Seorang anak kampung bernama Supri ketemu temannya yang sudah lama menghilang. Katanya sih mondok atau kuliah, tapi entah dimana? Jono, sohib karibnya itu, kini telah berganti nama “Saddam” alias “Khadafi” alias “Somad”. Wo., banyak banget.
Saddam: "Assalamuaikum".
Supri: "Wa'alaikum salam".
Saddam: "Apa kabar, ya akhi fillah?"
Saddam: "Baik. Eh, apaan sih ya akhi fillah itu?"
Jono: "Artinya, saudaraku di jalan Allah".
Saddam: "Bukankah kita semua setanah air ini adalah saudara?".
Saddam tersenyum lantas berkata lantang, "Tidak mesti. Belum tentu semua orang di Indonesia ini bersaudara. Mereka beda agama, beda keyakinan, beda visi-misi. Bahkan, yang muslim pun karena beda garis perjuangan, tidak bisa disebut saling bersaudara".
Supri: "Sampeyan apa ngak salah. Mereka semua adalah saudaraku karena aku dan mereka sama-sama orang Indonesia, termasuk juga kamu. Aku tidak peduli dan tidak mengerti maksudmu".
Saddam menjelaskan, "Begini, ya akhi. Siapapun yang masih menolak ajaran Islam, berarti menentang Allah dan Rasul-Nya. Artinya, siapapun yang tidak menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai dasar hidupnya, berarti ia musuh".
Dengan heran, Supri berujar, "Masak sih. Saya tidak pernah bermusuhan dengan mereka, dan mereka pun saya kira tidak menganggap saya musuh”.
Saddam berkata, “Saya tegaskan, mereka itu musuh Allah, musuh Allah berarti musuh kita. Gitu lho, maksud saya”.
Supri berkata, “Ini nih yang saya malah ngak ngerti. Jangan-jangan sampeyan juga ngak ngerti kalo ternyata sampeyan juga musuh Allah”.
Saddam berkata, “Lha kok kamu malah mencap saya sebagai musuh Allah?”.
Supri menjawab, “Lha iya toh, sama seperti sampeyan, mencap orang lain sebagai musuh Allah. Yang saya tahu, mereka semua hamba Allah, sama-sama manusia dengan kita. Semua adalah hamba Allah”
Saddam berkata, “Benar, semua ciptaan dan hamba Allah, tapi mereka tidak mengerti bahwa Allah itu punya hukum yang harus ditaati. Begitu lho”.
Supri menyela, “Mereka yang tidak mengerti, bukan berarti mereka menolak kan? Lagian, keyakinan seseorang adalah bagian dari pilihan hidupnya. Bukankah perkara hidayah merupakan hak preogatif Allah swt. Itu sih pemahaman saya sebagai orang kampung".
Saddam: "Kamu ini mulai liberal, terpengaruh Barat".
Supri: "Liberal? Apaan lagi itu, kawan. Saya ini orang Indonesia. Saya berkata demikian, karena kita semua sesama warga negara Indonesia. Menurut sampeyan, mungkin saja mereka salah. Tapi, boleh jadi, mereka juga benar. Yang jelas, kita semua sedang dalam proses memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, tidak dalam pengertian sempit. Yang saya pahami, karena kita dan mereka semua adalah orang Indonesia, maka kita saudara. Titik!".
Saddam: "Indonesia lagi, Indonesia lagi! Jangan sok nasionalis-lah kamu ini. Ketahuilah, pemerintahan kita ini adalah pemerintahan thoghut karena tidak menjadikan al-Quran sebagai dasar negara dan menghukum manusia tidak berlandaskan Islam".
Supri: "Thoghut? Apa lagi itu, mas?
Saddam: "Thoghut artinya setan. Yang melawan Allah berarti dia temannya Thoghut, tentaranya setan. Harus dilawan!".
Supri: "Wah, saya kok jadi tambah ngeri ya dengan Islam yang sampeyan bawa ini. Kok tidak sama dengan Islam yang diajarkan guru ngaji di kampung saya. Islam yang saya tahu adalah ajaran yang mengajarkan kedamaian, tidak saling bermusuhan. Pemerintahan kita juga dipimpin orang Islam. Masak mereka kamu sebut teman-teman setan. Mereka itu saudara saya, sebab mereka juga warga negara Indonesia".
Saddam: "Bukan! Pemerintah kita bukan pemerintah Islam meskipun dipimpin orang Islam. Inilah masalah intinya. Hukum kita juga masih bermakmum kepada hukum buatan manusia, bukan hukum Allah. Kita menganut demokrasi ala Amerika sebagai Fir'aun masa kini".
Supri: "Apakah dalam semua hal harus berdasarkan hukum Allah? Apa dalam segala hal telah diatur dalam al-Quran? Lalu, jika kita membuat aturan sendiri, undang-undang sendiri, hukum sendiri, meski itu untuk kemaslahatan bersama namun tidak ada dalilnya, juga salah sehingga kita menjadi teman-temannya Thoghut?".
Saddam, "Jelas. Sekali lagi saya ulangi, siapa yang mengambil hukum selain hukum Allah, maka ia orang kafir dan dzalim yang harus diperangi. Tidak peduli apakah dia presiden, menteri, kiai, polisi, mahasiswa, pedagang, atau siapapun saja, jika mereka tidak menerima hukum Allah sebagai dasar negara dan landasan hidup, maka mereka adalah Thoghut dan musuh Allah yang wajib diperangi!".
Supri: "Wah, banyak benar musuh sampeyan itu. Semua orang kok dimusuhi, apa tidak capek? Apa sih salah mereka? Apa hanya karena dasar negara ini bukan Islam seperti yang kamu inginkan, lalu seluruh isi negara ini kamu musuhi, begitu.
Saddam, "Iya. Para tentara Allah memang sedikit, tapi sanggup mengalahkan mereka".
Supri, "Masak hanya gara-gara semua aturan dan hukum di dunia ini tidak berdasarkan Islam seperti kamu pahami, lalu semua kita cap sebagai musuh. Apa manusia yang hidup di dunia ini, sama sekali tidak boleh membikin aturan sendiri meski untuk kemaslahatan".
Dengan mantap, Saddam menjawab, "Pasti. Manusia tidak boleh membuat aturan sendiri".
Supri berkata, "Okelah. Sekarang saya mau tanya. Apakah aturan lalu lintas yang itu buatan manusia juga kamu sebut aturan kafir karena al-Quran tidak membahas tata terbit lalu lintas? Lalu, apakah prosedur pendaftaran di sekolah atau prosedur apapun yang tidak diatur al-Quran, juga kamu cap kafir? Bagaimana dengan aturan seeting komputer, statuta sepakbola, aturan parpol, AD/ART organisasi, dan sebagainya itu juga kamu sebut kafir, thoghut dan setan, hanya karena tidak ada dalam al-Quran".
Belum sempat Saddam ngomong, kembali Supri berkata, "Tolong, jangan musuhi siapapun yang ada di Indonesia karena kita semua saudara, sesama warga dan satu bangsa. Sejelek apapun saudara kita, ia tetaplah saudara yang tidak harus kita perangi. Jangan-jangan, kitalah yang egois dan mau menang sendiri".
"Jika kamu dan orang-orang sepertimu masih memusuhi saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, maka berarti engkau telah memposisikan dirimu sendiri sebagai musuh kita bersama. Saya bicara seperti ini, karena saya orang Indonesia!", kata Supri, lagi.
Lantas, Saddam menyela, "Mana ghirah-mu terhadap Islam? Mana ruh jihad-mu? Sadarlah, bahwa selama negara ini tidak menjadi negara Islam, pemerintahannya tidak dipimpin secara khilafah dan hukumnya tidak sesuai syariah, maka berarti, secara sistemik, kita berjalan pada kehancuran!".
Supri berkata, "Sampeyan salah besar! Justru, sikap nasionalis ini merupakan output dari ajaran Islam yang saya yakini dan saya pahami. Kecintaan saya terhadap negara ini melebihi apapun juga. Negara yang telah diperjuangkan selama berabad-abad ini, tidak boleh lagi jatuh ke tangan penjajahan atasnama apapun juga, meski itu atasnama agama Islam".
Saddam marah dan berkata, "Awas sampeyan murtad...!!!". Supri pun menimpali dengan kalimat tak kalah kerasnya, "Apa bukan sampeyan yang murtad? Yang jelas, pikiran dan ide-ide sampeyan itu adalah makar atau pemberontakan terhadap negara Indonesia ini".
Saddam berkata, "Saya hanya ingin, negara ini menjadi negara Islam, dasar negaranya Islam, pemerintahannya khilafah dan pranata hukumnya sesuai dengan syariah. Itu saja!!".
Supri berkata, "Kalau kamu tidak puas hidup di sini karena negara ini kamu yakini sebagai negara setan, tolong minggat dari Indonesia. Masih banyak di belahan bumi ini negara yang mungkin cocok dengan kamu. Silahkan kamu pindah kesana. Berperanglah di sana, matilah disana dan saya rela melepasmu pergi dan bahkan mengantarmu hingga ke sana".
Saddam: "Lho, kamu kok jadi lebih marah dan lebih keras dari saya".
Supri: "Iya. Sudah waktunya saya bertindak tegas kepada siapapun yang menawarkan ideologi negara yang baru di atas ideologi negara yang sudah ada. Pihak manapun yang hendak mendirikan negara di dalam negara, sama dengan makar, bughot yang harus dibasmi hingga ke akar-akarnya. Tidak peduli, jenggotnya panjang, dalil-dalinya lengkap, ayat dan hadisnya komplit, jilbab dan jubahnya lebar, lambang dan istilah-istilah yang dipakai berbahasa Arab, dan sebagainya. Jika dia melawan negara dan menyakini anak bangsa ini, berarti ia musuh saya dan musuh seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hati nurani dan rasa nasionalisme".
Saddam berkata, "Oke, saya mau pergi. Tapi, sebelumnya, saya mau bertanya, mengapa sampeyan berubah senekat ini?"
Supri menjawab, "Karena aku Indonesia dan cinta Indonesia, dulu, kini dan sampai mati. Ingat itu!".
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapusbukan bekerja untuk pendirian negara Islam, tapi membumikan Islam di nusantara dan dunia dengan pendekatan "rahmatan lil 'alamin"
BalasHapusjustru si supri tuh yg harus keluar dari bumi ALLAH ini, cari planet lain yg bukan buatan ALLAH
BalasHapus