Langit siang menyala seperti tungku raksasa. Di hadapan gurun yang membisu, seorang perempuan berdiri memeluk bayinya yang mulai lemah. Angin membawa pasir dan keheningan, seolah semesta menanti apa yang akan terjadi.
Perempuan itu bernama Hajar. Ia bukan ratu. Ia bukan tokoh sejarah dengan pasukan dan mahkota. Ia hanyalah seorang ibu, namun langit mencatat langkahnya lebih kekal daripada jejak para raja.
Suaminya, Ibrahim, baru saja berlalu meninggalkan mereka di lembah gersang ini. Tak ada pohon. Tak ada sumur. Tak ada manusia lain. Hanya batu, pasir, dan keheningan yang tak berkawan.
Hajar sempat bertanya, dengan suara yang menahan gemetar:
“Apakah ini perintah dari Tuhanmu?”
Ibrahim menunduk, matanya berat menahan perih. Ia mengangguk. Maka Hajar tak lagi bertanya. Ia hanya menggenggam erat bayinya dan berbisik di hatinya:
“Jika ini dari Tuhan, maka Dia tak akan menyia-nyiakan kami.”
Hari berlalu, dan panas tak juga surut. Bayi kecil itu, Ismail, mulai menangis pelan. Bukan karena lapar, tapi haus. Tubuhnya lemah, bibirnya pecah. Hajar panik. Ia menengadah, memandang langit, memandang batu-batu, memandang setiap celah, seolah berharap ada air menetes dari langit atau bumi.
Tak ada.
Maka ia berlari. Dari bukit Shafa ke Marwa, lalu kembali. Langkahnya cepat, napasnya tersengal, wajahnya basah oleh peluh dan air mata. Tapi ia tak berhenti. Ia terus mencari. Sebab bagi seorang ibu, putus asa bukan pilihan.
Tujuh kali. Ia naik. Ia turun. Ia lari. Ia jatuh. Ia bangkit lagi.
Setiap langkahnya bukan hanya gerak tubuh, melainkan doa yang menjelma langkah. Langit menyimak. Tanah menanti.
Dan ketika langkahnya sampai pada batas terakhir, ketika segala daya di tubuhnya hampir padam, Tuhan menjawab—bukan dari langit, tapi dari bumi, dari tempat yang tak ia sangka: di bawah tumit kecil Ismail, pancaran air meledak ke permukaan.
Air!
Hajar tergugu. Ia bersimpuh. Tangannya menadah. Bayinya disiram. Dahaga itu lenyap.
“Zamzam…” ia berbisik. Air ini bukan sekadar penawar haus. Ia adalah kasih Tuhan yang menjelma dari sabar dan tawakal.
Hari itu, lembah tandus berubah menjadi tempat hidup. Dari seorang ibu yang lari tujuh kali, lahirlah kota suci. Dari seorang anak yang menangis, mengalir mata air yang tak pernah kering hingga kini.
Hajar tidak sedang lari dari kenyataan—ia sedang lari menuju harapan. Langkahnya bukan kepanikan, tapi iman yang bergerak. Dan dari peristiwa itu, umat manusia belajar:
Bahwa ketabahan seorang ibu bisa menggerakkan langit dan bumi. Bahwa ketika seseorang berlari bukan untuk dirinya, tapi untuk orang yang dicintainya karena Allah, maka Tuhan akan menciptakan zamzam di tanah yang paling mustahil.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar