Sebagaimana kita ketahui, Islam datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Asimilasi antara muslim pendatang dan penduduk pribumi saat itu yang mayoritas berkeyakinan dinamisme, animisme dan materalisme telah melahirkan akulturasi budaya atau pertukaran budaya. Akhirnya, berkat sikap toleransi dan dakwah bil-hal, Walisongo dan para santrinya berhasil mendakwahkan Islam secara gemilang. Islam yang santun dan berbudaya telah menarik hati kaum pribumi untuk memeluk Islam. Banyak umat Hindu, Budha dan juga berbagai aliran kepercayaan di tanah air yang akhirnya memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi.
Tatkala agama Kristen masuk ke Indonesia bersamaan dengan kolonialisme dan imperialisme (penjajahan), umat Islam, Hindu dan Budha tidak serta-merta menolak atau memerangi Kristen. Kaum pribumi hanya memerangi penjajahan dan sikap negara Barat yang menginjak-injak hak asasi manusia dan memasung kemerdekaan. Berkat perjuangan para pahlawan, yang mayoritas muslim, Indonesia akhirnya sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Saat itu pula, para pendiri negara secara sadar dan benar memilih Pancasila sebagai dasar negara, dan bukan memilih agama tertentu sebagai falsafah negara. Terpilihnya Pancasila sebagai visi negara (vision of states) bukan berarti negara Indonesia menganut paham sekuler atau atheis, justru Pancasila melalui pasal pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwasanya Indonesia adalah negara umat beragama. Penulis lebih senang mengatakan: “Indonesia adalah negara tauhid”. Kehidupan antar umat beragama dalam negara telah diatur melalui UUD 1945 pasal 29 yang menjamin kemerdekaan bagi tiap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan melaksanakannya sesuai keyakinannya masing-masing.
Dengan paparan di atas, jelas bahwa negara memposisikan diri sebagai penjamin kehidupan bertoleransi antar umat beragama. Negara memiliki dasar sendiri, yakni Pancasila yang dengan dasar itu, negara mengakui perbedaan agama. Dengan kata lain, Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah ketetapan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, dengan Pancasila yang menjamin ke-bhineka tunggal ika-an bertujuan untuk melindungi NKRI dari ancaman perpecahan, pemberontakan, pelecehan atasnama apapun dan dari pihak manapun, dari dalam maupun dari luar negeri.
Hukum negara juga tidak menutup diri dari sumber hukum lain yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Islam, Kristen, Hindu, maupun Budha. Nilai-nilai kebaikan dalam sebuah agama seperti urgensi persatuan, tolong menolong, gotong royong, kebersihan, pelestarian lingkungan, dan sebagainya, semuanya diakomodir oleh negara dan bisa menjadi sumber hukum negara. Di sinilah sebenarnya posisi Islam sebagai ajaran universal (rahmatan lil-alamin) yang seharusnya oleh umat Islamnya diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa sehingga nilai-nilai Islami dapat mewarnai segala sendi kehidupan dan kebudayaan. Permasalahannya saat ini, adalah munculnya dua kubu di kalangan umat Islam dalam memposisikan agama dan negara. Pertama, Kubu Keterlaluan. Kedua, Kubu Kebablasan.
Pertama: Kubu Keterlaluan
Sering juga disebut Islam Kanan, Islam Garis Keras, Islam Fundamentalis, Islam Eksklusif. Kubu ini berpandangan, antara lain: Islam harus menjadi dasar negara, syariat Islam harus ditegakkan sebagai hukum positif negara, Al-Qur'an dan As-Sunnah harus menggantikan Pancasila, sistem demokrasi yang diadopsi dari Barat harus segera diganti dengan khilafah dan syariah, dan sebagainya.
Dengan pandangan semacam itu, lalu Islam menjadi simbol-simbol. Dengan atribut Islam dan atasnama Islam, sekelompok muslim bebas berbuat apapun dalam “amar ma’ruf nahi munkar”. Akibatnya, tragedi main hakim sendiri, sweping kemaksiatan, dan tindakan anarkis kerap mewarnai pergerakan kubu yang keterlaluan ini. Termasuk juga, kasus pengeboman dan terorisme yang memakai label-label Islam juga berakar dari “Kubu Keterlaluan” ini.
Demikian juga dengan wacana pendirian Negara Islam atau Negara Khilafah-Syariah adalah wacana dari kubu pertama ini yang ending-nya bertujuan menggulingkan NKRI. Mereka sengaja mengimpor wacana pemikiran Islam ala Timur Tengah yang sarat konflik atau dengan cara menampilkan berbagai kedzaliman yang menimpa umat Islam di negera-negara konflik seperti: Afghanistan, Irak atau Palestina untuk menarik simpati dan memanfaatkan aspek ghirah umat Islam Indonesia supaya tergerak mengikuti paham mereka yang pada akhirnya akan kekacauan dalam kehidupan umat beragama di Indonesia.
Kedua: Kubu Kebablasan
Sering juga disebut Islam Kiri, Islam Liberal, Islam Bebas, Islam Sosialis dan Humanistik, Islam Kemanusiaan, Islam Inklusif dan sebagainya. Kubu ini berpandangan bahwa kebebasan memeluk agama, termasuk aliran yang menyimpang adalah pilihan yang harus dihormati; negara tak punya hak menghakimi keyakinan umat, aliran sesat bukan penistaan atau penyimpangan tapi sebuah pilihan yang harus dihormati, semua agama sama benarnya, dan pandangan-pandangan lain yang dapat menjerumuskan umat Islam.
Kubu kedua ini amat mendewa-dewakan alam kebebasan dan nalar berpikir. Biasanya, tulisan atau pikiran kaum liberal cenderung mengatasnamakan kemanusiaan, demokrasi, universalitas Islam, dan sebagainya. Kubu Kebablasan ini kerap melakukan tasfir-tafsir yang menyimpang. Pikiran-pikiran yang mereka sebut ‘modern, liberal, terbuka, humanis, madani, dll.’, sejatinya bertujuan untuk mengikis nilai-nilai tradisionalis umat Islam yang telah lama dilestarikan para ulama dan as-salafus shalih.
Kubu kedua ini sengaja atau tidak, sering memancing kemarahan umat Islam dengan hasil interpretasi (penafsiran) mereka yang menyimpang. Hasil pikiran yang mereka katakan ‘baru’ itu bertujuan untuk dekonstruksi (membongkar) tatanan Akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah agar akidah Islam yang najiyah tercerai-berai. Atas dasar kebebasan yang diwarisi dari Barat (Kapitalis-Sosialis), ciri kubu kedua sering mengkritik dan menafikan pola pendidikan pesantren yang dituduh tradisionalis, oportunis, dehumanisasi, tidak manusiawi, dan sebagainya. Padahal, dibalik itu, sebenarnya mereka adalah agen-agen Barat yang ingin menancapkan kukunya di bumi Indonesia melalui perang pemikiran.
Ummatan Wasatha atau memposisikan diri berada di tengah adalah hal bijak, terbuka terhadap berbagai perkembangan dan kemajuan, tapi tetap kuat memegang prinsip. Tidak terseret arus dan silau terhadap trend baru yang sebenarnya barang usang.
"Al-Muhafadzah 'ala al-Qadiim al-Shalih waa al-Akhdu bi al-Jadiid al-Ashlah", menjaga tradisi klasik yang telah baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar