Tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan telah menjadi sebuah aksioma, bahwa belajar ilmu nahwu atau gramatikal bahasa Arab memang sulit. Barangkali, bukan hanya dalam tatabahasa Arab saja yang sulit, dalam bahasa lainpun ilmu tatabahasa sering dianggap momok. Tapi, ilmu nahwu memang unik. Uniknya, istilah-istilah yang dirilis oleh para nahwiyyin mulai klasik hingga modern sedemikian banyak sehingga sulit untuk dimengerti oleh pelajar bahasa asing.
Kekayaan istilah -kalau memang disebut demikian- dalam ilmu nahwu justru membuat bingung. Istilah-istilah yang dirumuskan terkadang ambigu, multi tafsir, tidak konsisten dan sulit dicari padanan katanya dalam tatabahasa ibu yang dikuasai pelajar maupun pengajar bahasa Arab. Di sinilah, saya melihat ada problem mendasar dalam ilmu nahwu.
Misalnya, dalam bahasan tentang "Maf'ul" terdapat banyak nama dan pembagian mulai dari maf'ul bih, maf'ul mutlaq', maf'ul ma'ah, maf'ul li ajlih, maf'ul fiih. Hingga hari ini, belum muncul istilah baru untuk menggantikan maf'ul-maf'ul tersebut sekalipun batasan dan penggunaannya telah dipahami.
Misalnya lagi, dalam bahasan inti kalimat. Para ahli nahwu yang juga ahli balaghah memperkenalkan istilah "umdatul-kalam" atau kalimat inti dan "fudlatul-kalam" atau kalimat tambahan. Pada bahasa ini, para ahli bahasa sering memahami sebagai sistem DM (Diterangkan dan Menerangkan). Padahal analogi sistem ini pun masih ambigu. Sebab, sistem DM juga diperkenalkan pada pembahasan jumlah ismiyah dan jumlah fi'liyah (kalimat nominal dan kalimat verbal).
Bukan hanya itu, para ahli nahwu dan bahasa Arab, terutama di Indonesia, masih berpolemik dalam menerjemahkan dan memahami istilah qaul, lafadz, kalimah, uslub, tarkib, kalam dan jumlah. Dari istilah tersebut, mana yang sebenarnya berposisi sebagai suku kata, kata, kalimat, ujaran dan sebagainya. Apakah memang tidak ditemukan benang merah antara tatabahasa Arab dan Indonesia, atau memang gramatikal kedua bahasa itu sama sekali berbeda? Inilah problem mendasar yang akibatnya pelajaran ilmu nahwu sulit dimengerti hanya gara-gara kekayaan istilah dan batasannya yang rancu.
Selain itu, pembelajaran ilmu nahwu menjadi sulit karena berbagai istilah asing terus digelontor oleh guru sehingga siswa makin bingung. Belum tahu benar apa itu i'rab rafa', langsung disusul nasab, jer, jazm, alamat i'rab, mabni, mu'rab, jamid, musytaq, jamak mudzakkar salim, jamak taksir, dan masih lagi kata-kata asing lainnya yang justru diperkenalkan pada awal-awal belajar nahwu. Maka, siswa makin terjebak untuk mengenali dan menghafal istilah daripada memahami tatabahasa dan menerapkannya dalam berbahasa maupun menganalisis bahasa.
Kerumitan istilah nahwu, hebatnya lagi, masih didukung dengan metode qawaid wa tarjamah dalam penyampaian pelajaran. Seakan-akan, metode tradisional inilah satu-satunya yang tepat dan efektif dalam mengajarkan bahasa. "Toh, dengan metode itu juga saya dulu diajar dan nyatanya, saya bisa ilmu nahwu", kata seorang guru. Tapi, saya lihat, ternyata hanya dia dan beberapa temannya yang cerdas saja yang bisa nahwu. Sementara, mayoritas teman seangkatannya banyak yang gagal memahami ilmu nahwu.
Kembali kepada istilah dalam ilmu nahwu, tampaknya memang perlu upaya meminimalisir jumlah istilah dalam kaidah nahwu. Bahkan, beberapa bab yang dirasa kurang aplikatif dalam komunikasi maupun jarang muncul dalam karya-karya tulis, perlu juga tidak diajar. Bahkan, bila perlu, bab-bab atau kaidah yang rumit itu dihapus saja dari jajaran materi ilmu nahwu yang diajarkan kepada siswa. Ungkapan ta'ajjub seperti "Af'il bih", Maf'ul Ma'ah, Kada dan teman-temannya, adalah bagian-bagian yang jarang muncul dalam realitas, tapi itu masih tetap saja dipertahankan dan dipelajari mati-matian.
Upaya kreatif seperti yang dilakukan Ibnu Madha', Tammam Hassan dan lain sebagainya dengan konsep nahwu yang bernuansa baru merupakan langkah maju dari pengembangan ilmu tua ini. Sayangnya, belum ada model pengembangan ilmu nahwu yang berasal dari Indonesia, padahal pesantren dan perguruan tinggi yang konsen dengan ilmu itu amat banyak. Bahkan, hampir setiap ilmuwan muslim Indonesia, bisa dikatakan, sedikit-banyak pasti pernah belajar nahwu.
So, harus ada pembaharuan ilmu nahwu yang salah pintunya bisa dimulai dari minimalisasi istilah-istilah tatabahasa Arab.
bukankah ketika minimalisasi istilah-istilah tatabahasa Arab akan terjadi kekaburan pemahaman?... mohon sedikit dijabarkan...!! thanks
BalasHapus