Saat
saya masih mondok, saya pernah mengagumi salah seorang guru bernama Gus Hawa.
Beliau hafal al-Quran sejak masih muda, hebatnya lagi ia hafal hanya dalam
waktu 10 bulan. Demikian juga adik-adiknya delapan bersaudara semuanya huffadz.
Ketika saya mencari tahu, apa resep keberhasilan keluarga mereka? Ternyata,
Abah Gus Hawa yang juga seorang kiai pernah menegaskan, "Siapa yang tidak
mau menghafal al-Quran, tidak aku akui sebagai anak".
Gertakan
sang ayah itu rupanya membakar putra-putrinya bersemangat menghafal al-Quran.
Bukan hanya itu, demi misi mulia tersebut, anak-anaknya sengaja tidak
dimasukkan ke bangku sekolah. Mengenal aksara, belajar membaca dan berhitung,
mengaji ilmu agama, semuanya langsung ditangani sang kiai dan bu nyai. Menurut
pengakuan Gus Murod, adik Gus Hawa, mereka bersaudara bisa hafal sebelum usia
15 tahun, mereka diajari bekerja langsung ke ladang dan menjual hasil panen ke
pasar.
Ada
juga saudaranya yang disuruh menjaga toko di pesantren abahnya, mengajar para
santri yang mondok ke rumah abahnya dan berbagai aktifitas lain yang mendorong
mereka bersaudara berani mengambil resiko, ikhtiyar tanpa kenal menyerah, tidak
bergantung kepada orang lain, ikhlas dan bertanggung jawab. Bukankah
nilai-nilai moral ini yang selalu dibeberkan di sekolah, madrasah atau
perguruan tinggi yang lahiriyahnya maju agar supaya lulusannya bersikap
mandiri, tapi setelah lulus mereka malah kebingungan mencari kerja dan hanya
bergantung pada secarik ijazah. Sementara itu, esensi belajar dan materi ajar
yang sesungguhnya tidak semuanya dikuasai anak didiknya. Apalagi kini hasil
prestasi siswa hanya diukur dengan nilai pelajaran bahasa Indonesia, Inggris
dan matematika. Sungguh, para pelajar itu telah menyia-nyiakan waktunya di
bangku sekolah hanya untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka butuhkan!
Selain
keluarga Gus Hawa, apa ada orang lain yang tidak pernah sekolah tapi
kehidupannya berhasil? Lama sekali saya mencari jawaban pertanyaan ini. Akan
tetapi, 5 hari yang lalu saya baru tahu bahwa salah satu tetangga kampung saya
ada seorang gadis yang usianya masih sekitar 13 tahun tidak sekolah! Saya
terkejut mendengar kabar ini. Setelah saya melihat dan ketemu orang tuanya,
saya baru lega bahwa manusia langka itu masih ada.
Gadis
polos berkulit sawo matang itu benar-benar tidak sekolah, hanya ngaji di
kampung. Tapi hebatnya, ia telah bekerja membantu ibunya menjual ayam potong di
pasar Gadang Malang sejak bakda subuh hingga siang hari. Sejak usia 6 tahun
gadis keturunan Madura itu membantu menjualkan dagangan orang tuanya. Tapi
kini, gadis itu telah memiliki stand sendiri dan memasarkan dagangannya
sendiri. Dia mampu mengatur keuangan, bisa menghitung laba dan stok barang,
pintar menjajakan jualannya, bahkan ia juga fasih berbahasa Indonesia.
Menariknya, sekali lagi, gadis itu tidak pernah mengenyam bangku sekolah!
Menurut penuturan ibunya, sekolah hanya pemborosan waktu dan uang saja. Percuma
saja sekolah atau kuliah, jika setelah lulus juga jualan di pasar. Demikian
alasan ibu si gadis itu yang rupanya telah banyak belajar dari realitas
kehidupan di sekitarnya. Kepekaan ibu muda itu terhadap fenomena yang ada di
sekelilingnya mendorongnya berani bersikap dan mengambil keputusan besar ini.
Ia berani tidak menyekolahkan anaknya, berani untuk tidak mau terjatuh dalam
satu lubang dua kali setelah ia melihat bahwa lembaga pendidikan hanya bisa
menambah pengangguran dan terbukti gagal mewujudkan cita-cita orang tua para siswa.
Perempuan
itu tidak peduli cibiran dan ancaman masa depan buruk sang putri yang sering ia
dengar dari para tetangganya. Ibu itu benar-benar telah mengambil hikmah dan
berani melakukan terobosan baru agar putrinya tidak kecewa dan tidak merasakan
kegagalan seperti teman-temannya yang lain yang telah menyia-nyiakan waktu di
TK 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, kuliah S1 4-5 tahun, tapi
setelah 19 tahun ujung-ujungnya juga bekerja menjual ayam potong, bahkan banyak
temannya yang masih kebingungan mencari kerja. Jika pun dapat kerja karena
punya ijazah, paling-paling hanya jadi buruh, kuli, karyawan yang semuanya
bawahan. Berbeda dengan ibu si gadis. Dalam waktu tidak lebih dari 8 tahun
telah berhasil membentuk putrinya menjadi juragan untuk dirinya sendiri.
Jika
sekolah hanya berorientasi pada bisnis, meninggikan biaya SPP dengan tawaran
fasilitas belajar serba mudah dan lengkap. Jika sekolah yang hanya bisa
berjanji bahwa lulusannya terjamin dapat kerja. Jika sekolah bertujuan anak
didiknya lulus UAN dengan standar pendidikan yang sengaja dibuat tapi tidak
dibutuhkan oleh anak didik dan orang tuanya.
Jika
sekolah hanya bisa memberi ijazah dan menambah gelar. Maka benar apa yang
dikatakan Karl Mark bahwa sekolah adalah candu masyarakat.
Jadi,
sekolah yang sebenarnya bukan hanya duduk di balik sekat-sekat kelas, menuruti
sederet kurikulum pelajaran yang tidak jelas tujuannya dan sering tidak
dibutuhkan. Sekolah yang sesungguhnya adalah semua ciptaan Allah di alam
semesta. Semua mengandung pelajaran yang tak ternilai harganya. Sekolah yang
sesungguhnya adalah mendorong seseorang terus berfikir dan berdzikir sambil
berikhtiyar dan tawakkal.
gus hawa & gus rifat basori
BalasHapus