26 Maret 2011

Anakku Sekolah Dimana?

 

Seorang teman dosen sempat kebingungan memilih sekolah yang tepat untuk putri satu-satunya yang sudah berumur 5 tahun. Ia bertanya kepada saya, "Menurut sampeyan, dimana sekolah yang paling maju di kota ini?".

Saya pun agak bingung juga menjawab pertanyaan singkat ini. Sebab, ukuran maju tidaknya sekolah, harus lebih dahulu dirumuskan. Apa tolak ukurnya dan menurut siapa sekolah itu disebut maju? Hal ini penting karena kemajuan sekolah saat ini, lebih sering dilihat dari aspek fasilitas, label akreditasi, biaya pendaftaran dan SPP bulanan yang mahal, gedung yang megah, titel para guru, dan sebagainya.

Mungkin, banyak juga orang tua yang sempat kebingungan memilih sekolah yang pas untuk anak-anak mereka. Teman saya itu mengaku bahwa sekolah TK di kampungnya, dari dulu hingga kini, tidak tampak perubahan dan kemajuan yang signifikan. Kasus ini menyadarkan kita, betapa sulitnya menjadi orang tua yang ingin bertanggung jawab terhadap pendidikan anak sehingga dalam hal memilih sekolah pun perlu pertimbangan yang cukup matang. Padahal, sekolah yang dimaksud hanya di level kanak-kanak, belum lagi sekolah dasar, sekolah tingkat menengah dan bahkan perguruan tinggi. Jelas tambah membingungkan!

Kebingungan dan kegelisahan yang dirasakan orang tua ini, saya kira bukan karena mereka minim informasi tentang profil sebuah sekolah. Sebab, nyatanya hampir semua sekolah telah mempublikasikan profilnya, baik melalui pamflet, banner, iklan TV, website, situs jejaring sosial, dan sebagainya. Lebih dari itu, pihak sekolah pun juga menyediakan layanan informasi terbuka dan bahkan online bagi siapapun yang hendak menitipkan anaknya di sekolah tersebut. Lalu, mengapa para orang tua masih kebingungan?

Boleh jadi, karena adanya tuntutan yang besar di berbagai bidang, bayangan tentang kerasnya persaingan di masa depan, tingginya angka pengangguran, catatan tentang kegagalan peserta didik, dan faktor-faktor negatif lain yang itu semua semakin menambah beban orang tua dalam menentukan pilihan mengenai sekolah yang tepat untuk buah hati mereka.

Apapun alasannya, yang pasti kegelisahan dan kebingungan orang tua ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sekolah, makin menipis. Sekolah yang katanya maju dan mahal, terkadang hanya kulitnya saja dan belum terbukti bahwa outputnya benar-benar berkualitas.

Anehnya, telah muncul semacam "paham" bahwa sekolah yang mahal mesti maju. Meminjam istilah bisnis, "Ada uang ada barang". Karena itu, jika para pengelola sekolah ingin lembaganya merebut hati para orang tua, biasanya mereka mendesain ulang sekolahnya menjadi sekolah maju dan modern. Dengan rehabilitasi gedung sekolah, penataan manajemen dan administrasi, peremajaan fasilitas pendidikan, dan reformasi lainnya, lalu berdirilah sekolah dengan wajah baru.

Pencitraan profil sekolah yang maju, akan mudah menarik minat calon wali murid. Dengan embel-embel seperti: terakreditasi, internasional, plus bahasa Inggris dan komputer, diakui ISO, dan sebagainya, maka citra sekolah kian mentereng sehingga para pengelola sekolah tidak sungkan lagi menarget uang pendaftaran, uang gedung atau uang SPP yang mahal sekalipun. Mengapa? Sekolah telah dicitrakan sebagai sekolah yang maju.

Kini, setelah arus informasi kian deras dan para orang tua semakin sadar bahwa citra kemajuan sekolah masih perlu dipertanyakan, akhirnya kebingungan dan kegelisahan tentang "Dimana anakku akan sekolah?" juga masih tetap menghantui mereka. Dengan kata lain, pada akhirnya nanti, maju tidaknya sebuah sekolah, meski telah dicitrakan hebat oleh pengelolanya atau oleh badan akreditasi nasional maupun internasional, tetap saja keputusan akhir ada di tangan masyarakat.

Walaupun "Ada uang ada barang”, sekolah maju mesti mahal, namun dalam hukum ekonomi pun juga ada istilah: "Meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya". Maksudnya, masyarakat secara luas akan masih tetap memilih sekolah yang maju tapi biaya murah. Jika demikian, sanggupkah pemerintah, yang dalam hal ini juga turut bertanggung jawab, menyediakan sekolah yang maju tapi biayanya terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah dan juga masyarakat juga berhak menuntut para pengelola sekolah yang asal menjual citra, tapi kualitasnya jauh panggang daripada api.

Sekolah yang mahal banyak, tapi yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pendidikan para siswanya, dapat dihitung dengan jari.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar