Hari terakhir sebelum meninggalkan kota Madinah al-Munawwarah, hati ini tidak ingin berpisah dengan kota Nabi yang penuh berkah. "Kapan saya bisa balik ke sini?", inilah bagian perasaan sedih jelang pemulangan ke tanah air. Karena itu, bakda shalat subuh, saya dan seorang rekan haji masih ingin berlama-lama di dalam masjid seusai shalat subuh.
Di Masjid Nabawi, setiap usai shalat subuh, maghrib atau isyak, banyak tersebar majelis ilmu. Biasanya, seorang syekh duduk di dekat tiang masjid dan diitari beberapa murid atau jamaahnya. Ada yang sekedar semaan al-Quran, tashih bacaan atau qiraat, kajian tafsir, dan sebagainya. Ada pula majelis-majelis diskusi yang membahas berbagai ilmu pengetahuan agama yang dihadiri secara bebas dari para jamaah yang datang dari berbagai negara.
Sungguh, sebuah pemandangan yang indah! Mereka sedang membangun kebun-kebun surga di dalam Masjid Nabawi sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Tahukah kalian, apakah kebun-kebun surga itu? Itulah majelis-majelis ilmu dan dzikir". Maka, selain Raudhah yang ada di antara mimbar dan makam Nabi, kebun surga juga tersebar di Masjid Nabawi.
Saya dan rekan saya masih duduk santai di dalam masjid. Tiba-tiba, seorang syekh yang usianya sekitar 60 tahunan datang menghampiri kami berdua. "Assalamu'alaikum", sapanya. "Wa'alaikum salam", jawab kami. "Indonesia am Malaysia?". "Indonesia", jawab saya. "Takallam Arabi am Injlizi?", tanya dia. "Saya sedikit bisa bahasa Arab dan rekan saya ini mampu berbahasa Inggris", jawab saya.
Setelah berkenalan, tiba-tiba 2 orang lagi menghampiri kami. Mereka masih muda. Ternyata, kedua orang itu berasal dari Pakistan. Kini kami tahu, bahwa syekh yang ada di hadapan kami ini adalah salah seorang ulama dan dai di Pakistan, sedangkan kedua orang itu adalah pengagum dan mengaku muridnya.
Yang membuat saya takjub, syekh itu mampu berkomunikasi dengan 2 bahasa; Arab dan Inggris. Beliau menyampaikan beberapa hal pokok yang menjadi kewajiban seorang muslim secara bilingual. Pesan utamanya kepada kami sebagai orang muslim di Indonesia adalah bahwa sepulang dari haji, kami diminta untuk mendakwahkan Islam kepada siapa saja, terutama kepada non-muslim. Sebab, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang dihuni oleh penganut beberapa agama.
"Bersediakah kalian berdakwah dan mengajak kaum nasrani memeluk Islam?", tanya syekh itu. "Insya Allah", jawab saya. Indonesia, menurut Syekh itu, adalah negara yang kaya dan berpenduduk muslim terbesar. Jadi seharusnya, muslim Indonesia bisa berkuasa dan menjadikan seluruh warga negaranya beragama Islam. Inilah dakwah, kata beliau.
Pada dasarnya, saya sepakat dengan syekh tersebut. Namun kemudian, saya pun bertanya, "Apakah hakikat dakwah itu? Apa tujuan dakwah adalah mengislamkan non-muslim? Apakah dakwah itu harus dengan kekuasaan?". Menurutnya, puncak dakwah itu adalah keberhasilan meng-Islam-kan semua umat manusia.
Dari sini, lalu saya tergerak untuk menjelaskan tentang model keberagamaan di Indonesia. Saya katakan, bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya, agama, bahkan juga sekte dan paham politik yang beraneka ragam. Secara geografis, Indonesia juga terpecah-pecah menjadi beribu-ribu pulau yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Jadi, berdakwah ala "definisi" syekh tersebut, bukan hanya sulit, tapi boleh jadi juga mustahil. Bahkan, dakwah seperti itu bersifat radikal dan cost-nya sangat mahal.
Kali ini, syekh dan kedua muridnya tampak menunggu penjelasan saya berikutnya, setelah sebelumnya beliau berceramah panjang lebar yang disisipi beberapa dalil dari al-Quran dan al-Hadis yang intinya agar umat Islam, sekali lagi, harus berdakwah!!
Saya katakan, bahwa di Indonesia ada agama Islam, kristen atau nasrani, hindu, budha, konghucu, dan masih banyak lagi aliran kepercayaan dan sempalan yang tersebar di masyarakat. Tapi, alhamdulillah, sejak puluhan tahun, kami bangsa Indonesia bisa hidup rukun dalam bingkai kebhinekaan sehingga tidak ada perang agama yang mengarah kepada adu fisik, kecuali beberapa kelompok saja yang terpengaruh dengan militansi timur-tengah dan politik global.
Belum selesai saya bicara, teman saya bertanya kepada Syekh itu, "Di Pakistan, ada berapa agama? Lalu, apa kendala dakwah di sana?". Dengan bangga, murid si syekh itu menjawab, "Alhamdulillah, kami semua beragama Islam. Hanya saja, di Pakistan, kendala utama kami adalah konflik akidah antara sunni dan syiah. Selain itu adalah penjajahan Amerika atasnama terorisme sehingga warga kami sering terlibat perang. Tapi, inilah jihad dan inilah resiko dakwah!!".
Mendengar hal itu, saya balik berkata, "Inilah bedanya antara dakwah ala muslim Indonesia dengan Pakistan. Bagi kami kaum muslimin Indonesia, sasaran utama dakwah kami justru adalah umat Islam sendiri. Dakwah Dhakiliyyah. Umat Islam harus kita agak memeluk agamanya secara "kaffah" dan mengamalkannya dengan benar agar ruh dakwah itu mendunia dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Dengan pengamalan ajaran yang benar, menjaga perdamaian dan menebar kasih sayang, maka dengan sendiri Islam akan mulia dan umat lain saya kira akan tertarik kepada Islam.
Dengan cara dan pemahaman dakwah seperti ini, umat Islam akan tampak luhur dan mulia. Lebih dari itu, dakwah ini tidak harus melawan arus, bersifat radikal dan memaksakan kehendak umat beragama lain untuk masuk ke dalam agama kita.
"Ya Akhi, cara dakwah seperti penjelasan Anda itu tampak lemah. Anda tidak yakin dengan keluhuran Islam. Al-Islam ya'luu wa la yu'la 'alaihi", kata Syekh itu.
"Afwan, Ya Syekh. Tapi, dengan dakwah haliyah-dakhiliyah seperti ini telah terbukti menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, sanggup mengayomi kalangan minoritas. Tidak ada perang fisik antara Islam-Nasrani, Islam-Hindu, dan seterusnya. Berbeda dengan Pakistan. Maaf, dengan model dakwah seperti pemahaman Syekh, lalu kenapa di Pakistan, Sunni-Syiah saja tidak bisa akur? Dengan dakwah radikal seperti dalam definisi dan penjelasan Syekh, mengapa perbatasan negara Anda masih terus bergejolak atasnama agama. Saya kira, pemahaman dakwah yang militan dan radikal, gampang disusupi kepentingan-kepentingan tertentu seperti politik kekuasaan, ekonomi dan status sosial".
"Tapi, itu bukan dakwah seperti yang digariskan Nabi Muhammad saw", kata salah satu murid si syekh itu. "Kata siapa?", tanya saya. Belum sempat ia menjawab, saya lanjutkan, "Buktinya, Nabi tidak memerangi penduduk Madinah yang beragama non-muslim (yahudi-nasrani) kecuali saat mereka memberontak. Bahkan, beliau saw enggan berkontak fisik dengan orang-orang munafik yang ada di Madinah agar beliau tidak dikenal sebagai Nabi yang memerangi umatnya sendiri".
Akhirnya, saya pun memahami bahwa metode dakwah itu sungguh variatif dan harus disesuaikan dengan mudtadhal-hal atau situasi dan kondisi. Tapi, dakwah yang bersifat "ke dalam" yang berorientasi untuk membenahi keislaman umat Islam sendiri, jauh lebih penting daripada sekedar memaksakan kehendak orang lain.
Di penghujung diskusi kami, saya katakan, "Afwan, saya masih tetap mengikuti cara-cara dakwah ala ulama dan aulia salaf yang telah berhasil membumikan Islam di Indonesia. Silahkan, Anda -orang Pakistan- mencoba berdakwah ala Indonesia yang tetap menghormati perbedaan agar supaya Sunni-Syiah di Pakistan dapat hidup berdampingan dan tidak mudah dikendalikan pihak asing atasnama jihad, dakwah, atau atasnama apapun selain li i'lahi kalimatillah". Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar