Hingga hari ini, meski rapat dengar pendapat oleh anggota DPR RI tentang kasus Ahmadiyah telah berlangsung, namun pemerintah belum memutuskan apapun tentang status Ahmadiyah. Apakah jamaah yang telah difatwakan sesat oleh MUI dan ormas-ormas Islam itu dilarang ataukah tidak?
Terlepas dari kasus penganiayaan terhadap jamaah Ahmadiyah yang hampir terus-menerus terjadi, maka sepatutnya pemerintah segera mengambil keputusan. Apabila dibiarkan berlarut-larut, sangat dikhawatirkan timbul gejolak yang lebih besar. Gejolak itu bukan hanya ancaman "revolusi" ala FPI, atau intimidasi sekelompok ormas di daerah-daerah terhadap jamaah Ahmadiyah. Tapi, yang lebih besar dari itu adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menangani masalah demi masalah.
Kasus penyerangan kaum bersarung terhadap pesantren YAPI yang beraliran "syiah" di Bangil, Pasuruan adalah bagian dari akumulasi kekesalan masyarakat terhadap munculnya aliran yang mereka nilai sesat. Padahal, di Indonesia sendiri, banyak muncul aliran sesat yang bukan hanya menistai agama Islam saja, tapi di Kristen pun juga muncul hal yang sama.
Fenomena aliran sesat yang meluas di Indonesia ini, jelas akan menjadi pemicu munculnya tindakan main hakim sendiri di antara warga negara. Maka dari itu, jika satu aliran saja -dalam hal ini Ahmadiyah- belum diputuskan statusnya oleh pemerintah, maka akibatnya sudah dapat ditebak, yakni rakyat akan bertindak semaunya atasnama agama dan keyakinannnya masing-masing.
Jika pemerintah, terutama kementerian agama, jaksa agung dan kementerian dalam negeri masih ngotot mempertahankan SKB 3 Menteri yang dalam tataran implementatif sudah terbukti tidak efektif, itu artinya perlu ada keputusan baru yang lebih jelas dan tegas.
Selama ini, melalui keputusan 3 menteri itu, status Ahmadiyah masih belum bisa dipahami. Statemen yang berbunyi: "Jemaah Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya kepada pihak lain", tapi jemaah itu sendiri tidak secara transparan "dilarang" oleh pemerintah, atau tidak dinyatakan "keluar dari Islam" karena telah menistakan agama. Pemerintah juga tidak menjelaskan sanksi-sanksi yang harus diterima jemaah Ahmadiyah bila terus beraktifitas dan berdakwah.
Sebuah keputusan yang ngambang dan jelas tidak tegas. Di satu sisi tidak boleh menyebar, tapi di sisi lain tidak dilarang atau tidak diatasi secara lugas. Bila diumpamakan, Ahmadiyah ini sebenarnya hanya jerawat ataukah tumor? Sebuah jerawat (baca: aliran menyimpang), bila ia dibiarkan, asal tidak menyebar, boleh jadi tidak masalah bagi orang yang kurang menjaga performance dirinya. Tapi, jika jerawat itu makin hari makin banyak, maka jelas akan mengganggu dan perlu ditangani secara serius. Lain halnya dengan tumor. Sebelum tumbuh besar dan ganas, menurut medis harus segera dioperasi dan dibersihkan hingga ke akar-akarnya.
Boleh jadi, pada awalnya Ahmadiyah hanya dianggap jerawat biasa. Tapi, tanpa disadari dan diketahui, ternyata Ahmadiyah adalah tumor yang membahayakan. Beberapa negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Pakistan, dan negara lainnya telah melarang Ahmadiyah. Bahkan, secara historis, ormas-ormas Islam di Indonesia sejak dulu juga telah menyatakan bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan.
Itu artinya, pemerintah yang sadar atas penyakit kronisnya, pasti akan bertindak cepat. Berbeda dengan Indonesia. Pemerintahan RI masih bingung dalam mengambil keputusan. Jika tidak dilarang, pemerintah terancam direvolusi oleh ormas-ormas Islam yang selama ini mengedepankan langkah ofensif. Jika dilarang, pemerintah juga terancam melanggar undang-undang dasar yang sedari awal menetapkan bahwa pemerintah akan menjamin warganya memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing.
Intinya, pemerintah didesak untuk segera mengambil keputusan tentang status Ahmadiyah antara dibiarkan atau dilarang. Titik!! Hanya saja, dalam pengambilan keputusan, pemerintah RI tidak boleh berdasarkan tekanan dari pihak manapun. Sebab, pemerintah tidak boleh dikalahkan oleh ormas dan sekelompok orang yang mengancam atau mengendalikan roda pemerintahan.
Terlepas dari kasus penganiayaan terhadap jamaah Ahmadiyah yang hampir terus-menerus terjadi, maka sepatutnya pemerintah segera mengambil keputusan. Apabila dibiarkan berlarut-larut, sangat dikhawatirkan timbul gejolak yang lebih besar. Gejolak itu bukan hanya ancaman "revolusi" ala FPI, atau intimidasi sekelompok ormas di daerah-daerah terhadap jamaah Ahmadiyah. Tapi, yang lebih besar dari itu adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menangani masalah demi masalah.
Kasus penyerangan kaum bersarung terhadap pesantren YAPI yang beraliran "syiah" di Bangil, Pasuruan adalah bagian dari akumulasi kekesalan masyarakat terhadap munculnya aliran yang mereka nilai sesat. Padahal, di Indonesia sendiri, banyak muncul aliran sesat yang bukan hanya menistai agama Islam saja, tapi di Kristen pun juga muncul hal yang sama.
Fenomena aliran sesat yang meluas di Indonesia ini, jelas akan menjadi pemicu munculnya tindakan main hakim sendiri di antara warga negara. Maka dari itu, jika satu aliran saja -dalam hal ini Ahmadiyah- belum diputuskan statusnya oleh pemerintah, maka akibatnya sudah dapat ditebak, yakni rakyat akan bertindak semaunya atasnama agama dan keyakinannnya masing-masing.
Jika pemerintah, terutama kementerian agama, jaksa agung dan kementerian dalam negeri masih ngotot mempertahankan SKB 3 Menteri yang dalam tataran implementatif sudah terbukti tidak efektif, itu artinya perlu ada keputusan baru yang lebih jelas dan tegas.
Selama ini, melalui keputusan 3 menteri itu, status Ahmadiyah masih belum bisa dipahami. Statemen yang berbunyi: "Jemaah Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya kepada pihak lain", tapi jemaah itu sendiri tidak secara transparan "dilarang" oleh pemerintah, atau tidak dinyatakan "keluar dari Islam" karena telah menistakan agama. Pemerintah juga tidak menjelaskan sanksi-sanksi yang harus diterima jemaah Ahmadiyah bila terus beraktifitas dan berdakwah.
Sebuah keputusan yang ngambang dan jelas tidak tegas. Di satu sisi tidak boleh menyebar, tapi di sisi lain tidak dilarang atau tidak diatasi secara lugas. Bila diumpamakan, Ahmadiyah ini sebenarnya hanya jerawat ataukah tumor? Sebuah jerawat (baca: aliran menyimpang), bila ia dibiarkan, asal tidak menyebar, boleh jadi tidak masalah bagi orang yang kurang menjaga performance dirinya. Tapi, jika jerawat itu makin hari makin banyak, maka jelas akan mengganggu dan perlu ditangani secara serius. Lain halnya dengan tumor. Sebelum tumbuh besar dan ganas, menurut medis harus segera dioperasi dan dibersihkan hingga ke akar-akarnya.
Boleh jadi, pada awalnya Ahmadiyah hanya dianggap jerawat biasa. Tapi, tanpa disadari dan diketahui, ternyata Ahmadiyah adalah tumor yang membahayakan. Beberapa negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Pakistan, dan negara lainnya telah melarang Ahmadiyah. Bahkan, secara historis, ormas-ormas Islam di Indonesia sejak dulu juga telah menyatakan bahwa Ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan.
Itu artinya, pemerintah yang sadar atas penyakit kronisnya, pasti akan bertindak cepat. Berbeda dengan Indonesia. Pemerintahan RI masih bingung dalam mengambil keputusan. Jika tidak dilarang, pemerintah terancam direvolusi oleh ormas-ormas Islam yang selama ini mengedepankan langkah ofensif. Jika dilarang, pemerintah juga terancam melanggar undang-undang dasar yang sedari awal menetapkan bahwa pemerintah akan menjamin warganya memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing.
Intinya, pemerintah didesak untuk segera mengambil keputusan tentang status Ahmadiyah antara dibiarkan atau dilarang. Titik!! Hanya saja, dalam pengambilan keputusan, pemerintah RI tidak boleh berdasarkan tekanan dari pihak manapun. Sebab, pemerintah tidak boleh dikalahkan oleh ormas dan sekelompok orang yang mengancam atau mengendalikan roda pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar