9 November 2022

Syekh Burhanuddin: Penyebar Islam di Ranah Minang

 

 

Syekh Burhanuddin, dikenal juga Syekh Burhanuddin Ulakan, dinisbatkan dengan tempat lahir beliau, di Desa Ulakan, Pariaman, tidak jauh dari Padang Panjang. Syekh Burhanuddin merupakan berpengaruh di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau juga dikenal sebagai penyebar Islam di kerajaan Pagaruyung. Bahkan, dikenal sebagai pahlawan pergerakan Islam dalam melawan penjajahan VOC. Lebih dari itu, Syekh Burhanuddin adalah ulama sufi, mursyid tarekat Sattariyyah di Minangkabau, Sumatera Barat yang hingga kini tarekat ini menyebar di nusantara.


Syekh Burhanuddin lahir dengan nama “Pono” (Sipono, Si Panuah atau Samporono) pada tahun 1646, di Sintuk, Kabupaten Padang Pariaman. Tepatnya di Desa Ulakan, Pariaman. Keluarga Syekh Burhanuddin sebenarnya bukan penduduk asli Manaruko di Ulakan, tetapi berasal dari Gaguak Silakadi Pariangan, Padang Panjang, Tanah Datar. Ayahnya bernama Pampak Sati Karimun Merah, bersuku Koto. Ibunya bernama Cukuik Bilang Pandai, bersuku Guci. Dalam Buku Ensiklopedi Minangkabau, ditulis bahwa nama kecil Burhanuddin ialah Kanun. Tetapi teman-teman sebayanya memanggilnya Pono.


Tentang tahun lahir Syekh Burhanuddin, terdapat banyak perbedaan di beberapa literatur. Umumnya, hanya menyebut skitar awal abad ke-17. Masoed Abidin dkk dalam “Ensiklopedi Minangkabau” (2010) menyebut tahun kelahirannya pada 1021 Hijriah. Sementara, Bustamam yang menulis profil Syekh Burhanuddin dalam “Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya” (2001) menyebut tahun 1026 Hijriah. Duski Samad dalam “Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau” (2003) juga menyebut tahun 1026 H. Saat dikonversi ke tahun Masehi, rentang 1021-1026 Hijriah tersebut diperkirakan antara tahun 1612-1617 Masehi, atau sekitar awal abad ke-17.


Semasa kecil, kehidupan sehari-hari si Pono hampir sama dengan anak-anak seusianya. Senang belajar dan bermain bersama. Namun, ada kebiasaan unik yang diajarkan oleh ayahnya, yakni, setiap malam si Pono dilatih bela diri. Pelajaran ini merupakan bekal penting bagi si Pono yang di kemudian hari nanti menjadi “senjata” dalam menyebarkan ajaran Islam dan melawan penjajah.


Kehidupan Pono bersama keluarganya serba kekurangan. Hal ini yang kemudian membuat keluarga ini hijrah mencari kehidupan baru ke arah pesisir, saat Pono berusia 7 tahun. Keluarga ini sampai di Sintuk, dan kemudian diberi sebidang tanah untuk digarap oleh ninik mamak setempat. “Pindah ke Sintuk Lubuk Alung dan belajar agama Islam pertama sekali dengan Tuanku Madinah di Tapakih, Kecamatan Nan Sabarih,” tulis Duski Samad.


Di Tapakis, bermukim seorang ulama bernama Yahyuddin yang dikenal dengan nama Tuanku Madinah. Kepada guru ini, Pono mulai mendalami agama Islam, lebih kurang 3 tahun. Ia mempelajari ibadah wajib, tauhid, fiqih, tafsir dan sejarah Islam. Sebelum meninggal, Tuanku Madinah meminta Pono melanjukan pelajaran agama kepada Syekh Abdurrauf As-Singkili di Aceh.


Ketika gurunya meninggal, ia membulatkan tekad berangkat ke Aceh untuk belajar agama kepada Syekh Abdurrauf As-Singkili. Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah ulama terkemuka Aceh di abad ke-17 tersebut. Beliau juga dikenal sebagai Mufti Kerajaan Aceh yang amat berpengaruh. Syekh Abdurrauf As-Singkili pernah menetap di Mekkah selama 10 tahun untuk mendalami Islam, berguru kepada Syekh Ahmad Al-Qusyasyi dari Madinah.


Kepadanyalah Pono belajar, memperdalam tasawuf dan tarekat Syattariyah, sebagai jalan mengembangkan agama Islam kepada masyarakat. Selama di Aceh, ia bukan hanya memperdalam pelajaran agama, tapi juga melewati berbagai ujian berat. Ujian itu, sejak dari tirakat, kesetiaan hingga ujian hawa nafsu. Semua mampu dilewati oleh Pono.


Setelah 9 tahun mempelajari tarekat, Pono lulus dan mendapat ijazah dari Syekh Abdurrauf As-Singkili. Sejak itu, ia dipanggil dengan sebutan Syekh. Ada yang menyebut, ia belajar di Aceh selama 21 tahun, ada yang menyebut sampai 30 tahun.


Ia akhirnya pamit kepada Syekh Abdurrauf As-Singkili untuk pulang kembali ke Minangkabau. Sebelum Pono pulang, Syekh mengganti namanya menjadi Burhanuddin. Sehingga, setelah itu kemudian dikenal dengan panggilan Syekh Burhanuddin.


Burhanuddin dilepas dengan upacara khusus oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili. Selain nasehat, Syekh Burhanuddin dibekali kitab serta perahu dengan sembilan awak, sekaligus pengawal.


Menyusuri pantai barat Sumatera dari Aceh ke Pariaman, Syekh Burhanuddin akhirnya sampai di Ulakan. Atas kebaikan kawan lamanya dan izin Raja Ulakan, Syekh Burhanuddin diberi sebidang tanah. Di atas tanah tersebut, Syekh Burhanuddin mendirikan surau pertama, Surau Gadang Tanjung Medan.


Dari surau itulah Syekh Burhanuddin dengan dibantu oleh teman lamanya Idris Majolelo, mensyiarkan Islam ke nagari-nagari di sekitarnya, yang sebelumnya sudah mengenal Islam tetapi masih jauh dari pengamalannya.


Surau menjadi tempat mengaji, belajar Islam, belajar tarekat, silat dan kekebalan menurut ajaran tarekat. Murid-murid syekh semakin banyak. Lembaga pendidikan itu juga mengembangkan solidaritas, gotong royong dan persaudaraan.


Berhasil ke masyarakat, Syekh Burhanuddin melanjutkan dakwah ke Raja Ulakan sambil meminta izin untuk berdakwah lebih luas. Mangkuto Alam yang saat itu menjabat raja Ulakan menyambut baik Syekh Burhanuddin. Sejak itu, muridnya makin banyak, tidak saja dari Ulakan, tetapi juga dari Sintuk, Lubuk Alung, Pakandangan dan daerah Pariaman bagian utara.


Murid-murid yang telah menyelesaikan pengajian dan pelajaran di Surau Gadang Tanjung Medan, kemudian diminta Syekh kembali ke kampung halaman masing-masing. Mereka diminta membuka surau dan pengajian di daerah masing-masing. Dengan cara inilah cabang pengajian Syekh Burhanuddin dan tarekat Syattariyah menyebar ke berbagai pelosok Sumatra Barat.


Beberapa kitab yang pernah ditulis oleh Syekh Burhanuddin, di antaranya kitab At-Taqrib Liyantafial Muttadi, yang berisi tentang ilmu fikih; ilmu saraf Risalah Burhaniyah; dan ilmu nahwu Al-Muqaddimah. Lalu ada kitab Al-Mufid tentang ushuluddin, Hishful Qari/Tajwidul Fatihah dan Al-‘Ulum Al-Tashdiqiyah tentang ilmu logika, serta banyak kitab tasawuf dan keutamaan amalan.


Setelah berdakwah sekitar 21 tahun, Syekh Burhanuddin berpulang ke Rahmatullah pada 10 Safar 1111 Hijriah. Tanggal ini, saat dikonversikan ke tahun masehi bertepatan dengan 7 Agustus 1699. Namun, sumber lain juga ada yang menyebut ia wafat pada 20 Juni 1704.


Terlepas dari itu, selepas kepergian sang ulama generasi pertama, bekas muridnya berziarah ke Ulakan setiap 10 Safar. Ziarah massal ini kemudian dikenal dengan tradisi “basapa” dan terus bertahan hingga lebih dari 3 abad hingga kini.


Padang, 9 November 2022


Tidak ada komentar:
Tulis komentar