13 Januari 2011

Mahalnya Kesempatan

 

Satu hal yang paling ingin saya katakan sehubungan dengan perjalanan haji tahun 2010 ini, yakni, alangkah mahalnya kesempatan!! Yah, kalimat ini saya nilai tepat untuk menggambarkan betapa kesempatan berhaji bagi seseorang, belum tentu datang berkali-kali.

Bagaimana tidak, di Jawa Timur saja, bila kita mendaftar sebagai calon haji di awal tahun 2011 ini, maka kita akan terdaftar sebagai cahaj tahun 2018!! Itupun jika kuota-nya masih belum habis. Artinya, meski tahun ini kita memiliki uang untuk Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), kita tidak bisa serta-merta bisa ke tanah suci. Kita mesti harus bersabar hingga 8 tahun lagi!! Bahkan, tidak menuntup kemungkinan, masa whaiting list ini akan lebih lama lagi, bila pendaftar terus bertambah.

Selain tentang "masa tunggu", ternyata jamaah haji dari berbagai negara di tanah suci juga membludak. Tahun 2010 lalu, sekitar 4.1 juta orang berwukuf di Arafah. Bisa dibayangkan betapa padatnya Padang Arafah. 1-2 minggu menjelang wukuf, Masjidil Haram seakan penuh sesak dengan jamaah. Setiap usai shalat fardlu, lautan manusia seakan memenuhi jalanan al-Haram. Sesak, padat, ramai seperti saat thawaf ifadhah.


Karena itu, jika kita terlambat datang ke Masjidil-Haram, walhasil lantai 1 akan ditutup dan kita diarahkan naik ke lantai 2. Jika lantai 2 penuh, kita diperintah oleh para askar untuk naik ke lantai 3. Jika semua penuh, kita harus rela shalat di pelataran masjid hingga meluber ke jalanan dan pertokoan yang di sekitar al-Haram. Dengan kata lain, kesempatan untuk bisa shalat tepat di area thawaf sambil menatap Ka'bah, semakin tahun semakin sulit karena faktor kepadatan jamaah haji. Momen untuk bisa shalat mustaqbila "Baitullah" makin sulit, walaupun kita ada di sekitar al-Haram.

Itu masih masalah kesempatan untuk shalat fardlu berjamaah di Masjidil Haram yang derajatnya lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lain. Belum lagi tentang kesempatan untuk bisa shalat di Hijir Ismail, berdoa di Multazam, dan yang paling sulit adalah mencium Hajar Aswad. Kesempatan untuk bisa ke tempat-tempat mustajabah ini tidak mudah. Perlu perjuangan. Harus berebut dan berdesak-desakan. Itupun masih belum ada jaminan, kita bisa melenggang mudah ke sana.

Termasuk juga saat di Madinah. Kesempatan untuk bisa shalat 2 rakaat saja di Raudah, amat sulit dan harus antri. Demikian juga ketika akan berziarah ke makam Rasulullah saw, mau tidak mau kita harus berbaris dan badan kita terhimpit oleh jamaah lain yang juga berebut untuk bisa beruluk salam kepada Sang Baginda saw.

Jika usia seorang jemaah haji telah mencapai masa udzur atau kesehatannya tidak prima, maka dapat dipastikan, ia akan kesulitan untuk bisa mencium Hajar Aswad, shalat di Hijir Ismail, berdoa di Multazam, Raudhah dan sebagainya. Jika usia, kesehatan, dan biaya tidak mendukung, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk bisa berumrah sunnah berkali-kali, baik dari Tan'im maupun Ji'ranah. Ia juga akan kesulitan mendaki Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Jabal Nur dan masuk ke Gua Hira' dan masih banyak lagi lokasi bersejarah yang barangkali akan sulit dituju oleh orang yang fisiknya tidak mampu.

Berbeda dengan tahun 1994. Kini, saya melihat bukit Sofa telah dipagari sehingga bagi yang ingin bersai tidak akan bisa mendaki ke sana. Wilayah sumur Zamzam juga sudah ditutup sehingga kita tidak tahu dimana tepatnya letak sumur bersejarah itu. Saya melihat, boleh jadi di tahun-tahun mendatang, ketika jumlah jamaah haji telah membludak, Hijir Ismail dan Raudhah juga akan dilarang untuk dimasuki demi menghindari korban jiwa akibat berdesak-desakan. Demikian juga dengan Hajar Aswad, Multazam, dan tempat bersejarah lainnya. Inilah yang saya maksud, mahalnya kesempatan berada di lokasi mustajabah dan bersejarah!!

Berada di tanah suci, hati dan pikiran selalu diliputi kalimat, "Maksimalkan ibadahmu, boleh jadi, inilah kesempatanmu yang terakhir untuk bisa ke tanah suci". Kalimat ini seakan terus terngiang sehingga melahirkan power dan membakar semangat untuk terus memperbaiki amal ibadah.

Apabila Nabi Muhammad saw pernah bersabda, "Lakukan untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan kau mati esok", maka penghayatan hadis itu seakan lebih terasa mudah saat berada di tanah suci. Tapi sayang, untuk terus beristiqamah menghayatinya setelah pulang ke tanah air, amat sangat sulit dan berat.

Ini artinya, bagaimanapun juga, hidup berjauhan dari Ka'bah (Mekah) dan Makam Nabi Muhammad saw (Madinah) tidaklah sama dengan ada dan berdekatan di sana. Belajar dari penghayatan terhadap mahalnya harga sebuah kesempatan, maka sebenarnya hidup kita ini sungguh bernilai dan bermakna. Di setiap hembusan nafas, kedipan mata, lontaran kata, sentuhan tangan dan langkah kaki, di sana ada tanggungjawab besar dan makna mendalam. Entah, apakah kita bisa mensyukurinya ataukah tidak? Yang pasti, sekali lagi, kesempatan apapun belum tentu datang untuk kedua kalinya. Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar