Kata "Pesantren" berasal dari "santri". Maksudnya, lembaga atau pondokan yang diasuh oleh sang kiai bertujuan men-santri-kan seorang murid. Kata "santri" sendiri, jika dirujuk ke dalam bahasa sanskerta, maka ia berasal dari kata "sastri" yang artinya: "orang yang pandai membaca dan menulis dengan indah".
Berangkat dari kajian etomologis ini, secara historis, dapat dimengerti bahwa memang seorang santri atau murid yang belajar di pesantren berada pada kelas tersendiri. Bahkan, posisi santri bisa dibilang eksklusif. Dalam arti, ia memiliki kekhususan yang seharusnya tidak sama dan tidak dimiliki oleh orang yang bukan santri. Karena itu, dalam sebuah penelitian tentang strata atau kelas sosial dalam masyarakat Jawa, dipetakan ada 3 kelompok. Yakni, kelompok priyayi, santri dan abangan.
Seorang santri dipandang mengerti tentang agama. Pandangan masyarakat ini seharusnya menjadi alat introspeksi bagi santri, sekaligus pemicu diri untuk terus mendalami ilmu agama dan berusaha mengamalkannya. Sebuah tanggung jawab moral dan spiritual yang tentunya tidak mudah. Meski ekslusif di bidang agama, namun dalam interaksi sosial, seorang santri harus bisa melebur ke dalam masyarakat. Sifat itulah yang menjadi modal dakwah santri yang akan terus menggerakkan ruhul-jihad di dalam dirinya.
Salah satu karakteristik santri yang paling menonjol adalah sikap tunduk dan patuh kepada gurunya. Entah si guru itu dinilai salah, khilaf atau keliru dalam pandangan umum, tapi seorang santri yang tulen, ia akan selalu khusnu dzan atau berbaik sangka. Keputusan, perintah atau apapun kelakuan gurunya, bagi santri dipandang mengandung pelajaran yang terdalam yang harus digali. Inilah hikmah.
Karena itu, "penilaian" terhadap guru bukanlah hak seorang santri. Santri yang shalih adalah nriman sebab sejak awal ia telah membulatkan tekadnya untuk berguru kepada kiainya. Jika "guru" memang berarti "digugu dan dituru", maka definisi itulah yang dianut santri. Bahwa, gurunya adalah teladan.
Apakah lalu seorang santri "haram" mengkritik gurunya? Tidak! Guru atau kiai yang sejati selalu terbuka terhadap kritik. Biasanya, sikap kritik santri lebih tertuju pada wilayah kajian keilmuan, bukan pada moral gurunya. Bila santri merasa tidak cocok dengan akhlaq gurunya, ia bebas pergi dan tidak perlu lagi meneruskan lelakon ngajinya kepada guru. Walaupun, kasus semacam ini jarang terjadi, sebab seorang kiai atau guru selalu menampilkan teladan yang baik di hadapan para santrinya.
Sikap-sikap rendah hati dan tawaddu' ala santri itu yang kini mulai luntur dalam pendidikan Islam, baik di pesantren apalagi di sekolah-sekolah formal. Ketika pendidikan telah bernuansa bisnis dimana pola-pola yang dikembangkan selalu bernuansa transaksional, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Pendidikan tidak lagi berpijak pada "Tarbiyah Ruhiyah", tapi "Tarbiyah Tijariyah".
Pesantren atau sekolah yang hanya menawarkan program unggulan, indahnya visi-misi, fasilitas lengkap dan mahal atau mungkin saja "jaminan lapangan pekerjaan", lalu calon santri "hanya" tertarik pada tataran dhahir yang bersifat duniawi tersebut, itu artinya telah terjadi "jual-beli" dalam pendidikan. Maka, ketika santri/siswa tidak memperoleh apa yang ia harapkan, mereka berhak mengajukan kritik, protes hingga tuntutan atas apa yang seharusnya mereka terima.
Tatkala hal di atas itu telah terjadi, dan kenyataannya memang sedang mewabah, maka sekali lagi, pendidikan agama telah kehilangan ruhnya. Bukan hanya itu, seorang santri pun akan kehilangan identitas yang sebenarnya.
Berangkat dari kajian etomologis ini, secara historis, dapat dimengerti bahwa memang seorang santri atau murid yang belajar di pesantren berada pada kelas tersendiri. Bahkan, posisi santri bisa dibilang eksklusif. Dalam arti, ia memiliki kekhususan yang seharusnya tidak sama dan tidak dimiliki oleh orang yang bukan santri. Karena itu, dalam sebuah penelitian tentang strata atau kelas sosial dalam masyarakat Jawa, dipetakan ada 3 kelompok. Yakni, kelompok priyayi, santri dan abangan.
Seorang santri dipandang mengerti tentang agama. Pandangan masyarakat ini seharusnya menjadi alat introspeksi bagi santri, sekaligus pemicu diri untuk terus mendalami ilmu agama dan berusaha mengamalkannya. Sebuah tanggung jawab moral dan spiritual yang tentunya tidak mudah. Meski ekslusif di bidang agama, namun dalam interaksi sosial, seorang santri harus bisa melebur ke dalam masyarakat. Sifat itulah yang menjadi modal dakwah santri yang akan terus menggerakkan ruhul-jihad di dalam dirinya.
Salah satu karakteristik santri yang paling menonjol adalah sikap tunduk dan patuh kepada gurunya. Entah si guru itu dinilai salah, khilaf atau keliru dalam pandangan umum, tapi seorang santri yang tulen, ia akan selalu khusnu dzan atau berbaik sangka. Keputusan, perintah atau apapun kelakuan gurunya, bagi santri dipandang mengandung pelajaran yang terdalam yang harus digali. Inilah hikmah.
Karena itu, "penilaian" terhadap guru bukanlah hak seorang santri. Santri yang shalih adalah nriman sebab sejak awal ia telah membulatkan tekadnya untuk berguru kepada kiainya. Jika "guru" memang berarti "digugu dan dituru", maka definisi itulah yang dianut santri. Bahwa, gurunya adalah teladan.
Apakah lalu seorang santri "haram" mengkritik gurunya? Tidak! Guru atau kiai yang sejati selalu terbuka terhadap kritik. Biasanya, sikap kritik santri lebih tertuju pada wilayah kajian keilmuan, bukan pada moral gurunya. Bila santri merasa tidak cocok dengan akhlaq gurunya, ia bebas pergi dan tidak perlu lagi meneruskan lelakon ngajinya kepada guru. Walaupun, kasus semacam ini jarang terjadi, sebab seorang kiai atau guru selalu menampilkan teladan yang baik di hadapan para santrinya.
Sikap-sikap rendah hati dan tawaddu' ala santri itu yang kini mulai luntur dalam pendidikan Islam, baik di pesantren apalagi di sekolah-sekolah formal. Ketika pendidikan telah bernuansa bisnis dimana pola-pola yang dikembangkan selalu bernuansa transaksional, maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Pendidikan tidak lagi berpijak pada "Tarbiyah Ruhiyah", tapi "Tarbiyah Tijariyah".
Pesantren atau sekolah yang hanya menawarkan program unggulan, indahnya visi-misi, fasilitas lengkap dan mahal atau mungkin saja "jaminan lapangan pekerjaan", lalu calon santri "hanya" tertarik pada tataran dhahir yang bersifat duniawi tersebut, itu artinya telah terjadi "jual-beli" dalam pendidikan. Maka, ketika santri/siswa tidak memperoleh apa yang ia harapkan, mereka berhak mengajukan kritik, protes hingga tuntutan atas apa yang seharusnya mereka terima.
Tatkala hal di atas itu telah terjadi, dan kenyataannya memang sedang mewabah, maka sekali lagi, pendidikan agama telah kehilangan ruhnya. Bukan hanya itu, seorang santri pun akan kehilangan identitas yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar