2 Oktober 2016

FANA

 


Kata “fana” bisa diartikan lenyap, hilang, kosong dan hampa. Dalam linguistik Arab, kata “fana” dijadikan antonim (lawan kata) dari kata “baqa” yang berarti langgeng, menetap, tersisa, dan abadi. Dalam kajian aqidah, “fana” merupakan sifat mustahil bagi Allah. Allah tidak mungkin lenyap, hilang, atau berakhir. Sebab, Allah bersifat “baqa”, abadi selamanya, tidak akan pernah berakhir oleh perputaran waktu karena waktu adalah ciptaan-Nya. Sifat “baqa” ini wajib bagi Allah.

Allah berfirman, “Semua orang (makhluk) pasti akan lenyap (fana) kecuali Dzat Allah yang agung dan mulia. Itu artinya, sifat “fana” adalah sifat yang pasti dimiliki dan dialami setiap makhluk, tak terkecuali manusia. Adanya (wujud) Allah adalah wujud mutlaq yang pasti ada, wajib ada, tidak bisa tidak ada. Beda dengan manusia dan semua makhluk. Keberadaan mereka semua hanya bersifat nisbi (relatif), tidak wajib ada, dan jika pun ada, pasti adanya bersifat sementara dan pasti akan berakhir menjadi tidak ada.
Bagi hamba Allah, terutama kaum sufi, memahami “fana” tidak cukup dengan meyakini bahwa semua makhluk pasti lenyap (fana) dan hanya Allah yang “baqa”, abadi selamanya. Keyakinan ini masih bersifat dasar dan memang harus diyakini oleh setiap muslim yang berserah diri kepada Allah.

Bagi kaum sufi, “fana” juga harus dirasakan, tidak cukup hanya diketahui. Tanpa mengalami dan merasakan, keyakinan tidak akan sempurna. Itulah bedanya orang khusus (khowas) dan orang umum (awam). Orang khowas akan berusaha merasakan “fana” dalam arti melenyapkan segalanya termasuk dirinya sendiri. Ketika ia berada dalam suasana “fana”, maka saat itu pula ia hanya merasakan kehadiran Dzat yang wujudnya hakiki, Dzat yang pasti ada, Dialah Huw Allah swt.

Dalam hal Fana ini Syaidina Ali Bin Abi Thalib ra, berkata:

ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻔﻧﺎ ﻔﻧﺎﺋﻰ ٬ ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻭﺟﺪﺖ ﺍﻧﺕ

Artinya: “Di dalam fanaku, aku menemukan ada-Mu. Dan, di dalam fanaku, lenyaplah pula fanaku”.

Keadaan “fana” yang dialami kaum sufi atau hamba Allah yang khowas terkadang mengakibatkan hilangnya kesadaran terhadap diri sendiri. Ia merasakan estasi, lenyap dan lebur. Karena itu, terkadang muncul kalimat yang sulit dinalar oleh orang awam dan acapkali disalahpahami. Mengapa demikian? Jawabnya, karena kalimat itu bukan berasal dari akal semata, melainkan dari rasa.

Kadang-kadang ada berkata, “Ana al-Haq” (Akulah Yang Sebenarnya), “Ma fil jubabati illa Allah” (Tidak ada di dalam jubahku, melainkan Allah), “Ana man ahwa, wa man ahwa Ana ” (Akulah Yang Kurindui, dan Yang Kurindui ialah Aku). Selain kalimat ini, masih banyak ungkapan lain yang sulit dinalar oleh orang awam.

Orang Jawa menyebut suasana “fana” ini dengan istilah “suwung” yang artinya kosong atau hampa. Segala yang ada di sekitar kita, hakikatnya adalah tidak ada. Wujud jasmani hanya bersifat relatif dan tidak abadi. Kekosongan dan kehampaan itu menjadikan seorang sufi lenyap. Semua baju yang dipakainya, lenyap. Tidak ada lagi status sosial. Tidak tersisa sedikit pun dari bagian daging di tubuhnya yang bisa diandalkan. Semua yang selama ini dikira menjadi miliknya sendiri, ternyata lenyap dan bukan lagi miliknya. Nah, dalam suasana “suwung” atau “fana” ini, ditemukan titik wujud yang esa, satu-satunya yang ada, Dialah Huw Allah swt.

Oleh sebab itu, dalam dzikir tahlil ada muatan “nafi” dan “itsbat”, dua proses yang harus dilalui dalam dzikir sehingga dzikir tersebut benar-benar menjadi “tauhid” (meng-esa-kan Dzat Yang Maha Esa). Saat seseorang berdzikir “Laa ilaha” (Tiada tuhan), inilah yang disebut “Dzikir Nafi” yang artinya mengingat dengan cara “meniadakan” tuhan. Semua hal yang selama ini dipertuhankan, harus ditiadakan. Tidak ada ada satu pun yang superior. Semua yang ada (wujud), tidak ada. Nah, dalam “Dzikir Nafi” ini, terdapat “fana” yang merupakan sifat asasi bagi makhluk. Sifat “fana” ini yang menyebabkan makhluk akan lenyap. Mengingat, keberadaannya hanya nisbi, relatif dan pasti lenyap.

Hanya orang yang berdzikir nafi secara sempurna, yang mampu merasakan “fana” atau “suwung”. Setelah ingatannya suwung, ia akan mantap melangkah ke “Dzikir Itsbat”, yakni mengingat dengan cara menetapkan, memastikan, dan meyakini bahwa yang wajib ada dan yang berhak disembah, hanya Allah semata. Dialah satu-satunya Tuhan yang wujud-Nya pasti ada. Ada-Nya tanpa permulaan dan tanpa akhiran.

Oleh karena yang “wajib ada” hanya satu, yakni Allah swt, maka semua yang selain-Nya adalah kosong, tidak ada, musnah, dan lenyap. Keyakinan dan perasaan inilah yang membuat orang khowas justru mantap imannya. Penyerahan diri seorang khowas adalah manifestasi islam yang kaffah, tidak sepotong-sepotong.

Bagi orang khawas, dzikir adalah totalitas tauhid yang murni dengan merasakan dan melihat hanya kepada Yang Wujud. Orang khowas tidak akan tertipu dengan bayangan wujud, tidak bergantung kepada wujud yang relatif. Ia hanya percaya kepada Dzat Mutlaq saja.


Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar