12 Oktober 2009

Teroris Intelektual

 


Teroris masuk kampus? Tidak lebih, itulah persepsi masyarakat ketika dua gembong teroris, Syaifudin Zuhri dan Syahrir, tewas tertembak di sebuah rumah kos yang ternyata mereka disembunyikan oleh Sony dan kedua rekannya yang notabene-nya mereka adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fenomena ini justru menarik di saat nama universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi ikut terbawa-bawa. Apalagi, universitas berbasis agama Islam. 

Kita mungkin ngeri melihat tawuran mewarnai konser, ABG tampil bugil, preman tertangkap karena narkoba dan sebagainya. Tapi, kita pasti makin terkejut saat, misalnya, mendengar tawuran antar mahasiswa, ada mahasiswi bugil atau narkoba ditemukan di kampus. Demikian juga dengan teroris. Kata itu kian menarik saat bersinggungan dengan dunia intelektual kampus. Lalu, ada gejala apa ini? Benarkah universitas yang sejatinya mendidik mahasiswa agar memiliki nalar intelektual yang sehat dan sikap yang bijak justru di situ ada generasi muda yang otaknya bisa "dicuci" hingga bersikap militan, radikal dan nekat? Tentu, ini bukan kesalahan semua sivitas akademika. Namun, sekecil apapun yang bersentuhan dengan almamater sebuah lembaga, maka semua yang ada disana patut prihatin, merasa bertanggungjawab dan tidak tinggal diam. 

Anak muda seperti Sony, Afham dan mungkin masih banyak lagi adalah korban dari penyebaran faham ideologis yang sesat dan menyesatkan. Mahasiswa atau siapa saja bisa tercebur ke lembah itu. Apalagi di dunia kampus yang dikenal sebagai wadah kebebasan berpikir dan beraksi, tentu menjadi ladang subur tersebarnya virus terorisme. Buku-buku bernuansa ideologis Islam garis keras seperti karya-karya Sayyid Qutub dan Hassan al-Banna', sejarah Islam pergerakan di Afganistan dan Yaman, semuanya bebas keluar-masuk kampus. Kaset atau VCD yang memuat perjalanan jihad, testimoni korban perang berbaju muslim, kabar tentang Usama, bahkan bukunya Imam Samudra, semua sering dipamerkan dalam Islamic Book Fair yang kini kerap digelar di beberapa kota. 

Realitas itu, sekali lagi, bisa menjadi daya dorong lahirnya pemikiran radikal yang menyusup ke dalam otak kaum intelektual. Apalagi, budaya diskusi, tukar-pikiran, dakwah kampus, bedah buku, debat terbuka, dan acara-acara ilmiah lain, bisa juga menjadi media penyebaran faham ideologi teroris. Kebebasan berpikir dan bertindak bagi kaum intelektual, lalu didukung oleh emosi remaja yang masih meletup-letup dan tingginya tingkat idealisme diri yang didukung angin segar dari dalil-dalil agama yang menjadi justifikasi kebenaran sikap dan keyakinan mereka, ini semua kian memperkokoh akar ideologi. 

Jika melihat lebih jauh, umumnya, anak-anak muda yang berhasil direkrut ke dalam jaringan terorisme di Indonesia, sesungguhnya kebanyakan mereka berasal dari pemuda yang pendalamannya tentang agama masih tergolong kosong. Biasanya, mereka masih dalam tahap ingin mengenal Islam. Di saat mereka bertemu dengan orang-orang yang tampaknya bersih, punya ghirah yang tinggi, semangat dakwah dan jihad yang dinilainya imbang, maka kulit-kulit terorisme itu langsung mengagumkan para pencari tuhan yang masih gadungan itu. Yang lebih mengherankan lagi, anak-anak muda itu siap menjadi "pengantin", rela bunuh diri demi mulusnya agenda teoris yang telah diterjemah ke dalam term jihad. 

Akhir-akhir ini, pemerintah dan aparat keamanan, bisa dikatakan berhasil memerangi dan mengatasi aksi-aksi terorisme. Tapi, itu semua masih bersifat sementara selama ideologi terorisme tidak ikut ditumpas habis hingga ke akar-akarnya. Di sinilah, letak peran kaum intelektual muslim, para ulama dan semua mahasiswa dan santri. Semua harus berjihad bersama-sama memerangi ideologi terorisme dan mencegahkan perangkat-perangkat, pemikiran dan aksi terorisme. 

Ideologi memang tak pernah mati. Tapi, ia bisa ditekan hingga ide-ide itu tidak tampil dalam realita. Perang terhadap pemikiran terorisme, ide-ide jihad, penampilan radikal dan aksi-aksi anarkis yang mengatasnamakan agama dan ras, harus segera ditabuh. Perguruan Tinggi Islam, sebagai lembaga pendidikan formal tertinggi di negeri ini, harus segera proaktif mengatasi tumbuh suburnya faham Islam radikal. Semua orang, utamanya kaum intelektual harus segera menampilkan Islam berwajah damai yang melihat sisi-sisi humanis sebagai model sebuah pergerakan. Islam -sebagai sebuah ideologi- harus membumi dan mengakar pada budaya agar pemeluknya selalu bijaksana. Jika tidak, apalagi Islam itu hasil impor dari pemikiran dan pergerakan yang sarat dengan kekerasan dan sikap nekat, maka ia akan berubah menjadi kekuatan berbahaya bagi manusia dan bangsa.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar