Senin, 2 Juli 2012, sekitar pukul 09.00, mertua saya, Bapak H. Nur
Hadi Salim meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Beliau menutup mata
di usia 68 tahun. Memang, sepulang dari haji tahun 2006, pria yang oleh
teman sebayanya sering dipanggil "Kang Lim" itu, sudah sering
sakit-sakitan mulai asam urat hingga darah tinggi.
Akan
tetapi, kepergiannya ini benar-benar membuat semua pihak, terutama
keluarga, sanak-famili dan para sahabatnya terkejut. Sebab, menurut
pengakuan mereka, akhir-akhir ini, Pak Nur justru tampak lebih sehat dan
kuat. Tapi, inilah takdir. Tidak semua orang tahu ajalnya.
Beliau
adalah pecinta ilmu agama yang cukup fanatik memegang prinsip.
Istiqamah dalam beribadah dan bekerja. Sejak muda, sudah menjadi guru.
Pengabdiannya sangat panjang. Beberapa sekolah, madrasah diniyah,
pesantren, masjid dan majelis taklim di sekitar desanya, pernah menjadi
saksi bagaimana Pak Nur mendakwahkan Islam dan memberi pencerahan.
Wajahnya
begitu bersih, putih dan selalu tampak teduh. Sabar, tabah, kuat dan
tidak pernah kenal menyerah. Tiap hari Senin dan Kamis, beliau selalu
istiqamah puasa sunnah. Bahkan, saat meninggal dunia di hari Senin
inipun, beliau dalam keadaan berpuasa.
Yah, pagi kemarin,
sekitar pukul 08.30, dia pergi ke dapur untuk ikut membantu memasak
makanan. Sambil duduk, ia memarut kelapa. Ternyata, beberapa saat
kemudian, beliau sudah tertunduk diam. Saat dilihat, ia tampak tidur.
Akan tetapi, setelah pundaknya disentuh, tubuh kurus itu langsung roboh.
Orang-orang
mengira ia pingsan. Mereka pun segera memanggil dokter. Saat diperiksa
denyut nadinya, Inna lillah wa inna ilaihi raji'un, beliau telah
berpulang ke rahmatullah. Begitu cepat, mudah dan singkat. Kepergiannya
itu seakan tidak ingin menyusahkan orang lain.
Selain
istiqamah mengajar dan puasa sunnah, oleh masyarakat sekitar, Pak Nur
sering dijadikan rujukan untuk berdiskusi tentang masalah yang mereka
hadapi. Pak Nur juga sosok yang kuat, tawadhu' dan menerima apa adanya.
Walaupun
hidup pas-pasan, beliau tidak pernah mengeluh. Semua masalah dihadapi
dengan tenang, tabah dan sabar. Sering sekali beliau makan hanya dengan
nasi putih plus garam dicampur air hangat. Tanpa lauk-pauk dan sayuran.
Sangat bersahaja dan benar-benar figur kharismatik yang patut dijadikan
teladan.
Ada satu hal yang paling saya ingat, yakni
wajahnya yang teduh, putih dan bersih. Setiap kali saya pulang ke
Kediri, yang saya rindukan adalah melihat wajahnya itu. Tampak suci dan
mengingatkan saya pada sosok Rasulullah saw. Mengapa demikian?
Suatu
saat, saya pernah bermimpi. Dalam mimpi malam itu, saya melihat (Alm)
Ibu Sofiyah -mertua saya atau isteri Pak Nur Hadi- sedang duduk sambil
bersandar. Saat itu, Ibu mertua saya itu baru meninggal dunia sekitar 40
harinya.
Melihat si ibu duduk sambil bersandar, saya pun
menghampirinya dan ingin berjabat tangan. Setelah saya mendekat,
tiba-tiba, muncul di sampingnya, Bapak Nur Hadi atau mertua laki-laki.
Tampak, beliau memakai songkok hitam dan berbaju batik. Lalu, Pak Nur
berkata kepada saya,
"Ayo, bersalaman dengan saya juga!", katanya.
Anehnya,
saya tidak langsung mendekat. Mendengar himbauannya, saya hanya bisa
diam sambil berdiri. Ketika itu, saya sedang dalam keadaan bimbang.
"Apakah benar sosok pria di depan saya ini adalah Pak Nur Hadi mertua
saya? Tapi kok, wajahnya tampak sangat bersih dan bercahaya. Jika bukan,
lalu siapakah dia? Kok, wajahnya mirip mertua saya".
Lalu, saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Ngapunten, Jenengan sinten ngge?", tanya saya dalam bahasa Jawa yang artinya, "Maaf, Anda siapa ya?"
Lalu,
pria yang wajahnya serupa dengan mertua saya itu menjawab dengan suara
yang terdengar merdu. Hingga hari ini, suara itu seakan masih terngiang
di telinga saya.
"Aku iki, Rasululllah, ayo salaman", jawabnya yang berarti: "Aku adalah Rasul Allah, jabatlah tanganku!".
Mendengar
jawaban ini, segera saya langsung mendekatinya. Tanpa menyia-nyiakan
waktu, saya segera meraih tangan kanan yang ia julurkan. Kemudian, saya
pun cepat-cepat berjabat tangan. Telapak tangan kanannya yang terlihat
putih dan bersih itu, saya cium dalam-dalam. Setelah itu, saya pun
terbangun.
Ya Allah, mengapa saya melihat Rasulullah saw
dalam wajah mertua saya? Saya sangat yakin, sosok pria dalam mimpi itu
adalah Nabi Muhammad saw. Sebab, seorang nabi tidak pernah berbohong,
apalagi ini adalah Nabi Muhammad saw. Dalam bentuk rupa apa saja kita
melihat beliau saw, maka yang kita lihat itu adalah benar-benar
Rasulullah saw.
Oleh karenanya, setiap kali saya melihat
wajah mertuaku itu saat berkunjung ke Kediri, saya pun langsung teringat
Rasulullah saw. Paling tidak, wajahnya itu adalah obat rindu kepada
Sang Nabi yang bagi saya pribadi adalah sesuatu yang tak ternilai
mahalnya.
Kini, sang pemilik wajah itu telah pergi untuk
selama-lamanya. Kesabaran, keteduhan, kesahajaan, kesederhaan dan
kewibawannya itu adalah pelajaran berharga bagi yang melihat dan
mengenalnya.
Selamat Jalan, Pak Nur. Semoga bertemu Allah dan Rasul-Nya dalam naungan ridha dan cinta-Nya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar