Kata “fana” bisa diartikan lenyap, hilang, kosong dan hampa. Dalam
linguistik Arab, kata “fana” dijadikan antonim (lawan kata) dari kata “baqa”
yang berarti langgeng, menetap, tersisa, dan abadi. Dalam kajian aqidah, “fana”
merupakan sifat mustahil bagi Allah. Allah tidak mungkin lenyap, hilang, atau
berakhir. Sebab, Allah bersifat “baqa”, abadi selamanya, tidak akan pernah
berakhir oleh perputaran waktu karena waktu adalah ciptaan-Nya. Sifat “baqa”
ini wajib bagi Allah.
Allah berfirman, “Semua orang (makhluk) pasti akan lenyap (fana)
kecuali Dzat Allah yang agung dan mulia. Itu artinya, sifat “fana” adalah sifat
yang pasti dimiliki dan dialami setiap makhluk, tak terkecuali manusia. Adanya
(wujud) Allah adalah wujud mutlaq yang pasti ada, wajib ada, tidak bisa tidak
ada. Beda dengan manusia dan semua makhluk. Keberadaan mereka semua hanya
bersifat nisbi (relatif), tidak wajib ada, dan jika pun ada, pasti adanya bersifat
sementara dan pasti akan berakhir menjadi tidak ada.
Bagi hamba Allah, terutama kaum sufi, memahami “fana” tidak cukup
dengan meyakini bahwa semua makhluk pasti lenyap (fana) dan hanya Allah yang
“baqa”, abadi selamanya. Keyakinan ini masih bersifat dasar dan memang harus
diyakini oleh setiap muslim yang berserah diri kepada Allah.
Bagi kaum sufi, “fana” juga harus dirasakan, tidak cukup hanya
diketahui. Tanpa mengalami dan merasakan, keyakinan tidak akan sempurna. Itulah
bedanya orang khusus (khowas) dan orang umum (awam). Orang khowas akan berusaha
merasakan “fana” dalam arti melenyapkan segalanya termasuk dirinya sendiri.
Ketika ia berada dalam suasana “fana”, maka saat itu pula ia hanya merasakan
kehadiran Dzat yang wujudnya hakiki, Dzat yang pasti ada, Dialah Huw Allah swt.
Dalam hal Fana ini Syaidina Ali Bin Abi Thalib ra, berkata:
ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻔﻧﺎ ﻔﻧﺎﺋﻰ ٬ ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻭﺟﺪﺖ ﺍﻧﺕ
Artinya: “Di dalam fanaku, aku menemukan ada-Mu. Dan, di dalam fanaku,
lenyaplah pula fanaku”.
Keadaan “fana” yang dialami kaum sufi atau hamba Allah yang khowas
terkadang mengakibatkan hilangnya kesadaran terhadap diri sendiri. Ia merasakan
estasi, lenyap dan lebur. Karena itu, terkadang muncul kalimat yang sulit
dinalar oleh orang awam dan acapkali disalahpahami. Mengapa demikian? Jawabnya,
karena kalimat itu bukan berasal dari akal semata, melainkan dari rasa.
Kadang-kadang ada berkata, “Ana al-Haq” (Akulah Yang Sebenarnya), “Ma
fil jubabati illa Allah” (Tidak ada di dalam jubahku, melainkan Allah), “Ana
man ahwa, wa man ahwa Ana ” (Akulah Yang Kurindui, dan Yang Kurindui ialah
Aku). Selain kalimat ini, masih banyak ungkapan lain yang sulit dinalar oleh
orang awam.
Orang Jawa menyebut suasana “fana” ini dengan istilah “suwung” yang
artinya kosong atau hampa. Segala yang ada di sekitar kita, hakikatnya adalah
tidak ada. Wujud jasmani hanya bersifat relatif dan tidak abadi. Kekosongan dan
kehampaan itu menjadikan seorang sufi lenyap. Semua baju yang dipakainya,
lenyap. Tidak ada lagi status sosial. Tidak tersisa sedikit pun dari bagian
daging di tubuhnya yang bisa diandalkan. Semua yang selama ini dikira menjadi
miliknya sendiri, ternyata lenyap dan bukan lagi miliknya. Nah, dalam suasana
“suwung” atau “fana” ini, ditemukan titik wujud yang esa, satu-satunya yang
ada, Dialah Huw Allah swt.
Oleh sebab itu, dalam dzikir tahlil ada muatan “nafi” dan “itsbat”,
dua proses yang harus dilalui dalam dzikir sehingga dzikir tersebut benar-benar
menjadi “tauhid” (meng-esa-kan Dzat Yang Maha Esa). Saat seseorang berdzikir
“Laa ilaha” (Tiada tuhan), inilah yang disebut “Dzikir Nafi” yang artinya
mengingat dengan cara “meniadakan” tuhan. Semua hal yang selama ini
dipertuhankan, harus ditiadakan. Tidak ada ada satu pun yang superior. Semua
yang ada (wujud), tidak ada. Nah, dalam “Dzikir Nafi” ini, terdapat “fana” yang
merupakan sifat asasi bagi makhluk. Sifat “fana” ini yang menyebabkan makhluk
akan lenyap. Mengingat, keberadaannya hanya nisbi, relatif dan pasti lenyap.
Hanya orang yang berdzikir nafi secara sempurna, yang mampu merasakan
“fana” atau “suwung”. Setelah ingatannya suwung, ia akan mantap melangkah ke
“Dzikir Itsbat”, yakni mengingat dengan cara menetapkan, memastikan, dan
meyakini bahwa yang wajib ada dan yang berhak disembah, hanya Allah semata.
Dialah satu-satunya Tuhan yang wujud-Nya pasti ada. Ada-Nya tanpa permulaan dan
tanpa akhiran.
Oleh karena yang “wajib ada” hanya satu, yakni Allah swt, maka semua
yang selain-Nya adalah kosong, tidak ada, musnah, dan lenyap. Keyakinan dan
perasaan inilah yang membuat orang khowas justru mantap imannya. Penyerahan
diri seorang khowas adalah manifestasi islam yang kaffah, tidak
sepotong-sepotong.
Bagi orang khawas, dzikir adalah totalitas tauhid yang murni dengan
merasakan dan melihat hanya kepada Yang Wujud. Orang khowas tidak akan tertipu
dengan bayangan wujud, tidak bergantung kepada wujud yang relatif. Ia hanya
percaya kepada Dzat Mutlaq saja.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Tulis komentar