Segala sesuatu pasti ada batasnya. Karenanya, seseorang yang usai melalui satu tahapan dan hendak menuju tahapan berikutnya, sering merasa bingung dan bertanya-tanya, "Setelah ini, lalu bagaimana? Kemana?". Di dunia pendidikan formal, tahapan itu disebut jenjang pendidikan.
Setelah PAUD dan TK, lalu SD/MI, SMP/MTs, SMU/SMK/MA, diteruskan ke Perguruan Tinggi yang terdiri dari Strata S1 (Sarjana), S2 (Magister) dan S3 (Doktor). Jika tahapan itu ditempuh secara lancar tanpa halangan, kurang lebih memakan waktu 25-30 tahun. Jadi, jika anak masuk TK di usia 5 tahun, kelak saat ia berusia 35 tahun telah bergelar doktor dan boleh jadi, pada usia 40 tahun bisa meraih gelar Guru Besar atau Profesor.
Kalkulasi di atas, jelas masih di atas kertas. Kenyataannya, lebih banyak meleset. Tidak semua anak berkesempatan meneruskan pendidikan formalnya disebabkan banyak hal. Keterbatasan ekonomi dan kemauan keras adalah kendala utama mengapa tidak semua anak bisa melalui semua tahapan itu. Putus sekolah, berhenti di tengah jalan, istirahat dulu, keinginan membina rumah tangga, tuntutan kerja, dan sebagainya merupakan penghambat bisa tidaknya tahapan itu ditempuh.
Biasanya, setelah anak lulus dari TK dan SD, orang tua yang lebih bingung mencari lembaga pendidikan yang tepat untuk putra-putrinya. Lain halnya ketika anak lulus dari sekolah tingkat menengah (SMU/MA), saat itu anak yang lebih kebingungan antara pilihan meneruskan sekolah atau tidak, bekerja atau menikah, dan sebagainya. Namun, yang lebih bingung lagi adalah saat anak telah lulus sebagai sarjana. Tuntutan berkarier, hidup mandiri, idealisme tinggi, dan sebagainya makin membuatnya kebingungan. Jelas, semua alumnus PT tidak mau disebut "Sarjana Pengangguran".
Itu artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang, makin tinggi pula tuntutan dan tanggung jawab yang harus ia emban. Hanya saja masalahnya, semakin tinggi tingkat pendidikan yang telah dilalui, ternyata tidak setiap orang mampu memilih dan menentukan jalan hidupnya. Meski ia telah bergelar sarjana dan menguasai spesifikasi bidang tertentu, namun anehnya ia tidak tahu harus berbuat apa dengan seabrek ilmu pengetahuan dan keterampilan yang selama ini ia pelajari.
Bila demikian, berarti ada kesalahan di sini. Tapi, siapa yang patut dipersalahkan? Si anak, orang tua, pemerintah, masyarakat, atau mungkin keadaan lain di sekelilingnya? Tidak bijak rasanya mengkambing hitamkan pihak lain, meski secara sistemik, langsung maupun tidak langsung, telah mengakibatkan ketidak-jelasan dan kebingungan di saat peserta didik lulus dari sekolah.
Namun, jika diruntut lebih serius, maka pihak sekolah yang seharusnya berbenah diri dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak asuhnya. Bila alumnusnya kebingungan setelah lulus, padahal sekolah telah membekalinya dengan segudang mata pelajaran, maka sama saja bekal itu belum cukup untuk mereka.
Atau, jangan-jangan bekal yang dijejalkan di bangku sekolah selama ini adalah seperangkat pengetahuan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh mereka. Jika realitas ini yang terjadi, berarti ada malapraktek besar di tubuh lembaga-lembaga pendidikan formal sehingga pasca kelulusan, peserta didik justru seperti orang yang tidak berpendidikan.
Akan datang suatu zaman, menurut sabda Nabi, ilmu pengetahuan dicabut oleh Allah. Sangat boleh jadi, prediksi Nabi ini telah terealisasi. Melihat, begitu banyak sekolah, perguruan tinggi, alumnus yang berpendidikan dengan spesifikasi bidang ilmu tertentu, tapi justru ia tidak bisa berbuat apa-apa sesuai bidangnya. Dalam dunia pesantren, keadaan semacam ini, sering disebut "ilmunya tidak bermanfaat". Wal-Iyadzu Billah.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar