Salah satu nama lain bulan Ramadan adalah Syahrul-Quran (Bulan al-Quran), bukan Syakhru Khan lho... Nama ini jelas berhubungan dengan peristiwa al-Quran turun kali pertama kepada Nabi Muhammad saat beliau bertahannus di gua Hira, Jabal Nur, Mekah. Sejak awal turun, Quran memang untuk dibaca. Lihat saja ayat pertama telah menyerukan "Iqra..!" artinya Bacalah! Bahkan, Quran itu sendiri berarti bacaan. Apalagi bulan Ramadan ini adalah momen tepat untuk terus memperbanyak membaca al-Quran, bertadarrus hingga mengkhatamkannya. Karena itu, tadarrus al-Quran telah menjadi tradisi umat Islam yang diselenggarakan di masjid-masjid hingga surau kecil pada tiap usai shalat tarawih hingga tengah malam. Terkadang, dalam sebulan mereka bisa mengkhatamkan 3 sampai 4 kali. Ini sungguh luar biasa!
Tapi, apa benar istilah tadarrus itu? sebab, secara definitif, tadarrus adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang salah satu atau sebagiannya membaca, sedangkan yang lain menyimak. Bila si pembaca salah, penyimak membenarkan bacaan salah itu. Maka, proses tashih (saling koreksi) harus menjadi bagian tadarrus. Ada pembelajaran di sana. Jika sekelompok orang hanya mengaji secara bergiliran, tanpa peduli bacaan benar atau salah, yang penting khatam, itu sih bukan tadarrus. Lebih tepat disebut tasalsul atau estafet.
Pembaca al-Quran (Qari') diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1- al-Qari' al-Muhsin; orang yang bacaannya baik dan benar sesuai dengan kaidah ilmu tajwid. Qari' seperti ini, tiap huruf yg dibacanya berpahala 10 dan di bulan Ramadan masih dilipatgandakan 70 kali lipat. Bacaan yang benar adalah bacaan tartil yaitu Qari melantunkan dalam tempo sedang, memperhatikan hukum tajwid dan letak waqaf-ibtida', lalu memperindahnya dengan lagu-lagu tartil yang menyejukkan.
2- al-Qari al-Ma'dzur; orang yang bacaannya telah uzur (perlu dimaklumi). Yaitu: orang yg bacaannya salah -dalam aspek tajwid- tapi karena usia telah tua atau kemampuan lisannya terbatas, padahal setiap saat telah berusaha belajar, maka orang semacam ini sekalipun bacaannya salah, tapi tetap dima'fu (dimaafkan), asal ia terus belajar tiada henti hingga mati. Termasuk uzur, bila ada orang yang tidak belajar tajwid karena ia tidak menemukan guru yang bisa mengajarinya. Al-Ma'dzur ini, bacaannya tetap diberi pahala, bahkan digandakan 2 kali lipat saja.
3- al-Musi' al-Aatsim; orang yang bacaannya buruk (salah), apalagi salah dalam kategori khatho' jaly (salah jelas), maka kesalahan itu dapat mengakibatkan dosa, atau sebuah amal ibadah tidak sah gara-gara salah bacaannya. Tipe ini adalah tipe orang yg telah tahu bahwa dirinya tidak bisa membaca Quran scr baik dan benar. Ia tahu belajar itu hukumnya wajib. Ia tahu rukun qouli dalam salat seperti: takbir, membaca surah al-Fatihah, tahiyat dan salam harus dilafalkan bertajwid dan benar. Ia tahu ada banyak orang alim di sekitarnya yang bersedia mengajarinya, tapi karena ego atau kesibukan, ia tidak mau peduli semua itu. Ia tetap tidak mau terus belajar, bahkan sebuah bacaan al-Quran dinilainya tidak perlu, orang semacam ini semakin banyak ia membaca ayat-ayat al-Quran dengan bacaan salah, maka semakin banyak pula dosa-dosanya. Benar sabda Nabi: Rubba qariin yaqraul-quran wal-quran yal-anuhu, betapa banyak org yg membaca al-Quran, tapi justru al-Quran itu melaknatnya!
Jadi, ada 3 tipe pembaca al-Quran; Muhsin, Ma'dzur dan Musi' Aatsim.
Di posisi manakah kita saat membaca al-Quran? Pertanyaan ini patut menjadi bahan renungan pada setiap peringatan nuzulul-quran. Menurut berbagai data, banyak umat Islam di Indonesia yg buruk kualitas bacaannya sehingga tidak layak menjadi imam. Bahkan, utk sekedar membaca surah al-Fatihah saja, banyak yg tajwidnya salah. Dan yang salah itu, bukan masyarakat awam, pedagang, petani, buruh pabrik yang kesempatan belajarnya minim, tapi tidak sedikit pejabat, cendekiawan muslim, dosen, mahasiswa, guru, ustadz, santri yang bacaannya tidak benar secara tajwid.
Memang, belajar dan mengajarkan ilmu tajwid, hukumnya fardlu kifayah yang cukup diwakili sebagian umat Islam. Akan tetapi, mengamalkan ilmu tajwid sehari-hari untuk sholat, baca Quran, adzan, dzikir, dsb adalah fardlu ain yang menjadi kewajiban tiap muslim untuk mempelajarinya agar tidak terjebak pada bacaan salah yg bisa merubah makna dan membatalkan keabsahan ibadah.
Ada sebagian orang yang karena keterbatasannya beralasan bahwa yang penting itu bukan bacaan al-Quran, tapi pengalaman al-Quran! Percuma, katanya, mampu membaca fasih tapi amalannya tidak qurani. Percuma bisa membaca dengan baik, tapi tidak mengerti makna dan tafsir dari ayat yang dibaca itu. Kepada mereka, saya katakan: Bagaimana Anda yakin bisa mengamalkan isi al-Quran, padahal Anda diperintah membacanya dengan tartil tidak mau? Bahkan Anda ngotot tidak mau belajar dengan alasan apapun! Lalu, Anda menilai bidang ilmu yang sedang Anda geluti dan menjadi sandang-pangan Anda itu lebih bermartabat daripada al-Quran.
Khairukum man ta'allamal-Quran wa 'allamahu, sebaik-baik umat Nabi adalah orang yang belajar dan mengajar al-Quran. Sekali lagi, kita ada di tipe yang mana? Diberi Pahala, Dimaklumi, atau Dilaknat? Pilih...!!
izin share ya ustadz
BalasHapusmonggo, semoga bermanfaat. trims atas kunjungannya
BalasHapusMasya Allah Kalam jamiil
BalasHapusAllah yubaarik fiikum ya duktuur
Bagaimana kalau ada yang berfikir "Dari pada salah baca dan berdosa, maka lebih baik tidak membaca Al-Quran"?
BalasHapusDalam hadis, jadilah: orang alim, pelajar, pendengar atau pecinta.
BalasHapusBagi awam, mendengar bacaan quran saja sudah berpahala. Bagi pelajar, salah baca juga berpahala.
Nah, hukum di atas, utk kelas pelajar, bukan awam. Tapi, juga sbg motivasi, agar yg awam atau pemula terus belajar.
Mengingat, bacaan al-Quran yg satu huruf berpahala 10 kali lipat itu, jelas bg yg bacaannya baik dan benar, yg alim dan sesuai standar.
Demikian