3 Juli 2012

Selamat Jalan, Pak Nur

 


Senin, 2 Juli 2012, sekitar pukul 09.00, mertua saya, Bapak H. Nur Hadi Salim meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Beliau menutup mata di usia 68 tahun. Memang, sepulang dari haji tahun 2006, pria yang oleh teman sebayanya sering dipanggil "Kang Lim" itu, sudah sering sakit-sakitan mulai asam urat hingga darah tinggi.

Akan tetapi, kepergiannya ini benar-benar membuat semua pihak, terutama keluarga, sanak-famili dan para sahabatnya terkejut. Sebab, menurut pengakuan mereka, akhir-akhir ini, Pak Nur justru tampak lebih sehat dan kuat. Tapi, inilah takdir. Tidak semua orang tahu ajalnya.

Beliau adalah pecinta ilmu agama yang cukup fanatik memegang prinsip. Istiqamah dalam beribadah dan bekerja. Sejak muda, sudah menjadi guru. Pengabdiannya sangat panjang. Beberapa sekolah, madrasah diniyah, pesantren, masjid dan majelis taklim di sekitar desanya, pernah menjadi saksi bagaimana Pak Nur mendakwahkan Islam dan memberi pencerahan.

Wajahnya begitu bersih, putih dan selalu tampak teduh. Sabar, tabah, kuat dan tidak pernah kenal menyerah. Tiap hari Senin dan Kamis, beliau selalu istiqamah puasa sunnah. Bahkan, saat meninggal dunia di hari Senin inipun, beliau dalam keadaan berpuasa.

Yah, pagi kemarin, sekitar pukul 08.30, dia pergi ke dapur untuk ikut membantu memasak makanan. Sambil duduk, ia memarut kelapa. Ternyata, beberapa saat kemudian, beliau sudah tertunduk diam. Saat dilihat, ia tampak tidur. Akan tetapi, setelah pundaknya disentuh, tubuh kurus itu langsung roboh.

Orang-orang mengira ia pingsan. Mereka pun segera memanggil dokter. Saat diperiksa denyut nadinya, Inna lillah wa inna ilaihi raji'un, beliau telah berpulang ke rahmatullah. Begitu cepat, mudah dan singkat. Kepergiannya itu seakan tidak ingin menyusahkan orang lain.

Selain istiqamah mengajar dan puasa sunnah, oleh masyarakat sekitar, Pak Nur sering dijadikan rujukan untuk berdiskusi tentang masalah yang mereka hadapi. Pak Nur juga sosok yang kuat, tawadhu' dan menerima apa adanya.

Walaupun hidup pas-pasan, beliau tidak pernah mengeluh. Semua masalah dihadapi dengan tenang, tabah dan sabar. Sering sekali beliau makan hanya dengan nasi putih plus garam dicampur air hangat. Tanpa lauk-pauk dan sayuran. Sangat bersahaja dan benar-benar figur kharismatik yang patut dijadikan teladan.

Ada satu hal yang paling saya ingat, yakni wajahnya yang teduh, putih dan bersih. Setiap kali saya pulang ke Kediri, yang saya rindukan adalah melihat wajahnya itu. Tampak suci dan mengingatkan saya pada sosok Rasulullah saw. Mengapa demikian?

Suatu saat, saya pernah bermimpi. Dalam mimpi malam itu, saya melihat (Alm) Ibu Sofiyah -mertua saya atau isteri Pak Nur Hadi- sedang duduk sambil bersandar. Saat itu, Ibu mertua saya itu baru meninggal dunia sekitar 40 harinya.

Melihat si ibu duduk sambil bersandar, saya pun menghampirinya dan ingin berjabat tangan. Setelah saya mendekat, tiba-tiba, muncul di sampingnya, Bapak Nur Hadi atau mertua laki-laki. Tampak, beliau memakai songkok hitam dan berbaju batik. Lalu, Pak Nur berkata kepada saya,

"Ayo, bersalaman dengan saya juga!", katanya.

Anehnya, saya tidak langsung mendekat. Mendengar himbauannya, saya hanya bisa diam sambil berdiri. Ketika itu, saya sedang dalam keadaan bimbang. "Apakah benar sosok pria di depan saya ini adalah Pak Nur Hadi mertua saya? Tapi kok, wajahnya tampak sangat bersih dan bercahaya. Jika bukan, lalu siapakah dia? Kok, wajahnya mirip mertua saya".

Lalu, saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Ngapunten, Jenengan sinten ngge?", tanya saya dalam bahasa Jawa yang artinya, "Maaf, Anda siapa ya?"

Lalu, pria yang wajahnya serupa dengan mertua saya itu menjawab dengan suara yang terdengar merdu. Hingga hari ini, suara itu seakan masih terngiang di telinga saya.

"Aku iki, Rasululllah, ayo salaman", jawabnya yang berarti: "Aku adalah Rasul Allah, jabatlah tanganku!".

Mendengar jawaban ini, segera saya langsung mendekatinya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saya segera meraih tangan kanan yang ia julurkan. Kemudian, saya pun cepat-cepat berjabat tangan. Telapak tangan kanannya yang terlihat putih dan bersih itu, saya cium dalam-dalam. Setelah itu, saya pun terbangun.

Ya Allah, mengapa saya melihat Rasulullah saw dalam wajah mertua saya? Saya sangat yakin, sosok pria dalam mimpi itu adalah Nabi Muhammad saw. Sebab, seorang nabi tidak pernah berbohong, apalagi ini adalah Nabi Muhammad saw. Dalam bentuk rupa apa saja kita melihat beliau saw, maka yang kita lihat itu adalah benar-benar Rasulullah saw.

Oleh karenanya, setiap kali saya melihat wajah mertuaku itu saat berkunjung ke Kediri, saya pun langsung teringat Rasulullah saw. Paling tidak, wajahnya itu adalah obat rindu kepada Sang Nabi yang bagi saya pribadi adalah sesuatu yang tak ternilai mahalnya.

Kini, sang pemilik wajah itu telah pergi untuk selama-lamanya. Kesabaran, keteduhan, kesahajaan, kesederhaan dan kewibawannya itu adalah pelajaran berharga bagi yang melihat dan mengenalnya.

Selamat Jalan, Pak Nur. Semoga bertemu Allah dan Rasul-Nya dalam naungan ridha dan cinta-Nya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar