19 Februari 2011

Tegas dan Pasti untuk Ahmadiyah

 

Melihat sidang di DPR tentang Ahmadiyah, meski sepintas melalui layar kaca, ada satu semangat demokratis yang hendak dibangun di negara ini, yakni semangat menyelesaikan suatu perkara atau masalah melalui jalur musyawarah.

Saya kira, model penyelesaian masalah semacam ini merupakan bagian dari cara-cara bijak. Meski agak terlambat, tapi bagaimana pun juga, duduk bersama dengan cara dialog tanpa emosi merupakan langkah maju di negara ini. Boleh jadi, metode semacam ini adalah bagian dari penerapan sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan".

Dengan menghadirkan narasumber yang kompeten dan pihak-pihak yang bertikai, maka hal ini merupakan sikap dewasa dalam berpikir dan bertindak. Semua dipersilahkan berdebat atau bermujadalah, tapi bil-lati hiya ahsan atau dengan cara terbaik. Dengan begitu, publik bisa tahu tentang apa sih sebenarnya keyakinan Ahmadiyah itu? Benarkah mereka menistakan agama, seperti: mengakui adanya rasul lain setelah Nabi Muhammad saw? Apakah memang rekrutmen anggota oleh Jamaah Ahmadiyah itu merisaukan warga setempat? Dan lain sebagainya.

Sebaliknya, dari pihak MUI atau ormas Islam yang telah mengeluarkan fatwa sesat dan merekomendasikan bahwa Ahmadiyah harus dilarang hidup di Indonesia, juga bisa memberikan alasan atau argumen yang kuat. Seberapa sesat tingkat keyakinan Jamaah Ahmadiyah? Apa yang melandasi fatwa itu sehingga Ahmadiyah perlu dilarang? Apakah fatwa itu yang menjadi bomerang lahirnya tindakan anarkisme? Dan sebagainya.

Demikian juga dari beberapa ormas Islam yang selama ini sering melakukan tindakan brutal dan pengrusakan, mereka pun perlu dipanggil untuk dimintai keterangan tentang alasan mereka melakukan itu? Siapa penggeraknya? Apakah kelakuan mereka itu memang dibenarkan dalam pandangan agama yang mereka yakini dan juga dalam tataran hukum negara? Apakah "suara-suara revolusi" yang mereka teriakkan itu merupakan ancaman terhadap integritas negara? Jika hal itu mengancam negara, perlukah mereka juga ditindak secara hukum?

Melihat polemik dan perdebatan tentang Ahmadiyah di atas, sepelik dan serumit apapun permasalahan ini, bila masih disikapi dengan "kepala dingin" dan melalui dialog, maka hal itu merupakan langkah maju dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Meski demikian, tapi satu hal lagi yang paling penting, yakni kasus ini harus segera dituntaskan! Harus ada keputusan: apakah Ahmadiyah itu dibubarkan atau dilabeli sebagai agama baru di Indonesia "Agama Ahmadiyah" dengan melarang aktivitas jamaah untuk memakai atribut-atribut Islamuntuk selama-lamanya?

Ataukah, kasus ini kembali hanya dibiarkan mengambang seperti point-point yang tertuang dalam SKB tiga menteri yang sudah nyata-nyata tidak efektif. Buktinya, aktivitas penyebaran ajaran Ahmadiyah masih terus berlangsung dan tindakan main hakim sendiri oleh massa yang anti Ahmadiyah juga tak pernah tobat?

Dengan kata lain, jika keputusan yang nanti dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan status Ahmadiyah tidak berakhir pada jawaban terhadap pertanyaan: "Apakah Ahmadiyah terlarang di Indonesia ataukah tidak terlarang"?, maka berarti pemerintah tidak tegas dan tidak mampu lagi mengayomi umat beragama di Indonesia.

Selama Ahmadiyah tidak diputus secara jelas antara iya dan tidak, maka kasus berbau SARA seputar konfik Ahmadiyah, akan terus terjadi. Dan, konflik semacam ini akan mudah diletupkan oleh pihak-pihak ketiga yang ingin memancing ikan di air yang keruh untuk mengalihkan isu-isu atau kasus-kasus besar yang mengancam mereka.

Dengan kalimat sederhana, jika pemerintah tidak tegas bertindak antara melarang atau memperbolehkan Ahmadiyah eksis di Indonesia, maka berarti pemerintah telah membiarkan konflik antar umat beragama menjadi kendaraan politik bagi pihak lain yang ingin membuat kerusuhan berskala besar. Itu artinya, umat beragama kembali akan menjadi korban atas kepentingan-kepentingan tertentu. Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar