Saya perhatikan, tiap Ramadan tiba, mesti ribut soal pelafalan niat puasa, khususnya antara Romadan(a) atau Romadan(i), mana yang benar?
Saya sih awalnya ogah membahas hal polemik ini, tapi berhubung banyak yg bertanya via medsos dan ramai diperdebatkan di grup² WA, ya akhirnya izinkan saya menganalisisnya dari perspektif ilmu nahwu aja ya.
Niat puasa Ramadan, kalau diartikan secara lengkap: "Aku berniat puasa besok untuk menunaikan kewajiban (fardlu) bulan Ramadan tahun ini karena Allah". Ini lafal niat versi lengkap dalam bahasa Indonesia. Masalahnya bagi kita -orang Indonesia- adalah biasa mempermasalahkan hal yang semestinya bukan masalah sehingga akhirnya jadi masalah.
Pada gambar ini, ada 5 lafal niat yang kelima²nya benar semua. Dan, hanya 1 lafal saja yang salah kaprah.
Pertama: Romadon(i) - Sanat(i).
Lafal ini benar karena 'Romadon(i)' di-mudhaf-kan ke 'hadzihis sanat(i)', dan kata 'sanat(i)' berkedudukan 'mudhaf ilaih'. Dalam ilmu nahwu, semua idhafah kedudukan i'rab-nya 'majrur' sehingga semuanya tepat jika dibaca "kasrah". Maknanya: Aku puasa Ramadan Tahun Ini, bukan Ramadan Tahun Lalu atau Tahun Depan, hehe... inilah idhafah.
Kedua: Romadon(a) - Sanat(a).
Ini juga benar. Kata 'Romadon(a)' berkedudukan 'mudhaf ilaih', sedangkan mudhafnya adalah kata sebelumnya, yakni 'syahri'. Loh, kenapa Ramadan(a) difathah? Katanya, mudhaf ilaih itu berkedudukan 'majrur' dan harus di-kasrah.
Tenang! Gak perlu emosi. Kata 'Romadan(a)' difathah karena kata ini termasuk "ghairu munsharif" yg dalam kitab mutammimah diakibatkan oleh 2 illat (alif-nun dan isim 'alam). Nah, isim ghairu munsharif itu jika dalam kedudukan 'majrur', maka tanda i'rab-nya adalah fathah, sehingga benar jika dibaca Romadon(a).
Lalu, bagaimana dengan kata Sanat(a)? Kenapa difathah? Kok tidak mudhaf ilaih? Begini, jika sudah dibaca Romadon(a), maka 'Hadzihis Sanat(a)' berkedudukan sebagai 'maf'ul fiih' untuk kata keterangan waktu (dzaraf), maf'ul dari kata 'Nawaitu' (Aku berniat). Jadi maknanya: Saya berniat puasa tahun ini. Fokusnya pada waktu saya 'berniat puasa....tahun ini, bukan 'Romadan tahun ini'.
Ketiga: Romadon(a) - Sanat(i).
Lafal ketiga ini bisa salah, bisa juga benar. Dikatakan salah, jika dilihat dari standar ilmu nahwu pada umumnya sebagaimana alasan pada lafal pertama dan kedua tadi. Sehingga, tidak tepat jika Romadon(a) dimudhafkan ke Hadizihis Sanat(i).
Jadi, lafal ketiga ini salah ya? Padahal, lafal ini yg paling populer di masyarakat. Tenang, nggak perlu menyalahkan kiai² kampung yg sudah susah payah mengajarkan lafal niat ini sejak kita masih unyu² dulu. Sebab, jika ditelusuri lebih lanjut dalam ilmu nahwu, lafal ini juga bisa benar. Kok bisa? Bisa aja, namanya aja 'nahwu'.
Begini, Romadon(a) tetap berkedudukan 'mudhaf ilaih' (seperti alasan lafal pertama di atas) sehingga tetap difathah karena ia ghairu munsharif. Lalu, kenapa 'Hadzihis Sanat(i)' bisa benar? Iya, bisa saja benar karena menurut nahwu ada 'naz'ul khofid' atau huruf jer yang dibuang. Taqdiruhu (kira-kiranya) huruf 'fii' yang artinya 'di' atau 'pada' tahun ini. Bukankah setiap kata keterangan waktu/tempat (dzaraf makan/zaman) berpotensi didahului huruf 'fii'. Jadi, benar juga dibaca Romadon(a) Hadzihis Sanat(i). Maknanya tetap sama: Aku puasa Ramadan (pada) tahun ini.
Keempat: Ini lafal niat minimalis dan benar. Bisa dilihat di kitab Fathul Mu'in atau syarahnya I'anatuth Thalibin karya Al-Malibari. Jadi, jika nggak mau pusing dengan niat yang kelewat panjang, udah panjang disalahkan lagi, ya pakai ini aja juga nggak papa² daripada dibid'ah-sesatkan, hehe...
Ada yang bertanya, kok bisa ya cukup dengan kalimat: Nawaitu Shauma Ramadan (Aku Niat Puasa Ramadan)?
Jawabnya, kenapa boleh tidak pakai kata "ghodin" (besok)? Boleh aja, lha wong niatnya diucapkan malam ini dan puasanya besok, jadi ya nggak apa-apa, no problem.
Lalu, kenapa tidak pakai 'An Adaai'? Iya, sebab kita sedang puasa 'adaan' (pelaksanaan tahun ini), bukan 'qadaan' (membayar hutang puasa).
Lalu, kenapa tidak pakai kata 'fardhi', bolehkah? Ya jelas boleh, sebab penyebutan kata Ramadon sudah cukup menunjukkan bahwa puasa yang kita laksanakan itu hukumnya fardlu (wajib), selain itu kita sudah "ta'yiin' alias menentukan jenis puasa fardlu yg kita laksanakan, yakni Ramadan. Bukan puasa fardlu lain seperti puasa nadzar, kafarat, dls.
Lalu, bolehkah tanpa kata "Hadzihis Sanati' (tahun ini)? Ya boleh aja, kan realitanya niat itu kita ucapkan dan kita laksanakan tahun ini, bukan sekedar azam atau cita-cita. Ya kalau jomblo, niatnya nikah tapi belum ada calon pendampingnya, hehehe..
Lalu, bolehkah tanpa 'Lillahi Ta'ala'? Ya boleh aja. Sebab, maksud kata ini adalah untuk menjalankan perintah Allah (li imtitsali amrillah). Nah, puasa wajib yang kita laksanakan itu kan demi menjalankan perintah Allah, bukan perintah mantan lu... hehehe...
Kelima: Niat puasa pakai bahasa Indonesia, Jawa, Madura, Inggris, dll juga sah dan boleh-boleh saja. Yang penting niat puasa Ramadan. Bahkan, sudah cukup diutarakan dalam hati saja daripada keras² lalu disalahkan dan akhirnya bertengkar. Meskipun disunnahkan untuk tetap diucapkan demi menambah pahala dan kemantapan ibadah puasa.
Nah, itulah 5 macam pelafalan niat puasa Ramadan yang ternyata kelima²nya benar semua. Loh, katanya masih ada 1 niat lagi yang jelas² salah kaprah dan tidak bisa lagi dibenarkan menurut ilmu nahwu?
Iya, masih ada. Yakni, orang yang berpuasa niatnya pakai kalimat: "Aku niat #2019gantipresiden". Inilah niat paling salah kaprah dan sesat menyesatkan, hehehe...
Apa benar tidak sah lagi apa bila kita bilang ke istri kita berkata cerai lewat sms
BalasHapusUtk pengi'roban yg nmr 3,romadlonA ( dg d fathan) hadzihissanati ( kasroh),,kalo naz'ulkhofidz itukn seharusnya dibaca nashob ,bukn jer. .Artinya pelafadzan nmr 3 salah, ,
BalasHapus