9 Februari 2011

Provokator Agama

 

Kerusuhan berbau SARA kembali menodai kehidupan umat beragama di negara ini yang sejak awal telah berkomitmen pada "Bhinneka Tunggal Ika". Penyerangan kelompok muslim tertentu terhadap Ahmadiyah di Pandeglang, Banten dan penyerbuan terhadap pengadilan di Temanggung, Jawa Tengah, kedua kasus ini tidak bisa dianggap enteng.

Revolusi berdarah di Tunisia, jika ditelusuri, ternyata bermula dari penggusuran gerobak seorang PKL yang lalu pemiliknya membakar diri. Kejadian itu yang lalu menyulut emosi warga karena dihubungkan dengan rasa ketidakadilan hukum, kemiskinan masyarakat yang merata dan korupsi pejabat yang membabi buta. Penafsiran dan pemahaman ini menjadi senjata bagi pihak-pihak provokator dan mafia untuk menciptakan kerusuhan dalam skala besar.

Jika Tunisia bisa dipecah belah dengan isu kemiskinan, Mesir dikoyak dengan isu politik dan kekuasaan yang tiran, maka bagaimana dengan Indonesia? Apakah isu yang paling mujarab untuk menciptakan kerusuhan dan konflik horisontal di tanah air? Jawabnya cukup mudah. Hal paling rentan untuk mencetuskan kekisruhan adalah Isu SARA. Sebab, warga negara kita terdiri dari berbagai penganut agama dan di setiap agama juga terbagi atas sekte dan madzhab. Secara geografis, negara kita pun terpisah-pisah. Setiap daerah memiliki warna budaya, tradisi dan adat istiadat yang berbeda. Semua keaneka ragaman ini sangat potensial untuk menyulut konflik.

Terlepas dari “Apakah paham Ahmadiyah itu sesat atau menyimpang ataukah tidak? Apakah mereka itu melakukan penistaan agama, penyesatan umat, penodaan ajaran Islam, atau apalah namanya”, tapi yang jelas mereka adalah saudara sebangsa dan se-tanah air. Di mata hukum, mereka harus diperlakukan sama. Mereka harus dilindungi. Sebaliknya, bila melanggar aturan dan telah divonis bersalah, mereka pun harus dihukum.

Sedangkan bagi para pelaku penyerangan, mereka harus ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Terutama, para pimpinan mereka harus diseret dan diperlakukan sama di mata hukum. Aparat harus berani. Pemerintah harus tegas. Bagi siapapun yang terlibat, tanpa peduli mereka kiai, ustadz, atau preman, mereka harus dimeja hijaukan!

Jika pemerintah tidak tegas dalam penegakan hukum dan terkesan tebang pilih, maka hukum rimba yang akan berlaku. Rakyat akan dengan semaunya sendiri main hakim sendiri. Atasnama agama atau atasnama hukum, sekelompok orang dengan bebasnya mendzalimi orang lain, tanpa rasa berdosa sedikitpun. Selama ini, pemerintahan SBY memang lekat dengan politik “tebar pesona” dan “pencitraan diri”. Di setiap kasus besar yang muncul ke permukaan, pemerintah selalu melakukan akrobat politik, misalnya dengan membentuk satgas, memunculkan instruksi khusus, dan lain sebagainya.

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat harus serius menangani dan mengawal kasus SARA ini. Tidak sekedar membuat Hak Angket atau dagelan politik lainnya yang justru "melemahkan" pemerintah. DPR RI tidak perlu ikut-ikut tebar pesona untuk kepentingan politik dan Pemilu 2014. Kini saatnya segera bertindak dan bekerja.

Kementerian Agama RI juga harus segera menentukan sikap dan menghasilkan sebuah keputusan yang jelas tentang identitas atau status Ahmadiyah, meski tentang hal ini saya sendiri masih kurang sepakat, sebab itu berarti negara telah ikut campur dalam wilayah agama. Namun, karena banyak pihak yang menginginkan kejelasan tentang status Ahmadiyah dan itu sudah dikait-kaitkan dengan hukum positif, maka mau tidak mau, Kemenag RI harus tegas. Segera putuskan, “Apakah Ahmadiyah itu termasuk gerakan yang membahayakan stabilitas negara sehingga harus dilarang?”. Pertanyaan ini mendesak untuk dijawab.

Jika Ahmadiyah, misalnya, telah diputuskan sebagai gerakan, organisasi, atau sekte terlarang, maka langkah berikutnya, Kemenag dan Pemerintah juga harus melakukan hal yang sama terhadap ormas-ormas atau gerakan keagamaan lain yang berpotensi merugikan dan membahayakan kehidupan umat beragama, semisal FPI, MMI, dan masih banyak lagi. Kelompok-kelompok yang selama ini membuat keributan dan menimbulkan konflik SARA dari agama dan madzhab apa pun di Indonesia, harus dievaluasi dan diperingatkan secara keras.

Sekali lagi, bila pemerintah dan aparatnya tidak bertindak tegas kepada kelompok-kelompok yang bisa saya sebut dengan “Provokator Agama” ini, maka itu artinya negara ini telah lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali keprihatian, pemberian bantuan terhadap korban dan ungkapan bela sungkawa saja.

Sebelum bisul tumbuh subur, warga negara Indonesia berharap, borok-borok yang dilakukan para provokator agama yang telah melakukan tindakan SARA atasnama Tuhan atau atasnama apa pun juga, mereka harus diamputasi dengan segera sebelum luka itu menjalar ke seluruh tubuh. Fitnah yang sedang melanda negara-negara Arab, harus segara dicegah untuk tidak terjadi di negeri kita tercinta ini. Dan, pintu penyulut dan penebaran “fitnah” di Indonesia adalah segala hal yang berbau SARA.

Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar