Berbicara tentang tujuan pendidikan, para akademisi dan praktisi pendidikan sering merujuk pada pendapat para filosof dengan harapan hasil konklusi para filosof yang diyakini sangat mengerti tentang filsafat ilmu itu dapat mencerahkan proses pendidikan dan membantu memahami hakekat pendidikan hingga ke akar-akarnya.
Dengan cara itu, muncul berbagai batasan tentang pendidikan dan tujuannya. Ada yang menyebut bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan adalah membekali anak didik jiwa mandiri, membentuk manusia yang utuh, mengantarkan peserta didik menggapai masa depan, memfasilitasi mereka masuk ke dunia kerja, dan tujuan-tujuan lain yang beragam mulai yang kongkrit, normatif hingga yang tidak jelas atau sulit dipahami maksudnya.
Saat Al-Quran kali pertama turun ke bumi, Nabi Muhammad telah diperintah: Bacalah dengan Asma Tuhan yang telah menciptakanmu. Dia menciptakan manusia dari segumpal daging. Bacalah demi Tuhan Yang Paling Mulia. Dia memberi ilmu melalui Al-Qolam. Dia memberitahu manusia apapun yang belum diketahuinya.
Surat Al-Alaq ayat 1 hingga 5 di atas menyebut kata kunci: membaca, menulis, mengajar atau memberi ilmu. Kata-kata ini selalu dikaitkan dengan dunia pendidikan sehingga tidak mengherankan jika pendidikan selalu dijadikan landasan hidup manusia. Baik buruknya tingkah manusia juga dihubungkan dengan pendidikan. Maka, lembaga dan praktisi pendidikan seringkali menjadi kambing hitam tatkala alumnusnya atau manusia berbuat negatif. Ada teorisme, kurikulum pesantren diawasi. Koruptor menjamur, muncul usulan untuk memasukkan materi korupsi ke dalam muatan kurikulum. Segala fenomena kehidupan dan tingkah pola manusia, selalu dirujuk pada pendidikan.
Apa benar, demikian berat tanggungjawab para penyelenggara lembaga pendidikan? Jika memang iya, berarti memang ada yang salah di sana? Lalu apa yang salah itu, padahal para pakar yang terlibat juga tidak sedikit, bahkan para profesional dan interdisipliner ikut berpartisipasi dalam merumuskan tentang pendidikan?
Kembali kepada ayat-ayat Al-Quran diatas, di sana telah jelas bahwa pendidikan (baca-tulis) harus seiring dengan asma Allah. Itu artinya, tujuan pendidikan harus bermula dan juga bermuara pada tauhidullah. Yakni, mengesakan Allah, mengenal-Nya, mendekati-Nya dan mencinta-Nya. Sebab, hakekat pendidikan atau hak pemberian ilmu yang benar dan bermanfaat adalah berasal dari Allah. Dialah yang mengajar manusia. Dialah yang mampu mengentaskan manusia dari kebodohan. Untuk itu, pendidikan perlu 2 hal, yaitu: proses mengenalkan Allah pada peserta didik dan proses mengenalkan anak didik terhadap diri mereka sendiri. Bahwa di dalam diri manusia yang terbentuk dari daging itu telah tersimpan di sana potensi, soft skill, syakilah, bakat dan potensi tauhid yang harus dicari, diteliti, diketahui dan didayagunakan.
Ali bin Abu Thalib berkata: Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya (Man Arafa Nafsahu, Arafa Rabbahu). Tapi, saya lebih salut dengan pendapat Abu Bakar yang menyatakan: Barangsiapa mengenal Tuhannya, maka ia akan mengenal Tuhannya (Man Arafa Rabbahu, Arafa Rabbahu). Menurut saya, tidak ada yang salah dari dua konklusi tersebut. Justru, kedua ungkapan ini saling melengkapi sebab pada akhirnya tujuan pendidikan memang harus sampai pada pengenalan yang sesungguhnya terhadap Allah, Sang Maha Pencipta.
Dengan kata lain, jika proses pendidikan berlangsung di sebuah lembaga seperti Perguruan Tinggi, Sekolah/Madrasah, Ponpes, Majlis Taklim atau dimanapun tempatnya, lalu proses pendidikan yang ada di sana tidak berakhir pada tauhid dan peserta didiknya tetap tidak mengenal Allah, maka jelas proses pendidikan itu telah gagal total. Akibat kesalahan dalam menentukan tujuan pendidikan yang tidak bermuara pada tauhid, maka lulusan lembaga pendidikan hanya terdiri dari manusia-manusia kufur yang ingkar pada ajaran Allah dan nikmat-nikmatnya.
Pendidikan yang tidak bertujuan tauhid hanya akan mewisuda sarjana yang tidak memiliki keteguhan hati, ketenangan jiwa dan sikap pesimis dalam menatap masa depan. Tidak sedikit para mahasiswa yang takut diwisuda karena dalam pandangannya telah terbayang nasib pengangguran, malu kepada keluarga dan rekan-rekannya, takut hidup miskin, khawatir tidak punya penghasilan tetap dan sikap-sikap lain yang menjadi ciri-ciri manusia kufur, manusia yang seakan-akan tidak memiliki tuhan.
Dulu, saat di pesantren, para kiai selalu merusaha mengenalkan Allah kepada para santrinya sehingga para santri tetap bersikap kokoh dan mandiri saat boyong. Para kiai dulu paling risau jika santrinya belum mengenal Allah. Tentang prospek duniawi dan materialistik sama sekali tidak masuk dalam kamus pendidikan berbasis tauhid. Pernah ada seorang kiai menguji 40 santrinya supaya masing-masing menyembelih seekor ayam di tempat manapun di dunia ini yang tidak diketahui siapapun. Akhirnya, semua santri berhamburan menyebar ke seluruh penjuru untuk melaksanakan perintah itu. Ada yang mengeksekusi ayam sambil bersembunyi di toilet, di dalam gua, di bawah kolong tempat tidur dan dimanapun yang tampak sepi.
Akhirnya, semua santri kembali menghadap kiai sambil membawa sembelihan ayam itu. Wajah mereka tampak bahagia karena merasa tugas sang kiai telah dijalankan dengan baik dan mereka yakin tidak diketahui siapapun. Akan tetapi rupanya ada seorang santri yang datang terlambat dan tangannya tetap memegang seekor ayam yang masih hidup. Sambil tergopoh-gopoh, santri itu memohon maaf kepada kiai karena ia tidak mampu melaksanakan perintah itu. Ia beralasan bahwa dimanapun ia pergi dan bersembunyi, Allah selalu tahu apa yang akan diperbuatnya. Akhirnya, sang kiai berkata: "Hanya kamu seorang yang lulus, lainnya gagal. Hanya kamu yang benar-benar mengenal Allah Yang Maha Melihat, Maha Mengawasi dan Maha Kuasa atas segala sesuatu". Kiai itu bahagia sebab salah satu muridnya telah berhasil mencapai maqam makrifat, walaupun secara kuantitas, kiai itu masih tampak sedih karena mayoritas muridnya belum berhasil mengenal Allah dengan sesungguh-sungguhnya.
Dari kisah itu bisa dipahami bahwa pendidikan yang bertujuan final pada pengenalan terhadap Allah akan membentuk sikap jujur sehingga manusia tidak bermental korupsi. Tujuan itu akan membentuk manusia berhati nurani sebab sekalipun membunuh telah diperintah tapi akal mampu menasehati bahwa Allah tidak tidur. Sikap jujur, mandiri, berani, amanah dan cerdas yang dimiliki santri itu adalah berkat sang kiai mampu mendemontrasi metode yang efektif dalam memperkenalkan Allah.
Bukankah tujuan agama yang diajarkan Nabi Muhammad berpangkal dan bermuara pada tauhid? Nabi dinilai sukses tatkala beliau hanya dalam kurun 23 tahun telah mampu membuka mata hati manusia agar bisa membaca kemahabesaran Allah lalu umat manusia berbondong-bondong menyerahkan dirinya kepada Allah.
Jadi, jika lembaga pendidikan tidak mampu memperkenalkan Allah kepada anak didiknya, maka penyelenggara pendidikan itu harus bertanggungjawab kepada Allah sebab ia telah menyia-nyiakan hidup anak didiknya untuk mempelajari segala hal yang justru menjauhkan dirinya dari Allah.
Nabi bersabda: Barangsiapa ilmunya bertambah, tapi hidayahnya tidak, maka ia akan kian bertambah jauh dari Allah.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar