2 Februari 2012

Dimanakah Hati Nurani Hukum?

 


Lagi, penyelesaian kasus hukum di Indonesia tampak kehilangan hati nurani. Setelah sebelumnya banyak diberitakan ada pencuri sandal jepit, buah pisang, ayam, buah kelapa, di penjara tanpa ampun. Kini, muncul lagi kasus pencurian serupa.

Seperti diberitakan media massa, Bu Rasminah, seorang pembantu rumah tangga, dituduh mencuri 6 buah piring milik majikannya. Nenek tua itu harus menjalani hukuman penjara selama 140 hari atau 4 bulan. Hebohnya lagi, kasus ini pernah diputuskan bebas oleh Pengadilan Tinggi. Namun, karena kasasi jaksa diterima oleh Mahkamah Agung, akhirnya nenek malang itu tetap diputuskan bersalah.

Sebenarnya, mencuri benda sekecil, seremeh dan semurah apapun, tetap salah. Pencurian atau mengambil hak milik orang lain dalam pandangan hukum negara maupun hukum agama adalah terlarang, haram. Pelakunya bisa dikenai hukum pidana. Bahkan, dalam agama Islam, harus dipotong tangan.

Meski demikian kerasnya ketetapan hukum, namun pengambilan keputusan juga harus didasarkan pada hati nurani. Artinya, mata hati dan nalar berpikir dalam membuat keputusan harus berwawasan luas. Para penegak hukum juga perlu melihat konteks atau situasi dan kondisi untuk mengetahui akar permasalahan mengapa pencurian itu sampai terjadi.

Sebuah keputusan yang didasari kebencian, apalagi kebencian itu bisa dibeli dan disuap, maka yang lahir adalah ketidakadilan yang pada akhirnya juga akan mencederai hati nurani manusia. Maka wajar, bila masyarakat tersentak, emosinya tergugah, tatkala melihat ketidakadilan dan ketidakwajaran.

Khalifah Umar bin Khattab, dalam sejarah Islam, pernah tidak menerapkan hukum potong tangan kepada seorang pencuri. Alasannya, selain belum cukup nisab, juga karena pencurian itu dilakukan pada musim paceklik. Ketika ekonomi rakyat terjepit dan pemerintah setempat tidak mampu mensejahterakan rakyatnya, maka wajar bila kemudian ada kasus pencurian demi sesuap makan atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Keputusan Umar tersebut bukan berarti bertentangan dengan syariat agama yang jelas-jelas dalam al-Quran mengharus potong tangan. Keputusan itu diambil atas dasar pertimbangan hati nurani setelah melihat realitas dan konteks terjadinya sebuah pelanggaran.

Inilah "abqariyah" atau kecerdasan seorang penegak hukum yang seharusnya lebih peka. Kecerdasaan intelektual dan spiritual semacam ini yang mulai terkikis dari para penegak hukum di negeri ini. Mereka yang berduit, sanggup membayar advokat, dinaungi kekuasaan, justru prosesnya lama. Sementara, rakyat kecil yang mencuri karena kondisi terpaksa, malah dihukum tanpa ampun.

Selama wajah hukum di negeri ini hanya berpihak kepada penguasa, tidak pada rasa keadilan sosial, maka yang ada hanya "hukum rimba", yakni hukum yang memenangkan perkara bagi yang berduit dan berkuasa. Kasus Ibu Rasminah adalah contoh secuil dari segunung keputusan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan.

Para penegak hukum yang hanya memutuskan sebuah perkara berdasarkan pasal-pasal, tapi hati nuraninya mati, adalah para penyembah pasal. Tidak bisakah, misalnya, seorang hakim memberi atau kalau tidak mampu meminta kepada negara untuk membelikan 6 buah piring, sepasang sandal jepit atau buah pisang sebagai ganti dari benda-benda yang dicuri, lalu diberikan kepada si pemiliknya? Tidak mampukah para penegak hukum "mendamaikan" kasus-kasus pengaduan seputar pencurian berskala kecil seperti di atas agar pihak yang dirugikan mau memberi maaf?

Oke, katakanlah pencuri sandal atau piring itu salah dan harus dihukum, apakah hukumannya harus dipenjara sesuai pasal-pasal yang menjeratnya? Apakah sanksinya harus selalu dipotong tangan sesuai nas al-Quran? Apakah harus dituruti sesuai dakwaan, laporan, saksi dan barang bukti belaka?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Sebab, yang mendesak untuk dilakukan adalah bagaimana mensejahterakan rakyat secara adil dan merata. Boleh jadi, kemiskinan yang dialami rakyat adalah kemiskinan struktural yang secara sistemik memang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Terakhir, kasus-kasus heboh ini, mestinya menjadi cermin bagi semua, terutama pemerintah, bahwa ternyata rakyat Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan, jumlah cukup banyak dan ada di mana-mana. Laporan tentang angka-angka pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat dan program pengentasan kemiskinan yang selama ini diagung-agungkan, eh ternyata, dengan adanya kasus ini, mata dunia menjadi tersadar, bahwa itu semua hanya omong kosong.

Dimanakah letak hati nurani para penegak hukum di Indonesia? Apakah ini yang disebut "kebutaan mata hati". Jika memang iya, maka jangan heran bila nanti akan selalu lahir keputusan yang menyimpang dan melukai rasa keadilan.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar