Kasus ledakan bom yang terjadi Senin, 11 Juli 2011 di pesantren Umar Bin Khattab, Bima, NTB mengundang banyak reaksi. Salah satunya dari MUI yang meminta Polri untuk menutup aktivitas pesantren tersebut karena ditengarai membahayakan negara.
Peristiwa itu ditambah lagi kasus pesantren Az-Zaytun yang juga diduga menjadi sarang internalisasi pikiran-pikiran NII (Negara Islam Indonesia), memang membuka mata banyak kalangan untuk kembali lagi melihat eksistensi pesantren. Dengan kata lain, pesantren harus dipetakan ulang agar masyarakat mengerti bahwa ada pesantren yang murni mengajarkan agama dan mendidik para santri bersikap populis, elegan dan religius. Namun, di sisi lain, ada pesantren yang hanya dijadikan kedok untuk membelot dari kebijakan pemerintah dan menjadi sarang bagi pemberontak.
Pemetaan baru memang diperlukan. Mengingat, selama ini, meminjam klasifikasi tentang pesantren oleh Zamakhsari Dhofier, bahwa pesantren "hanya" dibedakan menjadi 2 macam saja.
Pertama, Pesantren Salaf atau Pesantren Tradisional; yakni pesantren yang dalam sistem pendidikannya masih memakai metode klasik seperti sorogan, demikian juga dengan kitab-kitab kuning yang diajarkan dan metode pembelajaran yang pasif dan bersifat "teacher centris" atau terfokus pada sosok kiai dan tidak pada sistem.
Kedua, Pesantren Modern; yakni pesantren yang sistem pendidikannya sudah tertata secara rapi berdasarkan menejemen modern. Model pendidikannya sudah didesain secara klasikal, ditunjang fasilitas yang memadai dan mengakomodir berbagai teknik dan metode pembelajaran mutakhir sehingga dalam implementasinya, pesantren sudah tidak banyak bergantung pada sosok personal kiai atau guru, tapi sistem dan santri yang aktif dan produktif.
Pemetaaan di atas, memang ada benarnya dan itu telah berlaku beberapa tahun yang lalu. Klasifikasi tentang pesantren salaf dan modern, hanya melihat kepada sistem pendidikan dan persentuhan antara kultur dan perkembangan kontemporer. Padahal, di era demokratisasi dan globalisasi seperti saat ini, pengaruh internal maupun eksternal terhadap lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, datang dan pergi begitu cepat. Akibatnya, sekali lagi, perlu pemetaan ulang tentang wajah pesantren dilihat dari berbagai perspektif.
Salah satunya, dari perspektif visi dan misi lembaga pesantren terkait dengan asas negara Indonesia, yakni Pancasila. Pesantren-pesantren yang diasuh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (baca: kiai NU) sudah jelas menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Artinya, pesantren kultural ala NU sejak awal ingin memperkokoh akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah melalui lembaga pesantren. Sebuah akidah yang kondusif dan terbuka terhadap berbagi kultur dan budaya di Indonesia.
Pesantren tipe pertama ini, saya sebut dengan "Pesantren Nusantara"; yakni pesantren sebagai lembaga alternatif yang berusaha membantu pemerintah menyediakan pendidikan agama yang benar untuk mengejawantahkan atau membumikan ajaran Islam yang mulia secara kaffah dan rahmatan lil 'alamiin. Pesantren Nusantara terbuka terhadap berbagai metode dan sistem pendidikan. Pesantren Nusantara juga telah dilengkapi aneka fasilitas modern, lembaga pendidikan formal dan guru-guru yang kompeten di bidangnya.
Sementara itu, tipe yang kedua, saya ingin menyebutnya "Pesantren Pemberontak atau Pesantren Dhiror". Pesantren semacam ini sangat membahayakan negara. Lebih dari itu, pesantren dhiror ini juga mencemari eksistensi pesantren-pesantren nusantara yang sedari awal -sejak era Walisongo- selalu mengajarakan nilai-nilai kebenaran dan pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan sesama warga negara.
Pesantren Nusantara yang juga menjadi tulang punggung negara Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, menjadi ternodai gara-gara gerakan bawah tanah yang dikobarkan di dalam "Pesantren Dhiror". Bukan hanya itu saja, mereka juga mencemarkan nama baik "kiai, ustadz, habaib dan santri". Padahal selama ini, term kiai, ustadz, habaib maupun santri selalu ditempatkan sebagai sosok mulia (baca: kaum sarungan) yang teguh memegang prinsip agama tapi tetap ramah terhadap masyarakat dan juga negara. Akan tetapi, gara-gara para kiai dan santri Pesantren Dhiror, maka masyarakat Indoensia dan dunia internasional menjadi curiga dan bisa saja memandang semua ulama berikut santrinya sebagai ancaman bagi negara dan dunia.
Karena itu, aktivitas pesantren dhiror memang harus dibekukan. Pemerintah, sebagai pihak berwenang, harus meneliti, mengkaji dan memetakan ulang tentang pesantren agar tidak main "pukul rata". Masyarakat juga harus diberi informasi tentang mana saja pesantren berbahaya (dhiror) agar anak-anak mereka tidak terjelembab pada pendidikan yang mengatasnamakan Islam dan mencatut nama pesantren demi mencapai popularitas sesaat, demi kekuasaan dan demi perlawanan terhadap pemerintah atau negara Indonesia.
Beberapa ciri pesantren dhiror, antara lain: aktivitas yang tertutup terhadap masyarakat sekitarnya, kiai dan pengasuhnya lahir dan muncul begitu saja seperti mie instant dan bukan dari pengakuan masyarakat, pendanaan pesantren bukan dari kocek pengasuh atau bukan hasil swadaya masyarakat, juga tidak dari bantuan pemerintah. Akan tetapi, ada dana-dana dari pihak asing termasuk dari Timur Tengah yang rela membiayai pergerakan mereka.
Aliran pesantren dhiror sudah tidak lagi berlandaskan akidah Islam "Ahlus Sunnah wal Jamaah" dan tidak mau membela kesatuan NKRI yang berdasarkan Pancasila. Akan tetapi, landasannya lebih kepada Islam Radikal yang kekanan-kanan. Mengaku sunni, padahal sebenarnya wahabi atau syiah. Menyatakan tunduk pada negara Indonesia, tapi tetap mengajarkan ideologi politik baru dan sistem pemerintah baru dengan mengatasnamakan Islam, khilafah maupun syariah.
Menyebut gelar-gelar "kiai, ustadz, santri, imam, ulama", padahal gelar-gelar itu secara tidak langsung bertujuan untuk mengelabuhi masyakarat dan mencemarkan nama baik para ulama dan kiai. Tidak hanya itu, mereka memberi embel-embel "salaf" supaya pesantren dan kiainya diposisikan seperti ulama salaf atau tradisional, padahal sebenarnya hanya mendompleng popularitas untuk menggaet banyak santri dan simpati masyarakat.
Dan, satu lagi ciri yang terpenting dari pesantren dhiror, yakni menebarkan kebencian terhadap negara di tengah proses pengajaran dan pengajian. Dengan cara seperti ini, tanpa disadari, para santri telah dicuci otaknya dan dibentuk sebagai mesin pemberontak yang siap mati demi terciptanya kondisi caos di negara berasaskan Pancasila dan demi terbentuknya teror menakutkan di tengah masyarakat.
Melalui tulisan ini, kepada pemerintah, ulama dan santri, dihimbau untuk waspada dan jangan mau diadu-domba. Pesantren-pesantren tradisional yang berlandaskan akidah "Ahlus Sunnah wal Jamaah" dan kokoh mempertahankan NKRI yang berasaskan Pancasila, harus mawas diri dan tetap menjadi benteng masyarakat, umat dan pemerintah. Sebab, kebesaran Islam di Indonesia ini, kuncinya terletak pada eksistensi pesantren warisan Walisongo.
Jadi, pesantren-pesantren dhiror yang membawa paham baru dan selalu anti pemerintah, pada hakikatnya, bertujuan untuk menghancurkan Islam di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar. Hanya saja, mereka mengatasnamakan Islam, pesantren, kiai, santri, habaib, sunni, dan sebagainya. Wajah-wajah nifaq inilah yang menyulitkan banyak kalangan untuk mengenali dan membaca gerakan bawah tanah mereka layaknya musang berbulu domba.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar