10 Desember 2009

Saminten

 


Hari masih gelap. Fajar belum menyingsing di ufuk timur. Bahkan, kokok ayam jantan pun belum terdengar. Akan tetapi, Saminten telah terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, wanita paruh baya itu langsung menuju kamar mandi rumahnya yang hanya terbuat dari anyaman bambu.

Gemerincik air berjatuhan bersamaan embun pagi yang mulai membasahi desa. Rupanya, ibu dua anak itu sedang mengambil air wudlu. Selang kemudian, langkah kakinya keluar dari bilik kamar mandi menuju ruangan sempit tempat sholat di rumahnya. Saminten memakai mukenahnya lalu ia mulai bertakbir. Allahu Akbar! Allah Maha Besar, tak ada satupun yang menandinginya.

Usai shalat tahajud, Saminten mengangkat kedua tangannya. Bait demi bait pujian ia persembahkan untuk Sang Pencipta. Tak lupa, ia berdoa untuk suaminya yang malam itu masih asyik mendengkur bersama kedua anaknya. Mereka bertiga tak merasa bahwa pagi itu petikan doa Saminten baluri sekujur tubuh dan selimuti jasad dingin mereka.

Tanpa kembali ke kamar, Saminten langsung menuju dapurnya, tempat ia merajut asa. Disana, Saminten mulai menyalakan tungku api yang telah ia jejali potongan kayu bakar, lalu ia sirami dengan minyak tanah. Dan, api pun mengepul. Hawa panas mulai memadati ruangan dapur yang sempit itu. Ia letakkan sebuah wajan besar di atas tungku, lalu ia isi minyak goreng agar mendidih. Sambil menunggu, Saminten merengkuh sebongkah tempe dan pisang. Pelan-pelan, ia mengiris tempe itu kecil-kecil dalam ukuran yang hampir sama. Setelah selesai, buah pisang pun ia kelupas satu persatu dengan tangannya yang mulai tampak keriput.

Tatkala semua tempe telah ia mandikan dengan bumbu penyedap dan pisang juga telah diberi pakaian tepung, dengan sabar, Saminten menceburkan mereka secara bergantian di atas wajan yang bersimbah minyak kelapa. Yah, Saminten memulai proses penggorengan tempe dan pisang karena memang wanita itu akan bersiap menjual dan menjajakan tempe dan pisang goreng.

Tepat setelah semua pekerjaan Saminten selesai, adzan subuh berkumandang dari musholla desanya. Ia pun bergegas lagi menuju tempat shalat di rumahnya. Kali ini, Saminten shalat subuh. Subuh -yang serumpun dengan kata Ashbaha berarti "menjadi atau berubah" seakan selalu memberi semangat hidup baru bagi Saminten. Tiap subuh, ia seperti mendapat kekuatan baru untuk mengubah nasib hidupnya bersama keluarga. Seiring datangnya hari baru, dalam subuhnya Saminten yakin bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari sekarang. Dengan semangat itu pula, Saminten dengan seorang diri berjuang menembus langit saat semua terlelap agar doa-doanya terjawab dan iktiyarnya berhasil.

Usai shalat, Saminten membangunkan suami dan kedua anaknya. Yanto, anak tertua Saminten segera bergegas mandi, sholat dan bersiap-siap pergi ke sekolah yang jauh dari rumahnya. Sedangkan anak keduanya bernama Yuni masih berusia 7 tahun dan duduk di kelas 1 SDN. Karenanya, Saminten perlu memandikan putri kesayangannya. Sementara itu, sang ayah masih tetap terlelap dalam mimpi. Berkali-kali Saminten membangunkan, tapi suaminya yang kerja serabutan itu masih juga belum mau membuka matanya.

Tepat pukul 05.30, Yanto mengayuh sepeda bututnya menuju SMPN yang jaraknya kira-kira 1 Km dari rumahnya. 15 menit kemudian, Saminten menggandeng putrinya dengan tangan kiri. Ia sendiri yang akan mengantarnya ke sekolah, sambil tangan kanannya memegang sebuah wadah plastik berisi tempe dan pisang goreng. Dalam perjalanan ke lokasi sekolah yang bersebelahan dengan pasar tradisional tempatnya berjualan, Saminten berkali-kali menteriakkan: "Tempe Goreng... Pisang Goreng..!".

Saat itu, di rumahnya hanya ada Paiman, suami Saminten yang baru bangun sekitar pukul 7 pagi. Pria itu berusaha menatap sinar matahari yang menembus jendela kamarnya tapi ia tak mampu menatapnya lebar-lebar. Kelopak matanya yang hanya terbuka sempit sesempit nasibnya hari itu. Ia benar-benar ketinggalan indahnya matahari terbit, ayunan kaki sepeda putranya, senyum manis putrinya dan tentunya perjuangan Saminten, isterinya yang tegar dan sabar.
Paiman tak langsung mencuci mukanya. Ia tak bergegas wudlu untuk menunaikan shalat subuh. Tapi, pria pengangguran itu langsung menyeruput kopi hangat yang telah disiapkan isterinya. Kemudian, ia menyalakan rokoknya setelah itu bercengkrama dengan burung perkutut kesayangannya.

Di pasar, Saminten berkeliling menjual tempe dan pisang goreng. Wanita itu tidak kenal kata "menyerah" dalam menawarkan dagangannya yang asetnya hanya sekitar 25.000 rupiah. Bersamaan dengan itu pula, putri cantiknya belajar mengenali aksara dan putranya sedang berjuang menyerap pelajaran di bangku sekolah dengan keringat yang membasahi bajunya sehabis mengayun sepeda.

Begitulah aktivitas Saminten tiap pagi hingga menjelang dhuhur, ia dan putrinya kembali ke rumah. Di wajah Saminten, tampak raut muka bahagia tatkala ia melihat semua tempe dan pisang gorengnya laku. Sesampai di rumah, seperti biasa, Saminten menyembunyikan selembar uang senilai 5.000 rupiah di bawah kasurnya. Tapi hari itu, Paiman -suaminya- melihat gelagat mencurigakan sang isteri.

"Bu, uang simpananmu banyak sekali. Kemarikan 10.000, rokok Bapak habis", kata Paiman yang memergoki isterinya. Saminten yang biasanya kalem dan penurut, kali ini wanita itu menjawab keras, "Jangan Pak! Uang ini untuk biaya sekolah anak-anak kita. Biarlah kita hidup susah, tapi dunia-akherat, kita akan menyesal jika kelak anak-anak kita buta huruf seperti kita".

Subhanallah! Wanita desa yang hidup sederhana dan berpenghasilan pas-pasan itu, rupanya mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Sekalipun ia buta huruf, tapi mata hatinya tidak buta. Saminten paham pentingnya pendidikan untuk masa depan putra-putrinya. Ia korbannya apapun dalam berikhtiyar untuk memperoleh hasil yang halal sekalipun harus mencucurkan keringat dan darah. Penjual tempe goreng itu tak ingin anak-anaknya tumbuh berbalut daging haram. Bahkan, ia siap menerima tamparan suaminya atas pembelaannya atasnama pendidikan. Sebab, pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar