Serentetan problem politik dan pemerintahan yang kini bergelojak menuju perubahan di beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim, memang patut menjadi perhatian serius. Saya memandang bahwa di era milenium ini, akan muncul "Dunia Islam" yang baru. Harapan kita semua, perubahan itu mengarah pada kemajuan dan kemaslahatan di masa depan.
Dahulu, alam berpolitik masih bernuansa "teologi" yang mana kepala pemerintahan dipandang sebagai “wakil tuhan” di bumi. Segala keputusan raja adalah titah yang wajib diikuti rakyatnya, meski bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak berpihak kepada keadilan serta kesejahteraan bersama. Pada masa-masa itu, tidak sedikit roda pemerintahan di sebuah kaum lebih bercorak otoriter dan tirani besi.
Setelah itu, seiring dengan gerakan renaissance di Eropa dan perkembangan sains dan teknologi, muncul kesadaran bersama yang bermuara pada kekuasaan bersama. Lalu, suara demokrasi pun mengemuka. Sistem pemerintahan tidak lagi didominasi oleh perorangan atau berdasarkan keturunan. Nepotisme menjadi musuh bersama yang harus digerus, bila demokrasi ingin ditegakkan.
Demokrasi adalah ruh kekuasaan yang berasaskan kepada kekuasaan bersama sehingga segala hal menjadi milik bersama dan untuk kepentingan semua. Hanya saja kemudian, kebersamaan itu pun tidak sepenuhnya terwujud sehingga kepentingan yang diusung adalah kepentingan bersama yang terbatas kepada kelompok dan partainya sendiri. Dalam keadaan seperti ini, demokrasi yang sejatinya bertujuan mulia menjadi tercoreng oleh keserakahan dan keinginan berkuasa selama-lamanya.
Akhirnya, demokrasi pun kembali menjadi teokrasi. Kekuasaan kepala pemerintahan bak raja yang ma'shum dan tidak tersentuh oleh hukum. Presiden yang memiliki perdana menteri dan mengaku sebagai penegak demokrasi, pada hakikatnya adalah raja. Ia hanya simbol yang secara teknis tidak banyak bekerja kecuali memproteksi diri dari lawan-lawan politiknya sembari menikmati kekayaan negara yang tiada habisnya.
Demikian pula dengan sistem parlementer. Kepala negara yang menguasai parlemen menjadi "manusia setengah dewa" karena ia diproteksi oleh wakil-wakil rakyat di parlemen yang selalu mendukung sang presiden tanpa peduli benar atau salah. Yang penting, kadernya berkuasa dan kelompoknya tetap bisa duduk manis di kursi pemerintahan.
Dengan begitu berarti, pemerintahan parlementer telah melahirkan presiden sebagai manusia dewa dan wakil rakyat sebagai raja-raja kecil yang sanggup bermain politik yang dibeking mafia-mafia yang dengan mudahnya mempermainkan hukum. Siapa yang menjadi korban? Jelas, rakyatlah yang menjerit dan menderita.
Di era teokrasi, rakyat tidak bisa menyampaikan aspirasi dan tuntutan karena "beda kasta" dengan raja, pun demikian di era demokrasi. Wakil-wakil rakyat yang seharusnya menjadi kepanjangan tangan dan lidah rakyat, justru menjadi kaki tangan presiden yang tidak mau tahu terhadap keinginan rakyatnya. Wakil-wakil itu hanya menjadi agen-agen bagi kelompoknya sendiri untuk bersama-sama merampok kekayaan negara dan mendzalimi rakyat lain di luar kelompoknya.
Oleh karena itu, jika saat ini muncul konsep pemerintahan bernama "khilafah" yang mengarah pada kekuasaan bercorak teokrasi, itu berarti sebuah langkah mundur. Konsep itu hanya memandang kulit luar kekuasaan muslim abad pertengahan yang boleh jadi sudah tidak tepat lagi diterapkan di era globalisasi ini. Hal yang hampir sama juga terjadi pada model demokrasi dini yang kini dipuja-puja, akan tapi sebenarnya hanya mengarah pada kekuasaan sepihak dan tidak untuk semua rakyat.
Model-model kekuasaan di negara-negara muslim, baik itu ala kerajaan atau presiden semi raja atau parlementer bayangan, semuanya kini telah mulai tergerus oleh perubahan zaman. Saat ini adalah era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan komunikasi. Fenomena kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang demikian pesatnya semakin meneguhkan kesamaan posisi antara pemimpin dan yang dipimpin.
Boleh jadi, sudah bukan waktunya lagi rakyat harus memilih wakilnya di parlemen, jika sekedar untuk menyampaikan aspirasi. Sebab, aspirasi itu bisa langsung diteriakkan kepada sang pemegang kebijakan (baca: presiden) tanpa harus melalui agen, calo atau mafia di pemerintahan atau parlemen.
Setelah Sudan, Tunisia dan Mesir bergejolak, bisa kita nantikan munculnya "The New Islamic World".
Tidak ada komentar:
Tulis komentar