25 Desember 2012

Toleransi Natal

 


Setiap hari raya natal tiba, polemik tentang ucapan "Selamat Natal" mesti ramai. Akhirnya, suasana natal itu bukan hanya dimeriahkan oleh umat kristiani saja, tapi juga umat Islam yang ramai mempermasalahkan sesuatu yang semestinya sudah jelas, tapi menjadi gaduh.

Dapat dikatakan "jelas" karena memang hari raya natal itu jelas milik orang nasrani. Sejak duduk di bangku SD, semua siswa sudah mengerti bahwa hari raya orang kristen adalah natal yang jatuh tiap tanggal 25 Desember. Hari raya ini digabung dengan perayaan tahun baru masehi. Oleh sebab itu, ucapan natal identik juga dengan "Happy New Year".

Karena sudah jelas itulah, maka semestinya, umat Islam juga tidak perlu turut campur, baik dalam memberi ucapan selamat, apalagi repot-repot menjaga gereja segala. Sebab, faktor keamanan telah menjadi tugas aparat negara yang pastinya akan bertindak adil terhadap semua warga, tanpa membedakan agama, suku maupun golongan. Percayalah, ini negara Pancasila yang sangat menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan!

Bukankah sudah diatur dalam hukum negara, bahwa mengganggu ketenangan apalagi berbuat onar, kerusakan atau segala hal yang mengancam stabilitas keamanan adalah perbuatan yang melanggar undang-undang? Dan pasti, sanksinya juga ada. Jadi, umat Islam tidak perlu ribut dan turut campur menjaga keamanan gereja. Tidak perlu terlalu narsis! Toh, umat kristiani juga mengerti, bahwa tugas pengamanan adalah tugas kepolisian dan aparat negara. Percayalah, negara kita masih kuat dan mampu menjaga keamanan umat beragama yang menjalankan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Selain itu, umat Islam juga tidak perlu latah dengan mengucapkan "Selamat Natal" segala kepada umat kristiani, meskipun mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. Apakah hanya dengan tidak mengucapkan "Selamat Natal" itu, lalu umat Islam disebut sebagai umat yang tidak toleran?

Saya kira tidak demikian. Sebab, umat nasrani pun juga mengerti, bahwa ada problem yang menyangkut "keyakinan" bagi seorang muslim apabila memaksakan diri memberi ucapan selamat natal. Saling pengertian inilah sebenarnya rambu-rambu toleransi. Yakni, menghormati umat beragama lain dengan juga tidak mengorbankan keyakinan masing-masing.

Segelintir umat Islam yang "nekat" dan "latah" mengucapkan "Selamat Natal" di saat-saat semacam ini, pada hakikatnya, mereka justru mencederai dan mengganggu toleransi antar umat seagama. Padahal, para ulama dan kiai yang konsisten terhadap "kemurnian akidah" telah berkali-kali memberi fatwa akan keharaman ucapan selamat natal, apalagi turut hadir dalam majelis perayaan natalan hingga ada yang masuk gereja segala.

Segelintir umat Islam yang kurang sensitif itu sama seperti memancing di air yang keruh dan  mengobok-obok kolamnya sendiri. Meminjam statemen Bung Rhoma, "Sungguh, Terlalu!"

Sudahlah wahai kawanku, umat Islam. Mari kita jaga perasaan saudara-saudara kita seiman dan seagama. Tidak perlu lagi kita mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara kita setanah air, kaum kristiani, yang kini sedang merayakan hari kebahagiaan mereka. Tanpa kita mengucapkan kata selamat, sedikitpun tidak akan mengurangi tekad bertoleransi kita sebagai muslim dan sebagai warga negara yang baik.

Di sini, tidak perlu diungkap panjang lebar apa hukum ucapan selamat natal dan dampaknya bagi keimanan kita sebagai muslim. Sebab, sudah sejak dulu, kita mengerti, bahwa hal itu dilarang oleh agama Islam. Bagi sebagian orang Islam, mungkin saja dengan mengucapkan kata selamat, ia merasa keimanannya tidak terganggu dan ia melihat ucapan itu tidak berdampak sama sekali, sebab ia memahami, "Toh, hanya sekedar kata-kata saja".

Namun, jika kita mengetahui kegigihan para ulama salaf terdahulu dalam menjaga akidah, maka kita pun akan menyadari bahwa ucapan seperti "Selamat Natal" itu, pasti akan berpengaruh pada pemahaman lalu terhadap keimanan. Boleh jadi, kini hanya sekedar ucapan yang itu dianggap sebagai wujud toleransi verbal. Tapi, percayalah, lambat laun, pada sebagian orang Islam, ucapan itu juga akan diwujudkan dalam tindakan yang lebih jauh lagi.

Dari sekedar mengucapkan kata selamat, lalu meridhai, merestui, menghayati hingga meyakini. Dari sekedar ucapan selamat, lalu ikut-ikutan merayakan hingga aktif menjaga keamanan gereja. Dari sekedar menjaga gereja atas alasan toleransi dan panggilan jiwa sebagai sesama warga negara, pada akhirnya, juga ikut-ikutan makan bersama di pelataran gereja hingga masuk ke dalamnya. Jika telah terbiasa masuk ke rumah ibadat bersama para jemaat, akhirnya ia akan melangkah lebih jauh lagi.

Skenario di atas, boleh jadi dianggap fiktif dan terlalu jauh. Namun, tidak ada satupun yang berani menjamin hal itu tidak akan terjadi pada masa kini atau di masa-masa mendatang.

Oleh karenanya, memahami toleransi juga harus memahami keimanan masing-masing serta menghormati keyakinan saudara kita sendiri, umat Islam. Sekali lagi, jika dengan hanya mengucapkan "Selamat Natal" ternyata masalah bagi aspek keimanan umat Islam, inilah yang harus kita sampaikan kepada umat kristiani, dan saya yakin, umat kristiani juga akan mengerti.

"Masalah buat lo?", tanya seorang kristian kepada temannya yang muslim. Jawab saja, "Ya, masalah bagi kami bila mengucapkan selamat". Cuma gitu aja, kok repot. Saya yakin, dengan umat Islam tidak mengucapkan “kata selamat” kepada umat kristian, tidak akan terjadi konflik dan saling tuding "tidak toleran". Dengan tidak mengucapkan selamat natal, saya yakin, umat Islam dan kristen di Indonesia tidak akan sama-sama berkata, "You and Me, End".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar