30 September 2016

Memaknai Hijrah

 


Hijrah, secara bahasa, sering diartikan pindah, mengungsi, pergi dan tidak pernah kembali lagi. Dari makna leksikal ini, dapat dipahami bahwa hijrah mengandung arti “perubahan” dari satu keadaan yang statis menuju keadaan baru yang lebih baik dan dinamis. Oleh karenanya, orang yang berhijrah perlu semangat “move on” atau melupakan masa lalu dan menyambut masa depan dengan rasa optimisme.

Selain pengertian di atas, masih banyak definisi lain yang berusaha memaknai kata hijrah, sehingga Nabi Muhammad saw merasa perlu menjelaskan batasan yang kongkrit tentang hakikat hijrah. Dalam sabdanya, Nabi menegaskan bahwa “al-Muhajir man haajara ma nahaahu Allah”. Artinya, seseorang disebut hijrah apabila ia mampu meninggalkan larangan Allah”.

Definisi yang diutarakan Nabi ini memberi pencerahan baru bagi umat Islam yang saat itu masih memahami arti hijrah hanya sebatas pindah tempat. Definisi ini sekaligus juga “mematahkan” pemahaman sebagian sahabat yang merasa telah berada di “zona nyaman”. Mengingat, mereka telah menetap bersama Nabi di Madinah, setelah sebelumnya mereka berjuang keras meninggalkan Mekah yang merupakan kampung halaman dengan sejuta kenangan.

Zona nyaman yang penulis maksudkan adalah status sebagai kaum muhajirin yang dalam beberapa ayat maupun hadis, posisi mereka sangat mulia di sisi Allah dan bahkan telah dijanjikan surga. Perasaan berada dalam zona nyaman inilah yang kemudian dipatahkan oleh Nabi melalui hadis tentang hakikat orang yang berhijrah. Bahwa, hijrah tidak hanya sebatas pindah tempat, tidak hanya sekali dua kali, tidak cukup berada di kota Nabi. Namun, hijrah lebih universal maknanya, harus kontinyu meninggalkan larangan Allah, dan itu bisa dilakukan oleh siapa, kapan, dan dimana saja.

Jadi, sangat beralasan jika Khalifah Umar bin Khattab menetapkan peristiwa hijrah sebagai bulan pertama dari kalender Islam, sekaligus menamakannya “Tahun Hijriyah”. Salah satu alasannya agar pergantian tahun memberi semangat baru bagi umat Islam. Setiap tahun baru tiba, harus ada evaluasi diri terhadap masa yang masa lalu sebagai pijakan untuk merencanakan program baru dan melangkah mantap di masa depan.

Itulah hikmah hijrah. Apa yang terjadi di masa lalu adalah pelajaran, yang terjadi saat ini adalah kenyataan, dan yang akan terjadi esok adalah harapan. Semua rangkaian ini harus didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas karena Allah semata. Pentingnya niat ini dibuktikan dengan adanya hadis Nabi tentang niat yang disampaikan menjelang hijrah dari Mekah ke Madinah.

Hadis panjang seputar niat itu menjelaskan bahwa amal perbuatan harus disertai niat. Siapa yang berhijrah demi Allah, maka baginya pahala yang besar di sisi Allah. Tapi, siapa yang berhijrah untuk tujuan dunia, tahta dan wanita, maka dia hanya akan memperoleh itu saja, tidak ada pahala.

Menurut Khalifah Umar, hadis ini setara dengan sepertiga agama. Pernyataan ini menunjukkan urgensi niat, tekad dan kemauan berhijrah untuk meninggalkan larangan agama. Sebab, semua hal yang berakibat buruk, pasti dilarang oleh agama. Sebaliknya, semua perintah agama, pasti mendatangkan kebahagiaan. Oleh karenanya, penting untuk kembali ke makna hakiki dari hijrah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Nabi Muhammad saw.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar