14 Agustus 2011

Tawsiyah Plus Nyanyi

 


Melihat acara-acara televisi di bulan Ramadan, memang terasa beda, tidak seperti biasanya. Hampir di semua acara, ada tawsiyah dan nasehat agama yang semuanya bertujuan positif, yakni mengisi Ramadan dengan ibadah dan segala hal yang bersifat religius.

Namun demikian, bagi masyarakat di perkampungan atau pedesaan, hal yang berbeda itu bukan terletak pada acara-acara hiburan plus tawsiyah, tapi sebaliknya. "Kok pengajian ada nyanyiannya? Apa memang kiai, ustadz atau para ulama sudah membolehkan atau meridhai model pengajian seperti itu? Halalkah hukumnya?", demikian kesan yang muncul di kalangan orang awam.

Bagi kalangan artis atau fans yang selalu haus hiburan, nyanyian dan tarian, tentu saja tawsiyah dari sang ustadz di tengah acara goyang dangdut bagaikan air di tengah gurun sahara. Boleh jadi, tujuan inilah yang hendak diusung supaya ajaran Islam yang mulia bisa masuk ke relung-relung jiwa yang selama ini kering akan pencerahan agama. Namun, bagi kalangan awam atau santri, fenomena pengajian plus nyanyian tersebut, sedikit banyak "menodai" atau paling tidak "merusak" tatanan tradisi belajar agama yang selama ini telah terbangun secara baik.

Kayaknya, kurang afdhol kalau even pengajian agama hanya menghadirkan dai atau ustadz tanpa juga mendatangkan artis. Pasalnya, keberadaan artis atau idola dinilai mampu menggaet pemirsa dan meningkatkan rating siaran. Atau sebaliknya, agar konser musik di bulan Ramadan bisa jalan terus, perlu ditambah tawsiyah meski 10 atau 20 menit!

Alasan inilah yang kemudian melahirkan cara baru mengaji ajaran agama. Beberapa acara bertema "tabligh akbar" sudah terkontiminasi gejala itu. Usai sang dai berceramah panjang lebar, lantas ditutup dengan dendang lagu-lagu bertema religi. Yah, inilah pengajian model baru plus lagu-lagu religi karena syairnya bertema Islam dan memang sejak awal dipersiapkan oleh sang artis bersama produsennya untuk dipasarkan tepat di bulan Ramadan.

Para jamaah yang hadir pun tampak merasa menikmatinya. Entah apa yang dinikmati dan mengapa itu bisa terkesan lumrah dan biasa? Apa memang untuk memahami agama sekarang ini harus dialiri lagu-lagu dari kelompok band terkemuka atau diselingi artis cantik yang menjadi idola? Hebatnya lagi, meski konser musik itu tidak berada di dalam masjid dan digelar di pelatarannya, namun semarak percampuradukan antara pengajian dan nyanyian sudah berubah menjadi hidangan takjil yang campur baur.

Yang perlu dikhawatirkan, justru kalau acara-acara semacam itu merembet ke dalam tradisi masyarakat muslim di pedesaan atau di kalangan santri. Bisa jadi ke depan, sebuah majelis taklim, majelis istighatsah atau majelis dzikir dan pengajian rutin di musholla atau masjid, juga ketularan pengajian model entertainment. Kiai dan penyanyi sama-sama berdakwah. Ustadz dan rocker bisa asyik bergoyang dengan jamaahnya.

Jika sudah demikian, apa benar tujuan utama dakwah bisa masuk ke relung jiwa dan menjadi ilmu bermanfaat yang diamalkan dalam sehari-hari? Seberapa efektif model pengajian plus nyanyian itu bisa menginternalisasikan ajaran agama ke dalam diri para audiens atau jamaah? Jangan-jangan, seperti pribahasa orang Jawa "Mlebu kuping tengen, Metu kuping kiwo", masuk ke telinga kanan keluar kuping kiri.

"Hadirin, melalui puasa, mari kita kendalikan nafsu kita. Ayo kita jaga lisan, mata, dan hati untuk tidak bermaksiat", demikian pesan sang dai. Setelah tawsiyah berakhir, sesi berikutnya tampil sang artis mengajak goyang, nyanyi, dan berjingkrak-jingkrak sehingga antara pria dan wanita bisa asyik goyang sama-sama. Yang bukan muhrim bisa saling pandang, saling senggol dan memadu kasih. Para fans juga menikmati kemolekan dan kecantikan sang artis yang dandan bagaikan bidadari. Jika sudah demikian kenyataannya, lalu manakah yang lebih efektif antara ajakan sang dai atau si artis? Hanya dalam sekejap, dalil dari ayat dan hadis mampu dilupakan oleh bait-bait lagu populer yang justru sudah dihafal oleh para jamaah.

Bagi beberapa orang, mungkin saja acara semacam itu telah menjadi lumrah karena sangking banyaknya dan tanpa bisa dibendung. Atasnama religi, agama, tawsiyah, Ramadan, semua hal yang sebelumnya haram, tabu, syubhat bisa menjadi boleh, baik, wajar, lumrah dan biasa-biasa saja.

Sangat boleh jadi, yang terjadi justru tontonan menjadi tuntunan atau tuntunan hanya sekedar menjadi tontonan. Ajaran agama dan segala perniknya sangat diperlukan hanya sebagai selingan atau justifikasi atas tradisi hiburan yang sejatinya hanya untuk bisnis dan pemuasan hawa nafsu.

Kita berharap semoga lahirnya pengajian plus nyanyian hanya sebagai batu pijakan bagi semua kalangan untuk seterusnya belajar agama secara serius. Semoga keberadaan tausiyah, ulama dan dai-dai di acara entertainment itu tidak hanya sekedar menjadi selingan karena bertepatan dengan Ramadan. Tapi, tawsiyah dan wejangan mereka benar-benar dijadikan pelajaran berharga untuk mengamalkan Islam secara tulus dan utuh.

2 komentar:
Tulis komentar
  1. Sayapun merasa sangat prihatin dengan fenomena tersebut.Seolah semua telah setuju bahwa cara-cara seperti itu adalah lumrah,bermanfaat bahkan meyakininya halal (setahu saya ada kaidah "idza ijtama'a al-halal wa al-haram ghulliba al-haram).Dan yang paling mengenaskan adalah agama sudah menjadi bahan tertawaan dan komoditas.Padahal inti dakwah-setidaknya menurut saya-adalah menanamkan rasa "takut" kepada Allah yang tidak akan dapat dicapai dengan cara-cara seperti itu.Namun yang menjadi pertanyaan dalam benak saya,kemana para ulama (ulama dalam arti sebenarnya)?mengapa mereka terkesan diam saja?

    BalasHapus
  2. terima kasih. kita patut prihatin dengan fenomena ini. semoga Islam tetap tampak berwibawa dan unggul

    BalasHapus