Sastrawan menulis buku non-fiksi? Bukan hal aneh. Ilmuwan atau wartawan menulis cerpen atau novel? Juga banyak. Imam Syafi'i memang seorang faqih, bahkan beliau pendiri madzhab syafi'iyah, tapi diwan-nya (antologi puisinya) juga tak kalah hebat dengan kitabnya, al-Umm. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang dikenal wali dan ahli sufi dengan ragam karya klasiknya, juga pernah menulis puisi dan prosa. Jadi, walaupun menekuni satu bidang memang baik karena keterbiasaan akan membuat kualitas tulisan kita lebih bagus, namun tak ada salahnya jika sesekali kita mencoba bentuk tulisan lain.
Bagi penulis pemula, terutama yang sudah merasa 'nyaman' dengan jenis tulisan yang ia geluti (fiksi atau non-fiksi) membuat suatu tulisan yang berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan kesulitan sendiri.
Berikut beberapa tips yang mungkin bisa Anda coba untuk mengatasi kesulitan tersebut:
1. Sesuaikan referensi bacaan.
Sebagaimana bahan bacaan seringkali (kalau tidak selalu) mempengaruhi cara atau kecenderungan kita dalam menulis, banyak membaca tulisan tertentu juga akan mampu mengubah apa yang kita tulis. Jadi jika ada orang yang ingin membuat sebuah tulisan fiksi yang baik, saya yakin dia tidak akan mampu melakukannya kalau ia hanya membaca buku-buku teori yang berjudul "Bagaimana Cara Menulis Fiksi yang Baik" sekalipun.
Pelajaran paling baik adalah dengan terjun langsung ke kancah bacaan fiksi itu sendiri, bukan hanya menjadi pengamat dari luar. Hal yang sama juga terjadi pada kasus sebaliknya. Seorang yang ingin mampu menulis karya non- fiksi atau ingin merancang sebuah jurnal ilmiah akan sulit untuk menyampaikan idenya secara sistematis, analitis dan jelas jika ia malah membaca karya Shakespeare yang memakai bahasa yang penuh metafora.
2. Bagi yang ingin menulis tulisan non-fiksi.
Tulisan jenis ini menuntut kata-kata yang dapat dengan efektif menjelaskan makna. Karenanya, latihlah diri Anda untuk menulis kalimat-kalimat bermakna tunggal, tidak bersayap, atau dengan prinsip satu paragraf satu ide. Karenanya kata-kata yang digunakan hendaknya juga lugas, jelas, dan sebisanya menghilangkan metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat di bacaan sastra. Sebaliknya, bagi yang ingin menulis fiksi. Memperluas pengetahuan kosakata, kiasan, dan melatih penempatannya dalam kalimat adalah sangat penting untuk narasi maupun dialog dalam fiksi.
3. Butuh Imajinasi.
Tulisan fiksi menuntut daya imajinasi tinggi, sementara non-fiksi dibatasi oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi bagi yang ingin menulis fiksi, latihlah kreativitas daya imajinasi dan juga kemampuan mendramatisasi suatu adegan.
Bagi yang ingin menulis non- fiksi, berlatihlah menulis dengan selalu memperhatikan unsur-unsur seperti 5W1H, cara mengutip dan menempatkan referensi, logika berpikir tulisan dsb.
4. Berlatih dan berlatih.
Seperti halnya setiap masa belajar dan penyesuaian, proses ini juga membutuhkan banyak latihan. Tak jarang ketika mencoba menulis non-fiksi, seorang yang terbiasa menulis fiksi akan dikritik bahwa tulisannya berbelit-belit, tidak fokus dan membingungkan pembaca. Seorang yang terbiasa menulis non-fiksi pada awalnya mungkin juga akan dikritik cerpen buatannya terlalu kering, bahasanya kaku dan kurang ekspresif. Ini adalah wajar, jadi jangan putus asa.
5. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya.
Tanpa niat untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah ide, sebuah tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan berakhir menjadi sebuah tulisan komentar sambil lalu yang mudah disanggah. Sementara tanpa ketekunan untuk melatih teknik narasi dan dramatisasi, sebuah tulisan yang dimaksud sebagai cerpen sastra hanya akan menjadi sebuah cerita bohong.
Saya tertarik dengan tulisan anda. Saya juga mempunyai berbagai tulisan yang bisa anda kunjungi di Publikasi Sastra
BalasHapusterima kasih atas kunjungannya
BalasHapusmakasih sangat membantu
BalasHapushttp://st3telkom.ac.id/
harus ,, bisa..
BalasHapusST3 Telkom
Artikel ini sangat menarik. Terimakasih telah berbagi informasi
BalasHapusSt3 Telkom