Di sebuah pesarean, tiba-tiba seorang peziarah bertanya kepada ustadz yang duduk di sebelahnya. "Katanya, Allah itu dekat, lebih dekat dari urat nadi, lalu apakah hakikat dekat itu? Dimanakah Allah? Saya ingin tahu jawabannya", kata peziarah itu dengan gaya aneh, lagaknya orang majdzub.
Si Ustadz yang sebelumnya memang belum kenal dengan pria aneh itu, langsung menghentikan wiridnya. Ia tegakkan badannya, lalu dengan nada tinggi, ustadz itu berkata, "Apakah Anda tidak yakin dengan firman Allah yang memang menjelaskan bahwa Dia adalah "aqrabu min hablil-warid", Dia lebih dekat dari urat nadi? Jika Anda kurang yakin dengan al-Quran, keislaman Anda memang perlu diluruskan!
Pria aneh itu tak mau kalah. Ia malah berkata, "Maaf, Ustadz. Saya tidak tahu kalau Anda menjawabnya masih di tingkat syariat, sedangkan pertanyaan saya ini adalah hakikat. Saya kira Anda paham hakikat, ternyata Anda masih terbuai dengan lahiriyah daripada batiniyah, Anda masih menilai segala sesuatu berdasarkan hukum syariat, padahal tidak semuanya bisa diukur dari kacamata hukum".
Ustadz itu mulai naik pitam. "Anda telah berada di luar batas. Anda menanyakan hal-hal yang tidak seharusnya ditanyakan". Lalu, ustadz itu menyebut beberapa ayat dan hadis yang isinya menghakimi dan memutuskan bahwa pikiran dan pertanyaan pria aneh itu cukup berbahaya dan berdampak pada pelemahan syariat Islam.
Pria itupun tak mau kalah. Walhasil, mereka berdua adu argumen. Pria itu merasa berada di jalur hakikat, sedangkan ustadz itu merasa tetap berada di dalam penegakan syariat.
Tiba-tiba, seorang Gus mendekati mereka. Rupanya, putra kiai ini masih teman akrab si ustadz tadi. Gus itu berkata, "Mengapa sampeyan buang-buang waktu dengan menjawab hal-hal yang kurang perlu, padahal tadi saya lihat, sampeyan sedang khusyuk berdzikir mengingat Allah? Jadi, lebih baik, teruskan saja wiridan sampeyan. Izinkan saya bicara dengan orang ini". "Baik, Gus", kata ustadz tadi.
Setelah memperkenalkan diri secara singkat, Gus itu bertanya kepada pria aneh tadi, "Tadi, sampeyan ke pesarean ini, naik kendaraan ya?". "Benar, saya naik bis kota", jawab pria itu. "Apa sampeyan sudah makan?", tanya Gus itu lagi. "Sudah, sudah, terima kasih", kata pria itu yang mengira bahwa dirinya akan ditraktir makan oleh Gus tersebut. "Oya, botol berisi air mineral ini untuk apa?", tanya Gus itu lagi. Pria itu menjawab, "Ooo, ini ya untuk saya minum kalau kehausan".
Lalu, Gus itu berkata, "Begini, Mas. Jika untuk tiba ke sini saja sampeyan masih perlu kendaraan, maka tolong, jangan bicara tentang hakikat. Jika untuk merasakan kenyang, sampeyan masih butuh makan, jangan sebut-sebut kata hakikat. Sampeyan juga masih butuh air saat kehausan. Jadi, sekali lagi, jangan bicara soal hakikat!".
Pria itu terdiam. Gus tadi meneruskan perkataannya, "Sungguh, ucapan dan perbuatan kita sering tidak sama. Bukankah kendaraan yang Anda pakai untuk bisa tiba disini adalah wasilah, dan ketergantungan Anda terhadap wasilah dan sebab-sebab yang wajar atau logis semacam ini, masih juga kelas syariat? Kenapa Anda butuh makanan dan minuman hanya untuk mencapai hakikat kenyang? Seharusnya, orang di kelas hakikat tak perlu itu semua".
Pria itu makin tutup mulut. Dia hanya bisa bengong. "Kenapa Anda mencari wujud Allah yang kata Anda, Dia lebih dekat daripada urat nadi. Cobalah jawab pertanyaan saya: apakah Anda bisa melihat ubun-ubun kepala Anda tanpa wasilah apapun? Jika untuk tahu ubun-ubun sendiri saja, Anda tidak mampu, stop bicara hakikat!".
"Tahukah Anda karamah para wali yang dianugerahi Allah. Jika kaki kanan seorang wali ada di Mekah, misalnya, maka kaki kirinya bisa menginjak tanah Mesir, Yaman, atau tempat lain di dunia ini. Mereka bisa melangkah cepat bagai kilat, menembus batas tanpa sekat, menerobos ruang dan waktu tak perlu sebab-sebab dan logika berpikir tertentu. Sebab, menurut Allah -sebagaimana hadis Nabi- "Hamba-Ku yang mendekat kepadaku, Aku akan menjadi penglihatannya, pendengarannya dan langkah kakinya". Jika Allah telah membantu para wali yang benar-benar telah mencapai kelas hakikat yang sesungguhnya, apapun yang mustahil secara logis, bisa terwujud".
Debat hakikat ini berhenti setelah Gus itu pergi. Pria itu hanya terdiam. Aliran darahnya seperti berhenti. Tubuhnya kontan menjadi kerdil. Maka, stop bicara hakikat, jangan benturkan dengan syariat!
Wallahu A'lam
yes, 100% setuju!
BalasHapusthanks, mas Umar telah berkunjung.
BalasHapus