"Kira-kira, bagaimana metode ditempuh Rasulullah saw dalam  mengajarkan al-Quran kepada para sahabatnya?". Melalui pertanyaan ini,  terbersit inspirasi untuk kembali menggali teknik pengajaran al-Quran  ala Nabi yang terbukti efektif diterapkan pada 14 abad yang lalu.
Untuk  menjawab persoalan ini, ternyata tidak mudah. Diperlukan kajian  historis untuk mendeskripsikan metode itu dan yang tidak kalah  pentingnya adalah perlu eksperimen agar bisa diimplementasikan di era  sekarang. Mengingat, metode pengajaran al-Quran -saat ini- begitu  beragam, baik dari aspek nama, strategi, teknik, materi dan lain  sebagainya.
Kita tahu, ketika itu al-Quran masih belum  dihimpun dalam satu mushaf. Rasul mengajarkan al-Quran secara step by  step karena memang ayat-ayat yang diwahyukan Allah juga turun  berangsur-angsur. Itupun, secara sistematik, ayat-ayat yang turun juga  masih acak. Hari ini turun satu surah pendek, besok turun sepenggal  ayat, bulan depan turun lagi beberapa ayat di surah berbeda, dan  sebagainya.
Sifat "tadriij" atau berangsur-angsur ini juga  tidak lepas dari proses dialektika al-Quran saat merespon peristiwa,  pertanyaan atau situasi dan kondisi ketika itu, sehingga sangat masuk  akal jika al-Quran turun secara acak dan tema wahyu yang datang pun amat  relevan dibutuhkan dengan situasi dan kondisi.
Ketika  beberapa ayat diturunkan, Rasulullah saw langsung membacakannya di  hadapan para sahabat. Mereka semua pada awalnya menyimak, lalu menirukan  pelafalan kata demi kata atau ayat demi ayat. Nabi membaca, para  sahabat menirukan. Dengan proses semacam ini, berarti terjadi proses  talqin, yakni guru membaca atau melafalkan, murid menirukan bacaan  gurunya. Hebatnya lagi, meski ayat-ayat itu -dalam sebuah riwayat  dijelaskan- untuk ditulis sesuai perintah Nabi, namun para sahabat yang  mayoritasnya adalah buta aksara alias tidak bisa baca-tulis, mereka  langsung mampu menirukannya. Dengan kata lain, ada proses menghafal.
Yah,  ketika tehnik talqin tadi diterapkan tanpa seorangpun membaca tulisan,  berarti tujuan utama pengajaran al-Quran adalah menghafal. Jadi, membaca  al-Quran di masa Nabi adalah melafalkan sekaligus juga menghafalkan.  Karena itu, tidak salah bila para sahabat banyak yang hafal al-Quran.  Sungguh luar biasa meski tanpa teks dan al-Quran masih belum  terkodifikasi secara sempurna, namun para sahabat mampu menghafalnya.
Mengapa  model pengajaran al-Quran ala Nabi tersebut berhasil? Perlu dipahami  bahwa ternyata, modal utama keberhasilan itu adalah adanya semangat dari  guru dan murid saat proses belajar-mengajar. Dalam al-Quran surah  Maryam dijelaskan, bagaimana sikap para umat terdahulu saat dibacakan  al-Quran. Mereka kharru sujjadan wa bukiyyan, artinya mereka  mensikapinya dengan sujud dan menangis tatkala ayat demi ayat dibacakan  atau diperdengarkan. Mereka begitu antusias, terkesima, bahagia dan  menyambutnya dengan penuh semangat.
Karena faktor psikis  yang begitu luar biasa, maka tidak mengherankan bila mereka lebih mudah  memahami, membaca dan menghafal al-Quran. Lebih jauh lagi, mereka bahkan  antusias mengamalkan kandungan ayat yang mereka pelajari. Dari sini,  dapat disimpulkan bahwa pengajaran dengan model apapun, sebenarnya  kembali kepada antusiasme para penuntut ilmu. Ketika mereka mencintai  al-Quran, mereka akan mudah mempelajarinya, apalagi untuk sekedar  membaca atau menghafal. Bukankah Allah telah berjanji, "Sungguh telah  Aku permudah al-Quran untuk diingat, adakah yang mau mengingatnya?".
Bila  dianalogikan dengan realitas saat ini, ayat-ayat al-Quran yang turun  secara berangsur-angsur itu, yang lalu disambut dengan antusias oleh  para sahabat, mereka mendengar, melafalkan, mengulang-ulang hingga  hafal, kondisi itu hampir mirip dengan munculnya lagu baru saat ini.  Tatkala sebuah grup band terkenal merilis lagu atau album baru, maka  penggemarnya antusias menyambut, menirukan, melafalkan hingga mampu  mendendangkannya meski tanpa teks. Meski mereka tidak paham tentang  maksud syairnya, tapi mereka cepat bisa melafalkan dan menghafalkan.
Faktor  kedua setelah rasa cinta atau antusiasme di atas, adalah pemahaman para  sahabat terhadap isi al-Quran. Sebab, al-Quran diturunkan dengan bahasa  yang paling fasih di dunia, yakni bahasa Arab. Sedangkan para sahabat  adalah orang-orang Arab sehingga mereka pun jauh lebih mudah dalam  memahami ayat. Pemahaman terhadap makna dan faktor ekstrinsik lainnya  terkait asbabun nuzul dan konteks yang ada, merupakan nilai lebih yang  mendukung keberhasilan pengajaran al-Quran di masa Nabi.
Para  sahabat tidak sekedar didesain untuk mampu membaca dan menghafal  al-Quran, tapi mereka memang dididik oleh Nabi untuk mencapai tujuan  utama, yakni mengamalkan dan mendakwahkan kandungan al-Quran secara  total.
Hal lain yang juga perlu dimengerti adalah bahwa  masa belajar al-Quran di era Nabi memang lama. 23 tahun yang terbagi  atas 2 periode; 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Oleh karena  itu, bila kini ramai terdengar program "one day one ayat", saya kira  program itu cukup bagus diterapkan untuk pengajaran al-Quran. Bagi  kalangan dewasa yang telah mengerti huruf dan bisa melafalkannya meski  tidak fasih, mereka akan lebih antusias bila disuguhkan model pengajaran  al-Quran yang komprehensip
Maksudnya, setelah  diperdengarkan satu-dua ayat, mereka melafalkan berulang-ulang hingga  hafal, lalu setelah itu kandungan makna dan tafsir ayatnya dijelaskan  secara singkat. Hati mereka harus diketuk dan disadarkan, bahwa ketika  mereka mengaji atau mengikuti proses belajar adalah waktu paling indah  sepanjang hidupnya sebab saat itu adalah saat dimana Allah berkomunikasi  dengan mereka melalui ayat-ayat al-Quran yang kini sedang dibacanya.
Nah,  ketika secara psikologis tumbuh kesadaran bahwa "mengaji al-Quran"  adalah kesempatan berkomunikasi dengan Allah, maka pada akhirnya mereka  akan terus menantikan kapan pelajaran al-Quran dimulai? apakah gerangan  ayat (pelajaran) dari al-Quran yang hendak Allah berikan hari ini? dan  seterusnya. Kerinduan dan antusiasme semacam ini adalah faktor utama  keberhasilan pendidikan qur'ani.
"Al-Quran Qodim wahyu minulyo / Tanpo dinulis iso diwoco / Iku wejangan guru waskito / Den tancepake ing jero dodo......".
 

 
 




Tidak ada komentar:
Tulis komentar