17 Juli 2011

Harga Jamaah

 


Salah seorang guru saya bercerita, bahwa di tengah Pasar Besar, kemarin, ada seseorang menawarkan kepada para pedagang untuk mendaftar sebagai jamaah. Syaratnya, cukup fotocopy KTP dan kartu keluarga. Siapa yang bersedia, akan diberinya tunjangan sebesar 5 juta rupiah. Anda mau?

Ciri-ciri orang itu berbadan kurus, berjenggot, pakai sorban dan bagian celananya agak naik dari mata kaki. Keren abis kayak pasukan perang tempoe doeloe. Secara aktif, tanpa kenal menyerah, ia berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain untuk menawarkan programnya itu. Entah apa maksudnya, guru saya itu juga kurang tahu sebab beliau juga tidak mau menggubris permintaan orang tersebut.

Saya melihat, ini adalah sebuah fenomena baru perekrutan jamaah. Dengan iming-iming uang sebesar itu, di tengah ekonomi yang sedang lesu seperti saat ini, sangat boleh jadi tawaran itu sangat menarik bagi kaum awam dan pengangguran. Hanya tercatat sebagai jamaah (baca: member), sudah dapat dana segar sebesar 5 juta rupiah, wow...!

Angka ini menunjukkan betapa mahalnya harga jamaah atau member. Munculnya kelompok atau aliran baru yang nyeleneh di tengah kondisi pasar yang sedang lesu, memang bagian taktik jitu. Kalau sudah tercatat sebagai member, belum tentu uang itu langsung bisa dinikmati. Jika pun uang itu memang benar-benar cair, maka sang penerima sudah dalam posisi berhutang yang harus taat kepada si pemberi uang. Nah, tatkala posisinya telah dilemahkan, maka doktrin dan ajaran apapun sangat dengan mudah disuntikkan, sadar atau tidak sadar.

Ekonomi memang menjadi salah satu benteng agama. Menurut Sayyidina Ali, "Kemiskinan hampir mendekati kekufuran". Sinyalemen ini, rupanya telah menggejala dan bahkan dijadikan senjata bagi kelompok-kelompok atau aliran sesat untuk merekrut anggota dan mencuci otak para member mereka. Boleh jadi juga, janji dana segar itu adalah kail untuk memancing keuntungan yang lebih besar lagi dari nasabahnya.

Keuntungan yang dimaksud, bisa berupa uang, loyalitas, keyakinan hingga iman yang sebenarnya tidak bisa dinilai dengan apapun. Oleh karenanya, munculnya berbagai macam modus perekrutan anggota, jamaah atau member untuk masuk ke dalam kelompok-kelompok tertentu yang menawarkan aneka program dan keyakinan baru, patut untuk diwaspadai.

Masyarakat miskin yang hidupnya susah, tidak memiliki pekerjaan tetap, apalagi terbelit banyak hutang, adalah sasaran yang sangat mudah untuk direkrut. Maka dari itu, perlu aksi-aksi cerdas dan gerakan efektif untuk mengatasi "perang akidah" ini. Kekerasan untuk memberangus kelompok atau aliran nyeleneh, telah terbukti tidak menyelesaikan masalah. Yang terjadi, malah menyisakan perlawanan, sikap tidak simpati dan dendam. Padahal, sikap antipati inilah yang justru menjadi target dari gerakan tersebut supaya anggota makin loyal.

Dengan demikian, masalah kesenjangan ekonomi dan kemiskinan yang harus diatasi dan dipikirkan banyak pihak, terutama pemerintah dan tokoh-tokoh agama. Perlu adanya pikiran-pikiran cerdas yang melahirkan program untuk mengentas kemiskinan.

Agama sebagai way of life, jelas mengajarkan hal itu. Nabi sebagai pembawa risalah Islam, ternyata juga banyak berperan sebagai pembebas bagi kaum dhuafa' dan kaum tertindas. Terbukti, beliau mewajibkan zakat, menghimbau kepada orang-orang yang mampu untuk bersedekah dan berinfaq. Nabi juga pernah berperan membantu sahabatnya yang kurang melelang barang untuk memperoleh modal. Sahabatnya juga disediakan lapangan.

Di waktu khutbah wada', dengan berliang air mata, Nabi Muhammad saw menitipkan nasib para wanita janda, anak-anak yatim piatu dan orang-orang yang kurang mampu agar menjadi tanggungan dan perhatian bagi seluruh umat Islam. Bukan hanya itu saja, al-Qur'an dalam surah al-Ma'uun menyebut orang-orang yang shalat tapi tidak peduli terhadap fakir miskin sebagai para pendusta agama.

Apa yang dilakukan Nabi dan ajaran al-Quran di atas, cukup menjadi bukti bahwa orang-orang fakir-miskin adalah amanat yang harus diperjuangkan nasibnya supaya bisa hidup layak. Ini artinya, keberadaan jamaah harus terus diperhatikan. Nasib mereka, keluh kesah dan kesulitan yang dihadapinya, tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Jamaah apapun semisal jamaah tahlil, jamaah istighatsah, jamaah pengajian termasuk para santri, karyawan dan seterusnya, adalah orang-orang yang harkat dan martabatnya harus dihormati. Apabila pemerintah, elit agama dan para pemimpin mengabaikan jamaah dan bawahannya, maka jangan kaget bila jamaah kita yang begitu besarnya, sedkit demi sedikit tapi pasti, telah berbelok arah dan berkiblat kepada yang lain.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar