggaran.
Inilah "abqariyah"
atau kecerdasan seorang penegak hukum yang seharusnya lebih peka.
Kecerdasaan intelektual dan spiritual semacam ini yang mulai terkikis
dari para penegak hukum di negeri ini. Mereka yang berduit, sanggup
membayar advokat, dinaungi kekuasaan, justru prosesnya lama. Sementara,
rakyat kecil yang mencuri karena kondisi terpaksa, malah dihukum tanpa
ampun.
Selama wajah hukum di negeri ini hanya berpihak
kepada penguasa, tidak pada rasa keadilan sosial, maka yang ada hanya
"hukum rimba", yakni hukum yang memenangkan perkara bagi yang berduit
dan berkuasa. Kasus Ibu Rasminah adalah contoh secuil dari segunung
keputusan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan.
Para
penegak hukum yang hanya memutuskan sebuah perkara berdasarkan
pasal-pasal, tapi hati nuraninya mati, adalah para penyembah pasal.
Tidak bisakah, misalnya, seorang hakim memberi atau kalau tidak mampu
meminta kepada negara untuk membelikan 6 buah piring, sepasang sandal
jepit atau buah pisang sebagai ganti dari benda-benda yang dicuri, lalu
diberikan kepada si pemiliknya? Tidak mampukah para penegak hukum
"mendamaikan" kasus-kasus pengaduan seputar pencurian berskala kecil
seperti di atas agar pihak yang dirugikan mau memberi maaf?
Oke,
katakanlah pencuri sandal atau piring itu salah dan harus dihukum,
apakah hukumannya harus dipenjara sesuai pasal-pasal yang menjeratnya?
Apakah sanksinya harus selalu dipotong tangan sesuai nas al-Quran?
Apakah harus dituruti sesuai dakwaan, laporan, saksi dan barang bukti
belaka?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab.
Sebab, yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana mensejahterakan
rakyat secara adil dan merata. Boleh jadi, kemiskinan yang dialami
rakyat adalah kemiskinan struktural yang secara sistemik memang
diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
kepada rakyat.
Terakhir, kasus-kasus heboh ini, mestinya
menjadi cermin bagi semua, terutama pemerintah, bahwa ternyata rakyat
Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan, jumlah cukup banyak dan ada
di mana-mana. Laporan tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi yang kian
meningkat dan program pengentasan kemiskinan yang selama ini
diagung-agungkan, eh ternyata, dengan adanya kasus ini, mata dunia
menjadi tersadar, bahwa itu semua hanya omong kosong.
Dimanakah
letak hati nurani para penegak hukum di Indonesia? Apakah ini yang
disebut "kebutaan mata hati". Jika memang iya, maka jangan heran bila
nanti akan selalu lahir keputusan yang menyimpang dan melukai rasa
keadilan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar