24 Juli 2009

Roma

 


"Banyak jalan menuju Roma", demikian peribahasa yang sering terdengar. Roma adalah simbol imperium kekaisaran Romawi yang sarat dengan kebesaran, kemuliaan dan tentunya kekayaan yang melimpah. Kekuasaan tanpa tanding dan kesuksesan hidup adalah Roma. Maka, untuk mencapai sukses, banyak cara dan jalan hidup yang bisa dilalui, tanpa harus berputus asa. Inilah kira-kira makna filosofis di balik peribahasa populer itu.

Judul "Roma" dalam tulisan ini bukan tertuju pada kerajaan Sang Alexander The Great di atas. Tapi, Roma di sini adalah kependekatan kata dari "ROmbengan MAlam", sebuah pasar loak yang terhampar di sepanjang trotoar Jalan Jenderal Gatot Subroto, Malang. Di sana, para penjual barang bekas rela bersimpuh menunggu dagangannya di pinggir trotoar jalan sambil diselimuti embun malam. Pasar malam itu baru bisa digelar, apabila para pemilik toko telah menutup tokonya. Mulai jam 20.00 hingga tengah malam.

Jika pikiran sedang suntuk, ingin menghirup udara malam dan merasakan tenangnya kota, maka Roma adalah tempat pelarian yang tepat. Beberapa bulan yang lalu, penjual di sana masih minim. Tapi kini, jumlahnya kian banyak. Pengunjungnya terdiri dari anak-anak muda, dewasa bahkan manula. Para pedagang itu tidak mau jualannya disebut barang second. Mereka lebih enjoy menyebutnya barang antik. Rupanya, argumen ini tidak salah. Sebab, untuk koleksi kaset lawas seperti lagunya Ida Laila, Guns N' Roses hingga Elvis, bisa ditemui di Roma. Soal harga, sangat amat terjangkau dan cocok untuk mereka yang berkantong cekak. Mau ponsel seharga 50 ribuan, sepatu kulit 10 ribu, atau jam tangan yang harganya gojing, semuanya ada.

Begitu nikmat suasana malam kota Malang pada saat saya menelusuri jalanan Roma. Apalagi ditemani sepuntung rokok dan berjaket hangat. Jika lelah, saya bisa jagongan di warung STMJ Klenteng. Saya benar-benar menikmati pemandangan Roma. Para pengunjung juga asyik melihat-lihat koleksi barang murah. Wajah para pedagang loak di sana tampak nriman dengan nasibnya. Banyak pemuda yang jualan apa saja, daripada nganggur dan bergantung pada orang tua. Walau hanya dengan menghampar selembar kain.

Bagi mereka, lebih mulia usaha apa saja yang penting halal daripada mengemis, menipu, memanipulasi apalagi korupsi. Bagaimanapun tangan di bawah mengurangi kehormatan diri sendiri. Saat menatap wajah mereka, saya melihat bahwa nun jauh di sana, di dalam rumah, ada seorang isteri yang ditinggal sendirian dan anak-anak yang telah lelap dalam tidur malam tanpa belum sempat melihat wajah sang ayah yang tengah bergelut dengan waktu, demi masa depan yang harus diraih.

Mungkin bagi kalangan elit, shoping di Mall adalah hoby atau bisa jadi ritual rutin bersama keluarga di setiap awal bulan. Plaza, Supermarket dan Ruko berdiri dimana-mana. Demi ekonomi rakyat, itulah slogan para pejabat, poli-tikus dan pengembang properti. Tapi nyatanya, pusat-pusat bisnis, yang gedungnya mencakar langit itu, hanya dikuasai segelintir pemilik modal. Sementara mereka, yang nyata-nyata rakyat, hanya mengais secuil rizeki di pinggir jalan dengan modal dagangan seadanya. Mereka lebih sering digusur polisi pamongpraja hanya atasnama keindahan dan ketertiban kota. 

Dengan mewabahnya toko serba ada, lalu dibumbui promosi harga murah dan discount besar, maka masyarakat jelata yang ekonominya pas-pasan, akhirnya berbondong-bondong tertipu dan menari bersama kaum kapitalis itu. Di sisi lain, nasib pasar tradisionalis kian tragis dan terpinggirkan di sudut kota. Rakyat kecil hanya bisa melihat-lihat mimpinya yang terpajang di etalasi toko tanpa berani menawarnya, apalagi membeli. Doa para pedagang asongan, selain berlindung dari godaan setan adalah berlindung dari penggusuran.

Tatkala hanya untuk mengais rizeki halal, rakyat harus berlari-lari dan dikejar bagai penjahat, maka yang tampak di depan mata hanya sebuah jalan. Itulah jalan menuju Roma.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar